Oleh: Sartika Sari. Dalam porsi berbeda-beda, karya sastra menjadi salah satu perekam sejarah. Tak heran kalau Edward W. Said, Homi Babha dan Gayatri Chakrovorty Spivak menempatkan karya sastra yang merekam sejarah Indonesia pada posisi sentral di pemikirannya. Melalui postkolonial, kemudian karya sastra tersebut menjadi objek kajian untuk menelusuri jejak-jejak kolonialisme.
Keberadaan karya sastra dalam pembentukan dan pengabadian sejarah tentu tak dapat dipandang sebelah mata. Kesadaran itu pula yang sepertinya menggugat Ahda Imran untuk memberi ruang dalam puisinya agar diisi ingatan sejarah.
Pada pengantar Rusa Berbulu Merah, penyair yang juga seorang esais, tampak telah percaya penuh kepada para puisi untuk merantau dan berpetualang sendiri ke semesta. Sebagai pengumpul dan perakit kata-kata, dia tak mau kelewat nyinyir. Puisi tidak bisa dipaksa atau terlalu dituntut begini-begitu. Ketika dia datang, singgah sebentar dan ingin pergi atau ketika dia minta diturunkan ke bumi, tanggungjawabnya seperti daun pintu saja. Ahda begitu yakin puisi diciptakan dengan kebebasan yang tak bisa ditawar. Mengembalalah puisi, katanya.
Tuan rumah yang ramah. Tentu akan mengundang kegembiraan para tamu, para pembaca. Terbit pada tahun 2014, kumpulan puisi penyair yang lahir di Kanagarian Baruhgunung, Sumatera Barat itu menarik sekali untuk ditelusuri. Tampak luar, puisi-puisi yang termaktub di dalamnya adalah puisi yang ‘nakal’, berani dan serius.
Seperti yang lain, saya mulai membaca dari barisan depan. Satu per satu puisi yang telah diurutkan itu rupanya tak sembarang. Dari satu pintu ke pintu saya telusuri puisi dalam Rusa Berbulu Merah, tetapi tak juga menemukan ruang lapang untuk meletakkan para puisi itu sebagai satu kesatuan dari sesuatu hal, di kepala saya. Perjalanan mirip meditasi yang dilakukan penyair, hingga pelosok bahkan menyublim beberapa ruang. Saya merasa, itu sama dengan berpuluh-puluh lembar esai.
Merdeka Walk Medan, memikat saya. Puisi yang napasnya adalah kampung Deli itu mengingatkan saya pada kota yang kini meraung-raung. Selain termaktub dalam Rusa Berbulu Merah, seingat saya, puisi ini telah terbit di Kompas. Puisi yang tenang dan provokatif untuk mengajak pembaca mengingat sejarah.
Gedung-gedung tua berwarna jam 5 sore
lapang terbuka, dua gelas bir, kebab turki
misai dan rambut idris yang putih. Idris bercerita
tentang Amir, revolusi, kematian, dan bendera
Langkat masih dikibarkan.
Larik-larik yang padat dengan masa lalu. Mengajak kita berjalan, mengikuti Ahda, yang pada waktu itu berkunjung ke Medan.
Dalam penelusuran pusat kota, larik-larik itu memberitahu bagaimana perjalanan penyair dan secara tidak langsung menuntun untuk merasakan hal yang sama. Bersama Idris, saya yakin yang dimaksud adalah Idris Pasaribu, sastrawan Sumatera Utara. Dia berusaha menikmati sajian masa kini sambil mengenang masa lalu. Amir, yang diceritakan Idris, kemungkinan besar adalah Pangeran Tengku Amir Hamzah, penyair Indonesia yang masyur dengan sajak-sajak melayu-nya.
Seperti yang diceritakan Idris, dalam larik pembuka, berkaitan dengan revolusi, kematian dan bendera Langkat, Amir memang bukan sekedar penyair. Dalam catatan yang ditulis Djohar Arifin Husein. Dia adalah putra bungsu (Ku Busu) dari Tengku Muhammad Adil, seorang pangeran Kepala Luhak Langkat Hulu dan ibunya yang merupakan keturunan bangsawan dari Stabat.
Amir Hamzah memikili pengaruh besar dalam pergerakan kepemudaan di Indonesia. Sejak lulus dari dari HIS di langkat, Mulo di Medan dan Jakarta serta menyelesaikan Fakultas di Jakarta. Selanjutnya dia masuk ke AMS Solo (Jurusan Sastra Timur) kemudian beralih ke Fakultas Hukum (RHS) di Jakarta.
Sejak di Jakarta, dia semakin aktif berorganisasi dan menjadi salah satu konseptor Sumpah Pemuda. Selain itu, dia menjabat sebagai sekretaris utama Perkumpulan Indonesia Muda.
Sebagai pangeran, dia pun terkenal sangat dermawan karena sering membantu rakyat yang tak sanggup membayar rodi. Tengku Amir Hamzah juga terlibat dalam panitia persiapan kemerdekaan di Sumatera Timur. Dialah yang pertama kali mengumumkan proklamasi kemerdekaan di Langkat di kota Tanjung Pura pada minggu ketiga tepatnya 19 September 1945. Kemudian mengelilingi kota Tanjung Pura dengan meneriakkan, “Indonesia sudah merdeka!” diiiring suara sirine.
Dalam kepemimpinan Mr Teuku Muhammad Hasan, Amir Hamzah juga diusulkan menjadi Asisten Residen di daerah Langkat pada 29 Oktober 1945. Dalam kepemimpinan itulah, keberadaan orang-orang merah, PKI, yang berpolemik dengan Sultan berujung pada pemberontakan, pengkhianatan, revolusi dan kematian. Sebuah sublimasi yang manis, telah dilakukan Ahda.
Selanjutnya;
Langit kuning, Matahari berdiri
di pinggir sungai Deli. Bayang pohon/di persimpangan. Angin dihembuskan
dari tenggara. Bau tubuh koeli, suara sepatu
Nienhuys memindahkan Deli Maatschappij-menjauhi sultan.
Larik ini membawa ingatan tentang Jacobus Nienhuys, seorang Belanda yang sedang bekerja di pertembakauan kongsi van den Arend Do Jawa timur yang datang ke Deli untuk menanam modal.
Perilis pembukaan perkebunan tembakau deli ini, mendapat dukungan sangat kuat dari Sultan Mahmud. Salah satunya, Sultan menghadiahkan perkebunan untuk Nienhuys. Meski tak mudah menjalankan perkebunan, Nienhuys terus berusaha dengan gigih. Dia pun berhasil mengelola perkebunan dan berhasil memantik pembangunan Deli Maatschappij. Suatu perseroan terbatas yang memberi keuntungan besar untuk Belanda.
Dalam perjalanan itu, Deli Maatschappij Company juga turut membangun sebagian besar sarana infrastuktur utama cikal bakal kota Medan. Antara lain pelabuhan Belawan, Balai kota, Bandara Polonia, fasilitas telepon, air bersih, rumah sakit, jalur kereta api dan banyak lagi.
Dua bagian penting dari tubuh masa lalu Medan. Dalam pendengaran dan perjalanan itu, kemudian impresinya menjalar pada ingatan tentang sebuah daerah. Dahulu memiliki pengalaman yang sama, berkaitan dengan perkebunan. Selesai mengenang, larik selanjutnya;
dan revolusi tak pernah
memerlukan apa pun selain kebencian
juga ketika ia menjadi silam. Tapi Idris masih
bercerita tentang Amir dan kematian para bangsawan
rambut dan misainya semakin putih, seperti benang kain kafan.
Larik ini mengingatkan kita pada kerancuhan dan kelucuan sebuah kota yang diperebutkan kaum elit. Medan Putri adalah Kampung Deli adalah Kota Medan yang kini berjuang mempertahankan peninggalan sejarah dan jejak kemerdekaan.
Misalnya, monumen perjuangan Sumatera Utara diresmikan pada tanggal 9 Agustus 1986, di lapangan merdeka Medan. Tempat pengibaran sang saka merah putih yang pertama kalinya secara resmi di propinsi Sumatera pada 6 Oktober 1945. Penyampaian berita Proklamasi Kemerdekaan 17-8-1945 oleh Mr. T. M. Hasan yang sempat menjadi topik panas.
Gedung-gedung tua berwarna jam 5 sore/lapang terbuka dan kota yang berayun-ayun/lengang di tubuhku.
Tersisa tinggal sepi. Sejarah dan berbagai ingatan tentang kota cuma meninggalkan sepi. Puisi banyak menyimpan kenangan, tetapi juga kuat sekali menanamkan kesunyian. Tidak ada gugatan penutup selain sebuah kepasrahan, membiarkan sepi menjalari seisi badan. Padahal Merdeka Walk yang memantik Ahda, adalah pertaruhan masa.
Penulis penyuka puisi tinggal di Jatinangor