Mengenal Dispepsia, Si Penyakit Asam Lambung

Oleh: dr. Hantono S

SEORANG pasien tiba-tiba datang ke ruang IGD dengan memegang perut bagian atas sambil mengeluhkan nyeri dan berkata: “Dok, sepertinya asam lambung saya kumat”. Atau “dokter, perut saya terasa kembung, ada rasa mual tapi tidak muntah”, dan keluhan-keluhan lainnya.

Terkadang pasien sendiri yang mengatakannya saat di­tanya riwayat penyakit yang pernah dideritanya.  Dalam praktek sehari-hari, tidak ja­rang kita mendengar­kan keluhan se­orang pasien seperti itu terjadi, me­nge­luh­kan nyeri ulu hati, perut tera­sa kembung atau penuh, rasa tidak enak atau terbakar di dada, bahkan ada yang diser­tai mual dan muntah. Hal ini yang sering disebut masya­ra­kat awam sebagai penyakit asam lam­bung atau meng­arah pada suatu diag­nosa yang dikenal dalam dunia medis sebagai dispepsia. Sebenarnya apa itu penyakit asam lambung/dis­pep­sia yang terdengar di masyarakat selama ini?

Dispepsia berasal dari ba­hasa Yu­nani yaitu dys yang artinya “buruk” dan peptein yang artinya “pencern­a­a­n”. Menurut International Panel of Clinical Investigator, dis­pepsia me­ru­pakan suatu sen­sasi tidak nya­man berupa nyeri yang terutama dirasa­kan pada perut bagian atas. Menurut Kriteria Roma III, dispepsia fung­sio­nal meru­pa­kan sindrom yang men­ca­kup satu atau lebih dari gejala-gejala seperti perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang atau rasa terbakar di daerah ulu hati, yang ber­lang­sung sedikitnya dalam 3 bu­lan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya tim­bul 6 bulan se­belum didiag­nosis. Sindrom atau ke­luhan ini dapat juga diakibatkan oleh pe­nyakit lain.

Bagaimana Mengenali Dispepsia yang Dialami?

Secara garis besar, dispep­sia dike­lompokkan menjadi dua bagian yaitu dispepsia organik dan dispepsia fung­­sional. Dikatakan dispepsia fung­sional bila dua dari kri­te­ria beri­kut ini terpenuhi yaitu rasa penuh se­telah ma­kan yang mengganggu, pera­­saan cepat kenyang, nyeri ulu hati, rasa terbakar di daerah ulu hati atau epigastrium, dan disertai dengan tidak ter­buk­ti­nya kelainan structural yang menyebabkan timbulnya ge­jala-gejala tersebut yang terdeteksi saat dilakukan en­doskopi pada Salu­ran Cerna Bagian Atas. Dispe­psia fung­­sional dibagi dua kelompok se­cara garis besar yaitu postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome.

Postprandial distress syndrome meliputi kelompok dengan perasaan cepat penuh/bengah setelah makan dan perasaan cepat kenyang, tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa sedikitnya ter­jadi beberapa kali dalam se­minggu. Sedangkan epigastric pain syndrome mewakili kelom­pok dengan rasa nyeri yang lebih kons­tan yang ter­lokalisir pada daerah epigastrium paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu, de­ngan nyeri biasanya timbul berulang, tidak berkurang de­ngan BAB atau buang angin, dan penyebab penya­kit lain telah disingkirkan seperti diagnosis kelainan kandung empedu dan sfing­ter Oddi. Nyeri pada epigas­trium biasanya tidak menja­lar hingga ke retrosternal, yang berkurang de­ngan ma­kan namun mungkin timbul saat puasa.

Kedua kelompok dispep­sia fung­sio­nal ini pun dapat terjadi bersa­maan. Dalam diagnosa sehari-hari, ke­adaan dispepsia ini juga harus di­be­dakan dengan keadaan yang dike­nal dengan Gas­tro Esofageal Reflux Disease (GERD) serta Irritable Bo­wel Syndrome.

Berdasarkan keluhan pa­sienlah sebenar­nya diagnosa dispepsia ini dapat ditegak­kan dan disertai peme­riksaan penunjang se­perti endos­kopi untuk mem­bedakan kelom­pok dispepsia terutama bila gejala yang di­keluhkan tidak khas.

Apabila kelainan organik dite­mukan, dikelompokkan ke dispepsia organik, demi­kian pula bila kelainan orga­nik tidak ditemukan, dike­lom­pokkan ke dispepsia fung­sional, se­hing­ga diper­lu­kan suatu tindakan yaitu Esofagogastroduodenoskopi untuk menilai ada tidaknya kelainan organik tersebut.

Dis­pepsia sendiri meru­pakan sua­tu diagnosa eks­klusi, sehingga per­lu terlebih dahu­lu memastikan bah­wa tidak ada kelainan organik seba­gai pe­nyebab. Pemerik­saan penun­jang dil­akukan untuk mengeksklusikan pe­nyakit-penyakit lain yang mung­kin seperti penyakit jantung, ul­kus pep­tikum (15-25%), esofagitis refluks (5-15%), kanker esophageal atau kanker lambung (< 2%) dan pe­nyakit-pe­nyakit jarang lainnya se­perti kanker pancreas, penyakit malabsorbsi karbohidrat (laktosa, sor­­bitol, maltose, fruktosa), gas­tro­paresis, hepa­to­ma, pe­nya­kit infiltratif saluran cerna seperti Crohn’s disease, pe­nyakit iske­mik usus, dispep­sia imbas obat akibat OAINS, eritro­misin, steroid, ganggu­an metabolik seperti hiper­kal­semia dan hiper­kalemia, pankreatitis, dan akibat pe­nyakit-penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, gangguan tiroid dan pa­ra­ti­roid dan gangguan jari­ngan ikat.

Peminum al­ko­hol, kafein berle­bi­han, perokok, dan ting­gal di tempat yang tinggi pre­va­lensi infeksi H.py­lo­ri juga berpotensi menderita pe­nyakit ini.

Apa Saja yang Dapat Me­nyebabkan dispepsia?

Patofisologi dis­pepsia fung­sio­nal hingga saat ini be­lum dapat dipahami sepe­nuhnya dan penelitian terha­dap faktor-faktor yang dicu­ri­gai memi­liki peranan terus dilakukan. Hal-hal yang ber­potensi berkaitan dengan dispepsia fungsional yaitu hipersek­resi asam lambung, infeksi Helico­bacter pylori, dismotilitas saluran cerna, hipersensitivitas visceral ser­ta gangguan psikologis sese­orang.

Sekresi asam lambung

Dispepsia fungsional umum­nya memiliki sekresi asam lambung baik sekresi basal maupun dengan stimu­lasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga terdapat peningkatan sen­sitivitas mukosa lambung terha­dap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut. Hal ini yang se­be­­­­narnya mencetus­kan nama pe­nya­kit asam lam­bung dalam masyarakat.

Helicobacter pylori

Peran infeksi kuman ini terhadap dispepsia fungsional belum sepe­nuh­nya diketahui. Kekerapannya pada dispep­sia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda dengan ang­ka keke­rapan infeksi H.pylori pada orang se­hat. Saat ini mulai dilakukan era­dikasi H.pylori pada pa­sien dispepsia fungsional yang gagal dengan peng­obat­an konservatif.

Dismotilitas

Pada dispepsia fungsional telah dilaporkan terjadi ke­terlambatan pe­ngosongan lambung dan hipomo­tilitas antrum (hingga 50% kasus) tetapi harus dimengerti bah­wa proses motilitas lambung merupakan hal yang sangat kompleks.

Ambang Rangsang Per­sep­si

Dinding usus memiliki banyak reseptor termasuk reseptor kimiawi, mekanik, dan nociceptor. Dianggap bahwa terjadi hipersen­siti­vitas visceral akibat distensi lambung atau duo­denum saat terisi makanan, wala­u­pun mekanisme pastinya be­lum se­penuhnya dipahami. Dis­fungsi per­sarafan vagal juga diduga memiliki pe­ran dalam hipersen­sitivitas gas­tro­duo­denal. Adanya neu­ropati vagal berperan dalam kegagalan relaksasi pada bagian prok­simal lambung pada saat me­nerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan ako­modasi makanan di lambung dan rasa cepat kenyang.

Diet dan Psikologis

Pada suatu penelitian, intoleransi makanan lebih sering terjadi pada pasien de­ngan dispepsia fungsional dibandingkan kontrol. Ada­nya stress akut dapat mem­pe­ngaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan kelu­h­an pada orang yang sehat. Fak­tor genetika juga mulai dipertim­bangkan sebagai pencetus terjadinya suatu dispepsia fungsional.

Apa yang Perlu Diketahui tentang Dispepsia?

American College of Gastroenterology Guideline for The Management of Dyspepsia mengemukakan penting­nya pengenalan tanda-tanda bahaya (alarm symptoms) pada pasien dispepsia, seperti gejala dispepsia yang baru muncul pada usia diatas 55 tahun, penurunan berat ba­dan yang tidak dapat dijelas­kan sebabnya, anoreksia, rasa cepat ke­nyang, muntah, dis­fagia (sulit me­nelan) terus menerus, perubahan naf­su makan, odinofagia (nyeri me­ne­lan)­, anemia, massa abdomen, pem­besaran kelenjar limfe, riwayat ke­luarga de­ngan kanker saluran cerna atas, ulkus peptikum, riwayat pem­bedahan lambung, dan keganasan, ka­rena hal ini merupakan suatu kea­daan serius yang harus segera di­tin­daklanjuti misalnya de­ngan endos­kopi sebagai ke­perluan diagnostik.

Bila tidak dijumpai tanda-tanda bahaya, dapat dilaku­kan pengobatan empiris menggunalan Proton Pump Inhibitor untuk 4-8 minggu. Atau dengan melakukan era­dikasi kuman H.pylori yang dibuktikan dengan de­teksi ada tidaknya kuman tersebut secara non invasive misalnya dengan Urea Breath Test. Terlebih dahulu tentunya harus dieksklusikan segala penyakit yang dapat menim­bulkan keluhan serupa baik berasal dari salu­ran cerna maupun tidak seperti pe­nya­kit jantung koroner.

Jika tidak didapati kelain­an or­ganik pada saluran cerna dan pe­nyakit lain dapat di­eksklusikan maka dika­te­go­rikan sebagai dispepsia fung­­sional dan diterapi sesuai de­ngan ke­lom­poknya.

Pro­kinetik dibe­rikan pada ke­lompok post prandial distress syndrome sedangkan antasi­da, anta­gonist receptor H2 dan Proton Pump Inhibitor lebih baik pada kelom­pok Epigastric pain syndrome. Satu hal yang harus diingat kembali yaitu fak­tor psiko­logis yang juga da­pat men­­ja­di penyebab dispepsia fung­­sio­nal ini, sehingga per­tim­ba­ngan ter­hadap pemberian obat-obat psi­kotro­pik juga tidak boleh diabaikan

Dengan mengenal lebih ba­nyak tentang apa itu dis­pep­sia, si penyakit asam lam­bung yang sering terdengar di masyarakat, tentunya diharapkan masyarakat lebih waspada lagi ter­hadap gejala yang ditimbulkan oleh pe­nyakit tersebut karena pe­nya­kit ini memiliki gejala yang hampir serupa dengan penya­kit serius lainnya.

()

Baca Juga

Rekomendasi