Oleh: Syafrizal Sahnun
Jangan takut, meski petugas bersenjata, jiwa mereka tak lebih baik dari para perusuh
Dalam sebuah negara hukum, hukum itu sendiri berpotensi menjadi lahan kecurangan. Potensi itu muncul disebabkan sifat manusia yang tak mau disalahkan (egoisme) meskipun dia menyadari kesalahannya. Berbagai usaha dilakukan manusia untuk membenarkan dirinya walaupun dalam proses peradilan.
Untuk menegakkan hukum, perlu dibentuk penegak hukum. Tim yang siap mengatakan putih adalah putih dan hitam adalah hitam. Polisi termasuk tim yang berada di dalamnya, selain hakim dan jaksa. Merekalah yang diharapkan dapat membuat hukum itu bisa berjalan sesuai dengan relnya dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
“Hepeng mangatur negara on”. Ungkapan dalam bahasa Batak yang menggambarkan, begitu saktinya uang dalam urusan bernegara. Ironis. Rasanya dengan uang semua bisa dibeli, termasuk harga diri.
Permasalahan uang sebagai benda yang bisa membeli hukum bukan hal baru di dalam kehidupan bernegara. Bukan hanya di negera ini, bahkan mungkin di negara manapun. Banyak kasus-kasus “pembelian hukum” dapat kita baca di media. Misalnya dalam kasus korupsi.
Orang-orang yang terjerat dalam kasus itu bukan orang biasa. Mereka wakil-wakil rakyat yang dipercaya dan diberi amanah untuk mengurus kepentingan rakyat. Seperti yang kita saksikan, kita saja yang menilai.
Dalam tulisan ini yang tidak menyalahkan siapa. Saya hanya melihat kasus-kasus semacamnya tidak lain hanya permainan dunia yang menjadi ide garapan seorang pengarang sastra. Menjadikannya sebuah karya, seolah menjadi cermin untuk mempermalukan diri sendiri di depan diri sendiri. Bila sudah malu, kiranya dapat mengubah prilaku menjadi lebih baik.
Membicarakan perselingkuhan hukum dan uang, ada baiknya kita hubungkan dengan cerpen Sang Bedebah yang dimuat pada rubrik Rebana 1 Harian Analisa (30/11/2014). Cerpen ini ditulis oleh Hidayat Banjar, sastrawan Medan. Sebagai sastrawan, Hidayat ingin mengomunikasikan sebuah masalah yang mungkin luput dari pandangan kritis masyarakat. Dia ingin mengutarakan sebab-akibat dari suatu tindakan manusia di sebuah negara hukum. Dia semacam menghidangkan sepiring makanan di atas meja. Dipersilakan kepada pembaca untuk mencecap rasa yang tersembunyi di dalamnya. Terserah kepada pembaca jika cerita itu nantinya akan menjadi sebuah pemikiran yang -bisa jadi- menimbulkan perjuangan atau sekadar hiburan semata.
Cerpen dibuka dengan deskripsi sebuah ruang, di dalamnya ada dua orang tokoh. Tokoh pertama seorang terpidana, didakwa sebagai pelaku pelecehan terhadap aparatur negara. Tokoh kedua tak lain seorang pengacara yang ditugaskan oleh negara sebagai pembelanya.
Dari pembukaan itu terlihat, dialog antara kedua tokoh tidak berjalan baik. Hanya si pengacara yang banyak bertanya. Siterdakwa yang dijuliki lelaki bedebah oleh pengacara, hanya diam. Kediaman si terdakwa menggambarkan keadaan psikologinya yang awas memaknai orang yang ingin mengorek info tentang kasus yang ditimpakan kepadanya. Mungkin saja cerpenis ingin menyiratkan dari keawasan si terdakwa tentang kebusukan pengacara dalam menangani kasus-kasus seorang pejuang yang dianggap pembangkang.
Berbicara tentang pengacara dalam sebuah cerpen mengingatkan saya pada cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya. Dalam cerpen itu digambarkan bagaimana watak pengacara muda dalam menangani sebuah kasus. Melibatkan penjahat besar yang sepantasnya mendapat hukuman mati.
Kembali kepada cerpen Sang Bedebah. Pengacara merasa tersinggung dengan sambutan si terdakwa yang hanya membatu dengan tatapan ketidaksukaan. Pengacara mengupat si terdakwa dengan tuduhan mengejar popularitas dengan melecehkan aparat negara.
Dari pembuka cerpen, cerpenis membentuk pemahaman pembaca dari dialog-dialog pengacara tentang apa kasus terdakwa. Si terdakwa yang di sebut si bedebah oleh pengacara ternyata menganiaya dan menghina serta mencemarkan nama baik pejabat negara. Pejabat itu bernama Johny, berpangkat wakapolda (wakil kepala polisi daerah). Si terdakwa yang pada bagian lain cerpen disebutkan bernama Dokter Roberto, telah memukul, menendang, meludahi dan mengucapkan kata-kata: kau lebih rendah dari maling kepada pejabat negara.
Di samping itu ucapan si pengacara, juga menyindir aksi-aksi yang sering dilakukan massa di kehidupan nyata. Misal aksi tutup mulut dan mogok makan yang tujuannya -menurut pengacara- agar diliput media sehingga beritanya menasional, bahkan mungkin dunia. Bisa di sebut mencari sensasi. Aksi semacam itu disebut pengacara sebagai aksi murahan.
Mengapa Dokter Roberto melakukan penganiayaan dan pencemaran nama baik pejabat negara? Dalam cerpen terbaca sebab perlakuan itu dikarenakan wakapolda itu sudah tak menganggap si Dokter sebagai manusia. Sudah berulang-ulang si Dokter dan kawan-kawannya melaporkan tentang pencurian kayu dengan bukti-bukti, tapi tak juga ditanggapi. Malah mereka dianggap provokator berbahaya yang perlu dilenyapkan. Hal itulah yang menyulut kebencian si Dokter terhadap Johny, si wakapolda.
Mengingat pertanyaan si pengacara pada bagian cerpen sebelumnya yang berbunyi: apa Anda pernah punya pengalaman traumatis dengan oknum polisi? Cerpenis menjawabnya dalam paragraf sebagai berikut:
“Ketika gerakan reformasi bergulir, aku pernah masuk sel pengap, dengan tuduhan tidak jelas. Sebagai manusia, siapa bilang aku tak punya rasa takut. Aku berada di posisi paling sudut, apa lagi yang harus aku lakukan? Melawan atau tak melawan sama saja. Aku di posisi, hanya berhak menerima saja apa-apa yang mereka rancang untuk orang-orang sepertiku. Mereka boleh bilang kami bedebah, tikus tanah atau teroris atau apa saja semau mereka. Legitimasi dan kekuasaan ada di tangan mereka.”
“Siapa yang bilang aku tak punya rasa takut? Ketika melihat kolam lintah harus dimasuki para tahanan, orang-orang yang dianggap berbahaya, tak bisa menolak. Apalagi yang harus kulakukan, selain menjalani saja apa yang mereka maui. Aku sering bertanya, kenapa kami disebut orang-orang berbahaya?”
Dari kutipan di atas pembaca mendapat jawaban atas pertanyaan si pengacara yang tak di jawab si Dokter. Ternyata si Dokter memang mempunyai traumatik atau lebih tepatnya mempunyai benih-benih kebencian kepada polisi atas prilaku yang pernah diterimanya. Dalam bagian ini cerpenis mengajak pembaca untuk menyelami psikologis Dokter Roberto.
Dokter Roberto dinarasikan hanya seorang guru, pengelola sebuah bimbangan belajar yang bertugas mengantarkan peserta didik memasuki perguruan tinggi negeri favorit. Di samping itu dia juga ikut dalam gerakan menjaga kelestarian hutan dan lingkungan. Hal itu dia lakukan karena prihatin dengan bencana yang siap memakan korban karena ulah pembalakan liar.
Karena sikap Johny sebagai aparat pemerintah yang seolah tutup mata dengan kasus perusakan lingkungan, cerpenis menggerakkan Dokter untuk menganiaya sebagai bentuk gelap matanya. Dia (Dokter) tidak lagi menganggap Johny sebagai wakapolsek, malainkan para pesuruh -kalau tak mau disebut anjing- cukong kayu.
Selanjutnya seting cerita berpindah dari sel ke ruang pengadilan. Dokter Roberto akan disidangkan. Masyarakat berbondong-bondong ingin menyaksikan, tak ketinggalan juga wartawan.
Untuk mendukung kepejuangan Dokter Roberto, cerpenis memunculkan pembelaan rakyat. Hal itu tergambar dalam seruan rakyat untuk menangkap Jhony dan membebaskan Roberto. Pada penjelasan Roberto dalam persidangan, cepenis menghadirkan pula penjelasan atau curahan hati. Menyikapi keadaan alam yang terus dirusak oleh orang-orang tak bertanggung jawab serta gambaran ke depan generasi selanjutnya bila kelestarian hutan atau lingkungan tidak dijaga.
Puncak cerita pengarang menghadirkan suasana kacau di ruang sidang. Petugas keamanan tak mampu mengendalikan amukan massa pembela Roberto. Dalam kekacauan inilah pengarang menyelamatkan tokoh Roberto untuk melarikan diri.
Pada tahap penyelesaian cerpen, dikatakan ramai surat kabar memberitakan kerusuhan dalam persidangan Roberto. Di tempat lain Roberto berkumpul dengan kawan-kawannya dan tak ditemukan ungkapan jera dari ucapannya.
Dari cerpen beralur maju itu dapat dikatakan, cerpen ini berupa kritikan untuk penegak hukum. Baik di negeri ini maupun di mana saja. Selain itu kritikan juga ditujukan bagi demonstran yang melakukan protesnya dengan aksi tutup mulut dan mogok makan dengan maksud biar diliput media.
Pengarang melalui tokoh pengacara menyebutnya aksi murahan. Bila saja para penegak hukum di kehidupan nyata -sebagai mana yang diceritakan dalam cerpen- sudi membaca cerpen ini. Kiranya mengerti apa yang dimaui oleh rakyat dan dapat bertindak lebih baik. Bila rakyat sudah turun tangan, hukum hantu belau pun tak dipandang. Hati-hati dengan rakyat.
Dalam keelokan cerpen, ada beberapa hal yang terkesan janggal dan tidak logis. Mungkin saja hal itu luput dari perhatian cerpenis sebab terlalu bernafsu untuk menghalo-halokan kritikannya, terkhusus kepada polisi. Pertama pada pemilihan nama tokoh utama, Dokter Roberto. Gelar Dokter dan Doktor mempunyai pemaknaan yang berbeda. Dokter gelar bagi tenaga medis/kesehatan yang diterima dari fakultas kedokteran, atau bisa diperoleh dalam jenjang S1. Gelar doktor biasanya diberikan kepada individu yang telah menyelesaikan pendidikan S3.
Bila pun memang Dokter (dokter) yang dimaksud pengarang, mengapa dalam cerpen tak ada situasi yang menghubungakan dengan praktek dokternya. Hanya ayah Roberto saja yang dikatakan seorang dokter spesialis anak. Malah dia di katakan sebagai guru serta pengelola sebuah bimbingan belajar untuk mengantarkan siswa ke perguruan tinggi negeri favotirnya? Mungkin Dokter dengan makna tersirat, Dokter yang mengobati keluh kesah rakyat tentang kelestarian lingkungan, atau Dokter yang mengobati keadaan lingkungan yang kian sakit? Atau gelar olok-olokan? Atau Dokter itu bukan gelar tetapi nama? Misal namanya Togap, tapi tubuhnya jauh dari makna namanya.
Ketidaklogisan kedua, dialog antara Dokter Roberto dengan hakim. Ketika Roberto menjelaskan tentang pulang kampungnya, hakim menyergah Roberto karena hakim tak mau mendengar riwayat hidupnya. Bersebab itu hadirin berseru dan hakim mempersilakan Roberto untuk bicara kembali. Teramat mudah rasanya hakim menurutkan kehendak hadirin hanya karena seruan “uuuu….”. Padahal bila di kaji dari sisi psikologi, keadaan itu dapat dibuat lebih dramatik lagi.
Ketidaklogisan ketiga mengenai proses perceraian yang cukup besar karena istri-istri jarang mandi, akhirnya suami pergi kemana-mana. Bagai saya sebagai pembaca, kejadian tersebut tak masuk akal, apalagi di daerah gunung. Bisa saja itu merupakan olok-olokan. Bila melihat konteks penceritaan, tak logis alasan tersebut dihadirkan dalam ruang persidangan yang formal dan yang dianggap terhormat. Bila konteksnya kedai kopi atau tidak dalam acara formal, bisa saja diterima.
Terakhir, pada kalimat “Justru mereka lebih rendah dari maling, karena dapat disuruh-suruh oleh para maling kayu untuk meneror saya dan para aktivis lainnya?”.
Paskah kalimat itu dibubuhi dengan tanda tanya? Bukankah itu merupakan kalimat pernyataan? Bukan pertanyaan.
Kesimpulannya, cerpen Sang Bedebah itu khususnya ditujukan buat polisi. Dalam cerpen, bukan pelaku perusakan yang dihajar. Melainkan kelakuan seorang polisi -apalagi berpredikat wakapolda- yang terang-terang disudutkan karena gemar membela pembalak demi uang sogokan, ketimbang membela kepentingan rakyat yang semestinya ditegakkan.