Rumah Merpati

Oleh: Ria Ristiana Dewi.

Putih. Langit masih berbentuk awan putih menyinari rumah merpati, rumah yang terletak di komplek perumahan mewah, namun jika ada yang melintas mereka tidak pernah tahu bahwa aku masih berada di dalam rumah ini. Banyak yang mengira aku tak ada di rumah ini. Namun, aku tak perduli. Di rumah ini, aku tak meninggalkan apapun, sedikitpun cerita masa laluku. Aku percaya jika aku tetap disini, maka cintaku akan tetap berada di sini. Takkan ada yang berani melarangku untuk tetap berada di rumah ini, rumah merpati.

Sepertinya matahari yang menimpa bumi hari ini pernah aku dan ia jadikan guyonan pula garis-garis terik di dedaunan kian hijau, sangat hijau. Dari arah jendela, kulihat merpati itu berusaha memompa sekepak dua kepak melawan arah garis mentari. Lalu, aku ingat mengapa merpati itu selalu bersikap seperti itu. Sudahlah… itu hanya lamunanku. Kusadari lima tahun yang lalu itu takkan pernah nyata, semakin lama pudar terserak pedar.

Pernah satu kali, ujung perjalanan aku dan ia, namun awal perjumpaan itu aku menitipkan sesuatu padanya yaitu rasa yang garing berubah menjadi lemak dan manis. Entah… apakah ia masih mengingatnya. Tapi, aku terus mengenangnya bagai merpati menunggu kedatangan merpati lain. Aku dan dia ingin keduanya berada pada satu rumah, satu mimpi, satu impian, satu hidup untuk satu mati. Aku dan ia pelihara sepasang bermata bening itu dengan sayap-sayapnya yang cerah bila ingin melayang menuju angkasa kan berlomba, beradu pada semilir angin. Terkadang aku terjatuh dan ia kan menangkapku dari arah paling aman hingga jenakku senyaman benang yang dililit ke tubuh kayu. Deras… terlalu deras iba yang mengalir jika aku melakukan ritual kenangan itu. Ah….

Tiba-tiba terlintas benakku memasak makanan kesukaannya. Kusibukkan jemari, kaki, pikiran sekedar menghabiskan isi kulkas. Kuangkat lengan baju, kulipat hingga mencapai pangkalnya menunjukkan aku siap. Mungkin ini masih makanan kesukaannya, mungkin benar jika nanti kian tercium, ia yang berada di ujung pintu yang tadinya enggan kan masuk menangkap hidangan yang telah kusiapkan. Ah… aku terlalu bodoh jika aku berharap itu akan menjadi nyata.

“Um-mi… Um-mi… masyak apa?”

Matanya menatapku serupa ia, tanyanya mengingatkanku padanya, senyumnya tersungging padaku juga serupa ia. Bodoh… aku terlalu bodoh dengan semua itu.

“Umi mau buat makanan kesukaan… eh, kesukaan jagoan Umi,” kataku dengan terbata-bata dan sangat memaksa.

“Buat Saiful ya, Mi!”, tanyanya dan lagi-lagi dengan senyum itu. Perlahan aku tak tahan berlama menatapnya, segera kualihkan mata ke arah wajan dan mulai mengaduk-aduk lagi. Hatiku kian teriris, jantung dibelah-belah, otak yang diberi air panas. Butuh ketenangan, ya… aku butuh ketenangan.

Rumah ini disebut rumah merpati. Mungkin karena terlalu banyak merpati. Dahulu ia yang menangkap dan membeli merpati-merpati itu. Katanya biar aku bahagia, tidak sepi bila ia tak ada di rumah. Pernah aku melihat merpati sebanyak ini saat menonton acara jalan-jalan di TV. Saat itu ia masih berada disampingku, sambil menatap wajahku dengan lembut ia meletakkan kepalaku di bahunya, kami menonton bersama. Merpati-merpati dengan sayap-sayap putih itu yang paling kusuka.

“Sayang… kau ingin aku membelinya untukmu?”

Aku terkejut saat itu, mimikku polos saja, kutunjukkan membenarkan ucapan itu. Lantas ia membeli dua merpati putih di dalam sangkar mungil hingga keduanya terlihat merapat, sangat rapat. Jika ada yang melihat simbolis cinta di dalamnya, seakan tak ada cela perpisahan. Indah seakan itu adalah pemiliknya. Hingga pernah sekali waktu satu merpati keluar dari sangkar, maka si putih bermata bening itu hanya sendiri saja. Sedih dan sepi yang menyelimutinya.

“Jangan bersedih, akan ku beli lebih banyak untukmu,” katanya sambil mengelap air mataku.

“Kau… begitu sayang pada merpati itu? Sudahlah, itu hanya merpati.”

Suatu hari ia membeli lebih banyak lagi merpati-merpati bersayap putih bermata bening. Aku bahagia. Ya… aku bahagia. Merpati-merpati itu memenuhi halaman rumah. Berkicau menyambut fajar, menegur senja. Sayapnya dikepak-kepak tajam, berterbangan saat aku mendekat memberi ruang jalan, sesekali menyentuh kulitku. Aku tak dipenuhi rasa sepi lagi. Telah lebih yang ia beri. Tapi, kenapa aku terus memikirkan merpati yang pergi dari sangkar itu, benarkah ia takkan kembali?

“Um-mi…!”

Aku kaget dengan panggilan Syaiful. Ia melihatku meneteskan air mata saat sedang duduk sendiri di meja makan. Telah terhidang di meja itu sayur tumis kangkung, sambel hati, ayam semur, dan satu gelas jus jeruk hangat. Itu semua kesukaannya. Karena Syaiful tak dapat makan sambal, maka kuhidangkan ayam goreng untuknya. Kelihatannya, ia sangat lahap. Dan seperti biasa aku makan yang telah kumasak sendiri pula seorang diri. Setelah Syaiful makan, kurebahkan tubuhnya di dalam kamar. Kutatap lagi wajahnya. Sejenak aku bimbang, kuambil bantal di sebelah Syaiful. Lalu….

Secepatnya aku keluar dari kamar Syaiful, bantal tadi masih berontak di tanganku merintih minta diposisikan siap tempur. Aku bawa keluar, di sofa depan TV kemudian aku tidur ditubuhnya. Aman.

Syaiful adalah satu-satunya yang tertinggal darinya. Syaiful kulahirkan sejak tiga tahun yang lalu, tangisnya, rengekkannya terus saja membuatku tidak mengerti. Kembali mataku terbuka, tertatap langit-langit kosong. Lagi, hatiku bimbang lagi. Hati ini mulai gerah, aku memutuskan beranjak dekat dengan jendela. Dari dalam terlihat burung merpati putih yang masih terkurung sepi atas kepergian pasangannya lima tahun yang lalu. Memang aku sendiri yang memutuskan burung itu harus tetap di situ untuk menunggu kedatangan pasangannya, sedangkan yang lain akan lalu-lalang di luar sangkar. Tapi, ia tidak! Seperti yang kukatakan tadi, ia dianggap merpati penuh kesendirian. Ia berbeda. Ada kalanya merpati itu akan menjadi tempat aku memijakkan ingatan-ingatan masa lalu. Masa lalu yang entah sudah berapa kali selalu mengelabui akal sehatku. Kemudian aku teringat lagi. Air mataku menetes lagi dan kali ini lebih deras.

“Aku harus pergi, kau tidak memenuhi janjimu, Zaira!”

“Tidak Mas, jangan pergi!”

Aku terisak-isak menahan kakinya, saat itu aku memohon agar ia jangan melangkah sejengkal saja dari rumah. Aku bersikeras ia tak boleh pergi karena mungkin aku terlalu mencintainya. Seperti sebuah rasa yang tak terpenuhi, maka rasa itu akan mati, kaku seperti mayat hidup. Hidup yang tak bernyawa. Tapi, ia tetap pergi dengan wanita itu.

“Sudah aku katakan padamu berkali-kali, kau hanya wanita simpanan suamiku dan aku mengizinkanmu menikah dengan suamiku tanpa seorang anak. Apa kau tak paham?”

Lalu di depannya aku menjambak rambut wanita itu kemudian menamparnya. Dengan cepat pula, dari arah dalam mobil berlari seorang anak laki-laki remaja bertubuh tinggi menghalangiku dan membalas menamparku. Setelah mencercaku habis-habisan, mereka semua pergi hingga tinggallah aku seorang diri bersama kandunganku yang saat itu masih berusia tiga bulan.

Ah… entahlah, aku memang tak ingin mengingat peristiwa itu apalagi telah terbenam sejak lama. Hal itu aku buktikan dengan menyakinkan diri agar aku membesarkan Syaiful dengan tanganku sendiri. Aku tak perduli saat banyak orang mengatakan bahwa Syaiful tak diakui keberadaannya. Aku tetap membesarkannya tanpa seorang ayah. Sekian lama hingga merpati-merpati itu terkadang membisikkan hal jahat padaku. Atau mungkin karena merpati itu ingin aku serupa dengan seekor merpati bermata bening yang berada sepi sendiri di dalam sangkarnya.

Sisa-sisa sakitnya masih pedih, mungkin kesalahanku. Tapi… tidak! Lagi-lagi merpati itu mengatakan tidak padaku, menyakinkan aku bahwa aku sudah layak seperti ini.

Seharusnya ia berada di sampingku selayaknya suami berada disamping istrinya saat akan melahirkan. Tapi, batinku semakin tersiksa saja setelah aku harus membesarkan Syaiful sendiri. Setiap tangisnya begitu menyiksa begitu pula rengekkannya apalagi senyumnya, tawanya seakan mengejekku yang seorang diri ini.

Dari situ, aku kembali ke kamar Syaiful, kudekati ia begitu dekat.

“Aku tersiksa akibat ayahmu dan akibat kelahiranmu,” rintihanku yang membisik-bisik di telinga Syaiful. Tapi, wajahnya sangat manis. Wajahnya penuh surga. Ah… sudahlah!

Cepat-cepat aku melangkah ke dapur, kuarahkan pandangan dengan sebilah pisau yang kuanggap paling tajam. Kembali aku ke kamar Syaiful, tapi kali ini aku seakan menghitung langkah satu persatu. Gila! Aku sudah gila!

Kulihat lagi wajah Syaiful dan kurasakan penuh yakin bahwa wajahnya adalah wajah ayahnya. Aku tak bisa membesarkannya dengan wajah itu lebih lama lagi. Aku tak sanggup. Setelah merasa yakin kutusuk pisau tepat di perutnya. Darah berceceran terlihat sangat kental. Anehnya, ia tak menangis atau mungkin tak sempat. Aku tak berani menatap wajahnya. Tidak!

Hah… selesai aku membereskan batinku yang tersiksa. Aku tersenyum senang merasa telah tuntas tugasku. Aku menatap Syaiful kali ini, penuh darah dan aku tak tahan. Aku sadar apa yang sudah kubuat. Lalu aku berlari secepatnya keluar rumah, seluruh merpati berterbangan gelisah seperti gelisahku. Tiba-tiba di jalan aku kepergok Pak Baron dan Bu Baron. Mereka menyadari kegelisahanku dengan darah di sekujur pakaian.

“Zaira, kau kenapa?”

“Eh… ah… Syaiful. Tolong!”

“Ada apa dengan Syaiful?”

Mereka langsung ke rumahku sambil memaksa membawaku mencari tahu apa yang terjadi.

“Masyaallah, kau membunuh anakmu sendiri.”

“Aku bukan Pembunuh.”

“Apa yang kau lakukan, Zaira!”

“Aku bukan pembunuh.”

“Kau membunuhnya”

“Aku bukan pembunuh, bukan!”

Aku pun berlari dan berlari entah kemana arah. Ketakutan mulai terjerat oleh pikiranku. Jalanan penuh keramaian, aku seperti baru saja terlahir karena telah lama tidak melihat jalanan yang ramai ini. Lalu, kakiku mulai agak sakit dan keram dan aku terjungkal. Mereka yang sejak tadi mengejarku lantas menangkapku dan membawaku ke polisi. Di kepolisian, aku tak menjawab apa-apa selain hanya menggeleng-geleng. Aku mulai bingung. Hingga akhirnya mereka membawaku ke rumah sakit jiwa.

“Aku tidak gila! Aku tidak gila!”, jeritku saat mereka memasukkanku ke salah satu kamar yang di dalamnya ada banyak orang berparas aneh yang pula aneh melihatku. Tapi tak ada yang perduli. Mereka hanya mengira bahwa aku ini berbahaya.

Lama sudah aku berada di tempat ini, aku mulai ingin melarikan diri dari semua ini. Saat itu, aku terduduk lesu di halaman rumah sakit. Dari para suster itu aku mendengar gosip tapi seperti nyata.

“Di rumah si wanita simpanan itu, sering terdengar suara seorang anak menangis. Warga disitu bilang rumah itu tidak pernah sepi dengan merpati. Dan pernah ada yang melihat seorang wanita tertawa-tawa, padahal rumah itu kosong.”

“Apa?”, jeritku. Tapi, tak ada yang mendengar. Aku melihat diriku yang lain dan aku, aku tak paham mengapa mereka tak mendengar suaraku. Suster-suster itu lalu melanjutkan.

“Kematian wanita itu kemarin juga sungguh tragis. Kalian percaya, kata tukang buang sampah yang sering mengambil sampah di rumah sakit ini. Sewaktu ia masuk ke kamar itu, ia menemukan wanita itu tergantung di kamarnya, tapi anehnya ada seekor merpati di situ entah dari mana datangnya.”

Serambi KOMPAK, 2011

()

Baca Juga

Rekomendasi