Perempuan Sumut dalam Literasi Indonesia

Oleh: Sartika Sari. Sejarah sastra Indonesia dalam beberapa literatur, kerap mencantumkan nama-nama yang sama. Misalnya yang dipaparkan dalam Bibliografi Sastra Indonesia, Pamusuk Eneste (2001). Sampai tahun 2000 telah terbit 466 judul novel dan 348 judul kumpulan cerpen. Belum termasuk cerpen yang berserakan di sejumlah surat kabar dan majalah yang belum sempat dibukukan. Apabila data tersebut ditambah karya tahun 2000 sampai sekarang, jumlahnya akan bertambah banyak.

Eneste juga menunjukkan, karya-karya tersebut ditulis oleh 5.506 pengarang. Dari jumlah ribuan pengarang, menurut catatan Korrie Layun Rampan, sampai tahun 1996 (saat ketika dia melakukan penelitian), hanya ada 45 orang novelis perempuan.

Data statistik itu menunjukkan sedikitnya kuantitas perempuan, ikut berkiprah dalam dunia penulisan fiksi di Indonesia. Perempuan pertama yang menulis novel, juga diterbitkan oleh Balai Pustaka adalah Selasih, dengan novelnya Kalau Tak Untung (1933). Disusul oleh Soewarsih Djojopuspito (Manusia Bebas, 1940, 1975).

Meski harus mengelus dada lantaran pada akhirnya informasi tersebut, mendominasi pengetahuan sebagian besar pelajar dan mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. Masih ada peluang untuk membenahi bagian-bagian yang rumpang dalam peta itu.

Jenis karya sastra sangat beragam. Peluang kehadiran perempuan penulis yang juga memiliki karakteristik berbeda tentu semakin besar. Apakah penyair, cerpenis, novelis dan esais. Seyogianya, keberagaman itu tak hanya dipandang dari kehadiran cetakan buku yang menyebar ke beberapa penjuru saja.

Misalnya, turut memperhatikan publikasi yang dilakukan di surat kabar. Sebab Indonesia sejak pra kemerdekaan telah dibanjiri kemunculan berbagai macam surat kabar. Setiap wilayah menjadikan surat kabar tersebut sebagai medium untuk menyebarkan informasi hingga pergerakan.

Sumatera Utara menjadi salah satu wilayah yang sangat potensial melahirkan surat kabar. Di antara berbagai surat kabar lama yang ada, seperti yang dikabarkan Pidia Amelia melalui Pusat Studi Ilmu Sejarah dan Ilmu Sosial dalam Mustika Kiasan. Dari lima puluh koran lama diperiksa, puisi ditulis oleh perempuan terdapat di Perempoean Bergerak, Soeara Ibu, Pelita Andalas,  Pewarta Deli, Pedoman Masyarakat, Tjermin Karo, Asahan, Moetiara, Ichtiar, Bintang Karo dan masih banyak lagi.

Sebagai surat kabar pertama yang memuat puisi perempuan, puisi-puisi dalam Perempoean Bergerak terbit pada edisi 16 Juli 1919 memiliki daya tarik tersendiri. Sebelumnya, puisi-puisi tersebut terisolasi dalam tumpukan koran tua.

‘Darah’ feminisme mengalir dalam PB, menjadi substansi dominan pula dalam puisi-puisi yang ada di dalamnya. Selain puisi Tjoemboean, ada pula puisi Orgaan Oentoek Perempoean Bergerak yang ditulis oleh Siti Alima dan Adjakan yang ditulis oleh Oepik Amin. Dalam lima edisi PB, hanya tiga judul puisi yang ada. Namun memiliki jumlah bait yang panjang. Masing-masing Orgaan Oentoek PB 6 bait, Adjakan 20 bait, dan Tjoemboean 31 bait. 

Kehadiran PB di tengah dominasi kaum laki-laki, tidak semata-mata untuk menyaingi posisi laki-laki. Untuk menyokong kemajuan perempuan dengan kemauan sekarang dan jika bisa untuk membantu pergerakan lelaki juga.

Pendeknya, kemajuan pihak perempuan akan berdiri disisinya pergerakan pihak laki-laki yang menginginkan kemajuan tanah air. Selain itu, PB memuat segala karangan-karngan yang berfaedah untuk pihak perempuan bangsa. Seperti hal perjagaan rumah tangga, hal adat, sopan santun, tentang suami-istri, penjagaan anak-anak, hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, masak-masakan dan lain-lainnya yang berguna untuk bangsa kita pihak perempuan yang menginginkan kemajuan.

Hal-hal baru seperti itulah yang menjadi muatan dalam puisi Perempoean Bergerak. Mengenai ini, Damiri Mahmud, kritikus sastra Sumatera Utara menyatakan, puisi-puisi yang terdapat dalam PB sepenuhnya baru. Pertama, puisi dalam PB menerakan nama penggubah bahkan menuliskan nama dalam isi karangannya dengan percaya diri. Biasanya dalam karya syair lama, nama pengarang disembunyikan bahkan dengan gaya merendah-rendah.

Selain itu, pengarang dalam puisi PB berani memasukkan kosakata Belanda, bersifat realita, diksi dan idiomnya selalu praktis dan tegas mengacu kepada ekonomi kata, tidak bertele-tele, atau berpanjang-panjang yang dihiasi oleh banyak bunga kata sebagaimana syair lama.

Jika disandingkan dengan puisi Percikan Permenungan karya Rustam Efendi yang terbit tahun 1926 dan dijadikan awal pembabakan puisi modern Indonesia, tentu puisi dalam PB yang terbit pada tahun 1919 memenuhi kriteria untuk disebut sebagai puisi modern Indonesia.

Siapa yang menyangka, dengan penemuan puisi-puisi dalam PB tersebut, sejarah sastra Indonesia yang selama ini menjadi ilmu turun temurun mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia serta khalayak umum sangat layak untuk ditulis ulang?

Keterlibatan perempuan dalam jaga kesusastraan Sumatera Utara menunjukkan, perempuan penulis dari Sumut berperan pula pada perkembangan kesusastraan Indonesia. Meski, sayangnya tak terdokumentasikan dengan baik dalam peta sejarah sastra Indonesia. 

Setelah kemunculan perempuan penulis pra kemerdekaan yang cenderung mempublikasikan karya lewat surat kabar. Pasca kemerdekaan perempuan penulis di Sumut beralih pada media lain. Ketika karya sastra tidak lagi difungsikan untuk memprovokasi kyalayak, maka kecenderungan publikasi berubah pada bentuk buku. 

Pada tahun 1980-an, puisi-puisi penyair perempuan Sumatera Utara didominasi ideologi feminis dan patriotisme. Begitu pun pada tahun 2000-an. Dalam pengungkapannya, jenjang waktu yang berbeda itu melahirkan karakteristik yang berbeda pula. Pada tahun 1980-an puisi-puisi penyair perempuan Sumatera Utara banyak menggunakan diksi yang padat-rapat.

Pada tahun 2000-an, puisi-puisi penyair perempuan Sumatera Utara lebih lugas dan berani dalam mengungkapkan pemikiran dan perasaan. Kedua ideologi tersebut menunjukkan bahwa karya sastra khususnya puisi penyair perempuan Sumatera Utara mampu menjadi karya sastra yang bertendensi karena mengandung pemikiran yang penting dan berpengaruh.

Perbedaan yang muncul tiap masa tersebut menunjukkan eksistensi perempuan penulis Sumatera Utara pada ranah kesusastraan Indonesia tetap terjaga. Meski tak dapat dipungkiri juga mengalami pasang surut. Semoga semakin banyak perempuan penulis dari Sumatera Utara yang tercatat dalam sejarah.

Penulis penyuka puisi tinggal di Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi