Oleh: Muliadi. Minggu-minggu terakhir ini, kita mendapat bonus isu baru yaitu “beras plastik” yang kehebohannya menenggelamkan berita dualisme partai Golkar, “Prostitusi Online”, Petral dan kasus korupsi lainnya.
Isu yang ramai beredar di media online, media cetak dan elektronik ini tidak kalah pamornya karena ditindak-lanjuti dengan komentar oleh orang-orang yang berkompeten di negeri ini. Mulai dari pengamanan oleh pihak kepolisian atas sebuah kios yang diduga menjual “beras plastik”, sampai Menteri Perdagangan RI juga angkat bicara, memperkirakan beras oplosan tersebut adalah beras plastik, dan dites oleh sang Menteri dengan mencoba membakarnya (Harian Analisa , 21 Mei 2015).
Kondisi yang terjadi oleh hebohnya isu ini tentu membawa dampak yang tidak kecil bagi masyarakat di tingkat akar rumput.
Wak Amat tukang bubur keliling yang sehari-harinya hanya memasak tiga kilogram beras untuk dagangannya menjadi sedikit was-was ketika berbelanja ke kedai Bang Ucok, tempatnya berbelanja selama 10 tahun terakhir ini. Pertanyaan sederhana Wak Amat, ”berasnya asli kan Bang?”
Pertanyaan ini pasti membuat hati Bang Ucok gusar. Hubungan saling percaya selama 10 tahun jadi terganggu gara-gara isu ini. Untung saja Wak Amat tidak meniru cara menteri kita mengetes berasnya dengan cara membakar. Tapi wajar saja Wak Amat bertindak was-was, soalnya beberapa pelanggannya, sudah dua hari tidak membeli buburnya akibat isu ini.
Pada sisi lain di dunia maya sosial me-dia, perdebatan tentang beras plastik semakin liar. Pengguna Facebook, Twitter, What’s App, Line, BBM, dan media massa online juga luar biasa sibuk memberitakan hal tersebut. Trend penyebaran paling cepat adalah melalui para Netizen yang dengan gampang men-share berita yang dibacanya.
Setiap orang merasa sangat bangga bila dapat men-share berita hangat yang baru diperolehnya tanpa berpikir panjang lagi. Toh cuma copy paste. Sangat mudah bukan?
Saat Sucofindo, melakukan tes di laboratorium, dan polisi juga melakukan penyelidikan asal-usul beras plastik tersebut, sebagian media massa bahkan sudah mengambil kesimpulan mendahului semua pihak yang berkompeten, misalnya kesimpulan bahwa “beras diseludupkan secara ilegal dari Tiongkok”.
Sebagai pengguna baru teknologi internet, sebagian netizen sering mempercayai apapun yang disampaikan secara berantai. Dan ironisnya lagi, terkadang berita yang didukung dengan link berita berbahasa Inggris malah dianggap lebih afdol lagi. Padahal fakta-fakta yang ditemukan dalam kasus ini masih sangat minim.
Di samping fakta-fakta minim tentang kebenaran isu tersebut, ada baiknya bila kita mencoba melihat beberapa fakta dari sudut pandang berbeda.
Pertama, beberapa hari sebelum penjual bubur bernama Dewi Septiani mengunggah ceritanya, isu tentang “beras plastik” sudah ramai beredar terlebih dahulu di kalangan netizen, lengkap dengan investigasi berupa bukti rekaman video “pabrik beras plastik” yang ternyata belakangan banyak dibantah oleh para netizen lain yang kritis. Soalnya, pabrik dan mesin yang di-videokan ternyata adalah pabrik pengolahan daur ulang plastik biasa. Dan kebetulan plastik daur ulang selalu dibuat penyelesaian akhirnya berupa pelet yang ukurannya hampir sama dengan butiran beras. Jadi, ada indikasi pembohongan dan pembodohan publik dari penyebaran video ini.
Mudah Melacak
Kedua, fakta penemuan penjualan beras hanya masih pada sebuah kios kecil, namun beritanya sudah sedemikian heboh secara nasional, sampai-sampai menutupi berita Menteri ESDM yang harusnya lebih populer. Dan bila benar kios tersebut menjual “beras plastik”, seharusnya pihak kepolisian akan dapat dengan mudah melacak asal usul pemasoknya, dan menemukan biang keladi dari semua kehebohan ini.
Bukankah tindakan mencampur “racun” dalam makanan pokok dengan unsur kesengajaan, dan mengakibatkan keresahan masyarakat termasuk tindakan yang masuk dalam kategori kejahatan berat. Bila benar, seharusnya negara harus tampil lebih all-out dalam penyelidikannya. Tidak bisa lagi hanya mengandalkan polisi lokal dan walikota Bekasi.
Ketiga, opini diarahkan ke kesimpulan bahwa kejahatan ini adalah semata-mata mencari keuntungan materi. Hasil penelusuran secara acak, harga satu kilogram pelet plastik daur ulang yang termurah adalah sekitar Rp 12.500, (sumber : www.bijiplastikindonesia.com) dan harga tersebut jelas sudah di atas harga beras yang dibeli oleh penjual bubur, konon dibeli seharga Rp 8.000 per liter. Pertanyaannya, apakah ada pengusaha sebodoh ini ? (Bila Anda menemukan penjual beras yang masih menjual “beras plastik” seharga Rp 8.000 per kg, silahkan borong dan jual ke pedagang plastik, dijamin Anda untung besar)
Keempat, peliputan media massa atas pendapat ahli masih berkutat di persoalan kimiawi dan kedokteran. Sang “ahli kimia” dengan lugas menjelaskan kandungan kimiawi dengan istilah-istilah yang membuat rakyat jelata mengeryitkan kening dan semakin ngeri, karena tidak mengerti. Lalu ada ahli penyakit yang menambah seram cerita ini dengan hipotesisnya bahwa “beras plastik” ini bisa mengakibatkan kemandulan pada pria (alias impotensi).
Wajar bila bapak-bapak yang membaca berita ini menjadi kalang kabut. Beruntung ada ulasan Dr Asmuwahyo S. Seorang pakar polimer dari Universitas Indonesia (Analisa, 23 Mei 2015) yang mempertanyakan hasil penelitian Sucofindo yang tidak secara tegas memberi kesimpulan apakah beras tersebut adalah plastik atau sekadar terkontaminasi bahan plastik.
Konteks penelitian tidak memberikan jawaban kepada masyarakat awam. Semestinya ada pihak berkompeten yang memberikan kesimpulan untuk disampaikan kepada masyarakat yang sedang bingung.
Hal yang lebih urgensi seharusnya adalah memastikan pola penyebaran “beras plastik” ini sudah sampai di mana ? Pola kejahatan ini dapat dikategorikan pada bobot seberat apa menurut pakar kriminal ?
Mengapa media massa yang rajin mengekspos berita ini sepertinya tidak ada yang berupaya menginvestigasi asal usul beras, serta fungsi kontrol oleh pemerintah dengan mewawancarai si pemilik toko,polisi, Balai POM, Departemen Perdagangan atau instansi terkait lainnya ?
Jangan-jangan isu beras plastik sengaja disebarkan orang tertentu untuk mengalihkan kasus-kasus besar yang sedang ditangani pemerintah.
Faktanya memang sangat kecil. Beras sistetis ini baru ditemukan di salah satu kios kecil di Bekasi. Namun isu ini hebohnya luar biasa. Sepertinya ada unsur kesengajaan menghembuskan isu ini untuk meresahkan masyarakat. Ibarat memandang cacing seperti melihat seekor naga.
Kelima, berita-berita mengenai kekhawatiran beras plastik akan disusupkan ke beberapa pasar di daerah Jawa Barat sangat tidak berdasar, karena tidak ada penyebutan asal-usul informasi, dan tidak memikirkan dampaknya bagi rakyat kecil yang minim informasi resmi.
Melecehkan Negara
Foto konsumen yang mencium beras untuk memastikan beras asli atau palsu sungguh menampar wajah pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung konsumen. Berita-berita tersebut seakan-akan ingin menyampaikan kepada kita semua bahwa fungsi pemerintah, baik sipil, kepolisian, Badan Intelijen Negara, TNI dan instansi lainnya seakan-akan tidak bekerja.
Berita semacam ini jelas bukan untuk fungsi kontrol sosial kepada pemerintah, tapi sudah merupakan pelecehan kepada negara dan bangsa.
Dari beberapa fakta di atas, tentu saja terselip harapan masyarakat kita akan semakin kritis dan bijak dalam menyikapi setiap arus informasi yang masuk ke ranah kehidupan kita. Arus informasi sudah tidak terbendung lagi di era internet ini. Yang dapat kita lakukan adalah bagaimana cara memilahnya dan bertanggung jawab atas semua hal yang kita terima dan disebarkan kembali.
Memang saat ini adalah zaman kebebasan menyatakan pendapat yang paling bebas dalam sejarah Republik ini, tapi jadikanlah kebebasan ini untuk menuju masyarakat yang lebih bermartabat dan berkarakter. Jangan menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya. nda juga memiliki kebebasan yang paling berharga, yakni pilihlah media massa yang memegang teguh integritas dan bertanggung jawab.
Mungkin Anda tidak membeli beras secara eceran dari toko atau pasar kecil dan tidak merasakan efeknya, tapi Wak Amat dan jutaan rakyat jelata lainnya harus mengalami ketidaknyamanan ini. ***
Penulis adalah pemerhati sosial masyarakat