Selamatkan Indonesia dari Cengkeraman Neoimperialisme dan Neoliberalisme

Oleh: Mimi Nurminah, STP, MSi.

Menarik sekali membaca opini yang me­nganalisa tentang semua sektor ekonomi yang ditulis oleh Abangda Fad­min P. Malau (Analisa, 19 Mei 2015). Me­minjam istilah­nya“ Menyedihkan dan Mem­prihatinkan” untuk kondisi Sosial Ekonomi Pertanian (SEP) Indonesia.

Dari data BPS yang dikutip Fadmin me­nya­takan semua sektor ekonomi mengala­mi penurunan, yang menun­jukkan pertum­buhan ekonomi makro menurun yang akan ber­dampak langsung kepada peningkatan pengangguran, yang ujung-ujungnya akan meningkatkan angka kejahatan.

Dijelaskan juga disitu bahwa kinerja pemerintah belum bekerja dengan baik yang ditunjukkan dengan grand strategi ekonomi yang belum tepat, lemahnya kordinasi antar departemen, dan kebijakan ekonomi tim ekonomi kabinet RI yang belum tepat.

Fakta Negeri Indonesia

Fakta menunjukkan Indonesia adalah nege­ri yang sangat kaya, kekayaan alamnya berlimpah, sebagai contoh: Indonesia meru­pakan No 2 paling banyak di dunia yang memiliki keanekaragaman hayati setelah Brazil, yang bisa menjadi sumber gen untuk bibit unggul tanaman tapi faktanya pertanian kita tidak mampu maju, benih masih tergan­tung asing.

Sementara di bidang energi terma­suk 5 besar memiliki energi geothermal di dunia, tapi kita tetap terus kekurangan energi, bahkan setiap tahun PLN kerepotan untuk menda­patkan bbm atau energi untuk operasionalnya. Fakta menunjukkan mayoritas penduduk Indonesia justru hidup dalam kondisi susah.

Cengkeraman Neoliberalisme

Neoliberalisme adalah paham yang meng­hendaki pengurangan peran Negara di bidang ekonomi, negara dianggap sebagai pengham­bat utama penguasaan ekonomi oleh individu, swasta atau korporat (perusahaan). Pengura­ngan peran Negara dilakukan melalui priva­tisasi (penguasaan oleh swasta/asing) atas sektor-sektor publik seperti migas, jalan tol, listrik, pencabutan subsidi komoditas stra­tegis seperti migas, listrik, pupuk, peng­hila­ngan hak-hak istimewa BUMN melalui ber­bagai ketentuan dan perundang-undangan yang menyetarakan BUMN dengan swasta.

Neoliberalisme adalah upaya pelumpuhan Negara menjadi Negara korporat (corporate state), dimana Negara dikendalikan oleh kor­porat (perusahaan swasta/asing). Akhirnya semua keputusan politik dan perundang-undangan tidak dibuat untuk kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan perusahaan swasta (negeri atau asing).

Pasca reformasi, menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin saat berbicara di Solo (14 Mei 2015) terdapat 115 produk UU yang dianggap merugikan umat Islam dan rakyat Indonesia serta dapat merun­tuhkan kedaulatan Negara. DPR sendiri mengakui keberadaan UU pro liberal. Kubu KMP di DPR menyebut ada 122 UU yang pro liberal. Wakil Ketua DPR Fadli Zon berjanji akan merevisi UU tersebut ke depan (Media Umat, Edisi 150, Mei 2015).

Keputusan pemerintahan Jokowi dan JK yang secepatnya menaikkan harga bbm dan memberi subsidi tetap dengan harga sesuai dengan harga pasar, kemudian Pertamina berencana akan menghapus premium dengan menggantinya menjadi Pertalite (RON 90) dengan harga lebih mahal dari premium (Premium/RON88 Rp. 7800,-/liter sementara Pertalite/RON90 diancer-ancer harganya Rp.8300-8500,-/liter, Pertamax/RON91 Rp.8600,-/liter). Keputusan ini adalah bukti kebijakan yang sarat dengan kepentingan asing, karena selisih harga dengan Pertamax dan bensin produk asing (Total, Shell) sangat tipis, maka rakyat akan beralih ke SPBU asing dengan menjanjikan produk yang lebih baik dengan harga yang hampir sama. Yang untung akhirnya asing.               

Cengkeraman Neoimperialisme

Neoimperialisme adalah pen jajahan model baru yang ditempuh oleh Negara-negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap Negara lain. Ini terlihat ada lebih dari 76 UU yang draftnya berasal dari pihak asing, seperti UU Migas, UU Penanaman modal, UU kelistrikan, UU SDA, UU Perban­kan, yang akan meliberalkan sektor-sektor vital di Indonesia. Ketika Pengurus Pusat Muhammadiyah kembali mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi atas UU No.24/Thn 1999 tentang Sistem Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU No.25/Thn 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No.30/Thn 2009 tentang Ketenaga­listrikan.

Din Syamsuddin menyatakan langkah ter­se­but mengundang sejumlah perwakilan Nega­ra lain seperti Amerika Serikat, Inggris dan Prancis mengunjunginya dan memper­tanya­kan dan keberatan dengan upaya Mu­ham­madiyah itu. Sangat aneh bukan. Kalau asing tidak ada keuntungan disitu, untuk apa mereka khusus mendatangi Muham­madiyah dan menyatakan kebertan?

Mantan Menteri Keuangan di era Soeharto, Fuad Bawazier menyatakan sejak era reformasi, Indonesia mene­rapkan paham ekonomi liberal atas tekanan IMF dan Bank Dunia, indikasinya setidaknya ada 6, yaitu pengurangan dan penghapusan subsidi, mengizinkan swasta asing menguasai sektor-sektor strategis seperti perbankan dan teleko­muni­kasi, privatisasi BUMN dan pengendo­ran peran Negara dalam perekono­mian, penggembosan peran dan fungsi BULOG, swasta asing menguasai perekonomian Indonesia termasuk barang konsumsi sehari-hari, pembubaran Pertamina dari versi UU No.8/Thn1971 tentang Pertamina menjadi perusahaan biasa.

Dampak Buruk

Dampak Indonesia berada dalam cengke­raman neoimperialisme dan neoliberalisme adalah harga-harga barang cenderung naik alias mahal dan tidak terjangkau rakyat, pertum­buhan ekonomi melambat, jikapun pertumbuhan ekonomi naik tapi tidak dinikmati seluruh rakyat, itu terlihat dengan tingginya angka kemiskinan, kesenjangan ekonomi (ini terlihat dari Gini Ratio dari 0,3 menjadi 0,4 yang menunjukkan tingginya jurang yang kaya dengan yang miskin).

Selain itu kerusakan lingkungan dengan adanya penebangan liar sehingga banjir dimana-mana, kriminalitas meningkat, keru­sakan moral dimana-mana yang ditun­juk­kan dengan banyaknya prostitusi dan korupsi

Selamatkan Indonesia

Sesungguhnya Rasulullah mengatakan bahwa manusia berse­rikat di dalam air, api dan padang rumput. Itu artinya hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (seper­ti air, energi/bbm, tanah) tidak boleh dikuasai oleh individu, tapi harus dikuasai oleh Negara dan didistribusikan dengan adil kepada semua rakyat, bukan seperti fakta sekarang dimana sektor migas, penguasaan cadangan migas oleh perusahaan asing masih dominan.

Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerjasama non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal (Litbang Kompas). Sementara rakyat harus membayar mahal bbm sesuai harga pasar dunia dan membeli LPG yang mahal.

Dimana keadilannya? Seperti tikus mati di lum­bung padi. Negara kaya hasil alam tapi rak­y­at sengsara. Berbagai problem di berba­gai bidang menunjukkan adanya masalah siste­mik, terstruktur dan ideologis, yaitu pene­rapan ideo­logi kapitalisme sekular yang memi­sahkan aga­ma dari kehidupan, semua peraturan buatan ma­nu­sia, bukan buatan Tuhan yang Maha Esa. ***

Penulis, Dosen di Fakultas Pertanian USU Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi