Oleh: Abd. Rahman M.
INDONESIA dengan hamparan lautnya yang terbentang luas menjadi lahan pendapatan yang tinggi, dengan hasil tangkapan seperti ikan, udang, dan lain-lain. Masyarakat yang berkecimpung dan melakukan usaha di bidang kelautan tentu tak asing dengan pukat harimau, yaitu salah satu alat penangkap ikan.
Pukat harimau mampu menjaring ikan dengan jumlah yang cukup besar dalam waktu singkat. Penggunaan pukat harimau sepertinya tidak menjadi masalah serius bila tangkapan yang melimpah ruah tersebut tidak termasuk ikan-ikan kecil yang belum layak dijual, karena tidak memiliki nilai keekonomian.
Jala yang terdapat di pukat harimau berbeda dengan jala yang digunakan oleh nelayan-nelayan tradisional. Perbedaan mencolok dari segi ukuran lubang jala yang tidak sedemikian rapatnya sehingga ikan-ikan kecil tidak turut diangkut ke daratan. Secara teori ikan kecil yang terjaring pukat harimau bisa dilepaskan kembali ke lautan. Namun, permasalahannya bila dilepaskan kembali ke lautan kebanyakan dalam keadaan mati atau sekarat. Sedikit sekali yang mampu bertahan hidup. Ikan-ikan tersebut terhimpit oleh tangkapan ikan-ikan yang besar saat berada di dalam jala pukat harimau.
Setiap makhluk hidup harus berkembang biak sehingga kelestarian dari jenisnya tetap bertahan. Ketika ikan-ikan kecil ikut terjaring pukat harimau biasanya akan binasa. Padahal anak ikan yang masih kecil itu beberapa bulan ke depan memiliki nilai keekonomian dan bisa dijual.
Penggunaan pukat harimau sangat beresiko mengurangi populasi biota laut, khususnya ikan yang terjaring. Jika pukat harimau beroperasi di daerah karang, dikhawatirkan pula akan merusak terumbu karang sebagai tempat ikan berlindung dan berkembang biak.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan peraturan No 2/2015 tentang larangan penggunaan alat tangkap pukat harimau (trawl), pukat tarik, dan pukat hela di perairan Indonesia. Upaya pemerintah ini merupakan upaya menjaga ekosistem laut sekaligus melindungi biota laut khususnya ikan yang masih kecil. Hal ini harus diapresiasi.
Larangan penggunaan pukat harimau sebenarnya sudah tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980. Dalam Keputusan Presiden tersebut disebutkan bahwa semua praktik tangkap menggunakan pukat harimau (trawl) dilarang karena mengancam kelestarian lingkungan setempat.
Namun Kepres tersebut belum dipatuhi sebagaimana diharapkan. Masih banyak pukat harimau yang beroperasi melakukan penangkapan di perariran pantai, padahal daya jelajah boat mereka bisa dengan mudah menembus perairan lepas pantai.
Dengan adanya peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan diharap dapat mengurangi penggunaan pukat harimau, karena peraturan tersebut memberi sanksi tegas bagi yang tidak mematuhi.
Bahkan banyak kapal penangkap ikan berbendera asing yang ditenggelamkan, karena beroperasi di perairan Indonesia tanpa izin.