Oleh: Iwan Ridwan
Sebagai bagian dari sastra Indonesia, kehadiran sastra anak, kurang begitu diperhatikan dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Hal ini terlihat dari kurang diakuinya sastrawan yang menulis karya sastra anak dalam catatan sejarah sastra Indonesia. Padahal mereka juga turut serta dalam menyumbangkan karya yang membangun peradaban sastra di Indonesia.
Sastra anak dalam pandangan Hasta Indrayana (2006) hanya jadikan anak sastra atau turunan dari sastra dewasa yang agung. Begitupun kegelisahan Aji Wicakcono (2012) dalam esainya berjudul “Memaknai Sastra Anak." Indrayana dan Wicaksono sama-sama mengkhawatirkan kelangsungan sastra anak di Indonesia.
“Apakah sastrawan yang intens menulis cerita anak semisal Aman, Julius Sijaranamual, Toha Mohtar, Dwianto Setyawan, bukanlah nama-nama yang pantas dijajarkan dengan nama-nama bertinta emas? Seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, atau Pramoedya A. Toer?” tanya Wicaksono.
Menarik mencermati pertanyaan Wicaksono di atas. Pertanyaan itu juga membeberkan kegelisahan penulisnya, ibarat pisau yang bermata dua. Di satu sisi, penulis mengatakan, sastra anak dalam arti produknya (puisi atau prosa) hanya dijadikan “anak tiri” dibanding produk sastra lainnya. Di sudut yang lain, dia juga menyadari kurang diakuinya pengarang atau sastrawan yang berkecimpung dalam dunia sastra anak.
Indrayana (2006) mengungkapkan, sastra anak di Indonesia selama ini hanya dianggap bawang kosong semata. Sebagai bagian kecil dari sastra Indonesia. Dia seolah sastra dewasa yang dianggap kecil. Sastra Indonesia yang kentara angker menjadikan dirinya eksklusif dan makin menjauh dari ruang kebutuhan. Lebih lanjut Indrayana mengemukakan kegelisahannya.
“Sebenarnya sastra anak adalah batu loncatan agar mereka terbiasa membaca, sehingga tidak gagap ketika membaca buku-buku lain di luar buku sastra, tidak kaget dan gumun ketika mendapati dunia begitu gegap,” begitu ungkapnya.
Tidak salah jika seorang dewasa menulis cerita anak dan memosisikan dirinya dalam dunia anak. Begitupun anak yang ingin menulis karya berdasarkan imajinasinya akan keindahan kehidupan. Huck (1987) mengemukakan, siapapun yang menulis sastra anak-anak tidak perlu dipermasalahkan. Asalkan dalam penggambarannya, ditekankan pada kehidupan anak yang memiliki nilai kebermaknaan bagi mereka. Sastra anak-anak adalah sastra mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak melalui pandangan anak-anak (Norton,1993).
Meski demikian, dalam kenyataannya, nilai kebermaknaan bagi anak-anak itu terkadang dilihat dan diukur dari perspektif orang dewasa. Orang dewasa banyak beranggapan, dunia anak merupakan dunia yang sama dengan masa kecilnya, sehingga orang dewasa cenderung mendikte terhadap anak seolah-olah mereka jauh lebih tahu dari anak. (Purbani, 2003:2).
Jika kondisinya seperti di atas, kreativitas anak akan terkekang. Pengekangan semacam ini, mesti diubah sebab hidup manusia merupakan proses untuk menjadi diri sendiri secara utuh. (Indrayana, 2006).
Bukan Sastra Kecil
Bagaimanapun kondisinya, kita harus memberikan ruang bagi anak sebagai generasi penerus bangsa ataupun pengarang karya sastra anak dalam catatan penting kesusastraan Indonesia.
“Sebuah karya sastra yang berkualitas tinggi adalah karya sastra yang mampu menjalin hubungan timbal balik antara seniman (sastrawan) dengan masyarakat pembacanya”. Begitulah diungkapkan Frans M. Parera (2004) dalam “Visi dan Misi Seniman Indonesia Pasca Revolusi.”
Parera juga mengatakan, apapun karya yang dihasilkan seniman, dia harus mampu menjangkau masyarakatnya. Dalam konteks Indonesia, karya-karya sastra anak yang dilahirkan oleh tangan dingin (orang dewasa atau anak) juga mampu mengomunikasikan kearifan kehidupan lewat kesederhanaan. Kejujuran dan karakteristik anak yang begitu menawan. Dengan demikian, karya yang diterima pembaca (masyarakat) akan disampaikan kembali kepada pengarangnya, sehingga terjadi sirkulasi kepenulisan yang harmonis.
Karena itu, pandangan sastra anak hanyalah “sastra kecil” harus disingkirkan. Hal ini dibuktikan Harriet Beecher Stowe. Pengarang perempuan Amerika yang menulis roman Uncle Tom’s Cabin saat perang bersejarah di Amerika.
Karyanya menampilkan realitas imajiner tetapi konkret menjabarkan realitas sosial pada masa itu lewat kacamata anak. Jadi apapun perbedaan yang timbul, kita harus melihat karya sastra anak merupakan bagian dari peradaban kesusastraan di Indonesia. Sastra anak adalah bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia meski dalam praktiknya masih dikotak-kotakkan.
Berkaca dari geliat sastra anak saat ini, ada harapan muncul dengan dibukanya kesempatan bagi para penulis (karya sastra anak) di media massa. Saat ini sejumlah media telah menyediakan ruang untuk sastra anak agar tetap eksis dan berkembang. Hal ini dibuktikan dengan rubrik-rubrik sastra anak dengan tema yang variatif dan puisi-puisi anak yang tidak hanya menarik tetapi juga edukatif.
Media massa hari ini harus terus menjaga integrasi dengan pengarang yang menggeluti karya sastra anak. Dalam hal ini, jangkauan sastra anak, dapat diistilahkan serupa demokrasi ala Lincoln, “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.” Begitupun sastra anak haruslah tergerak dari anak (maksudnya pandangan anak), oleh anak (partisipasi anak untuk terus berkarya) dan untuk anak (produk-produk yang hadir sesuai dengan harapan anak. Tidak menutup kemungkinan relevan dengan kehidupan masyarakat secara luas).
Dengan cara inilah sastra anak akan mampu berkembang lebih pesat. Baik itu dari produk kepenulisannya maupun kajian- kajian atau kritik terhadap karya sastra anak itu sendiri. Tidak menutup kemungkinan karya sastra anak bernafaskan estetika yang layak diacungi jempol. Semoga!