Budaya Merdang Merdem pada Masyarakat Karo

Oleh: Ramen Antonov Purba.

Indonesia dengan kekayaan alamnya begitu melimpah. Membuat mayoritas penduduknya, berkerja di bidang agraris sebagai petani. Ketika melihat daerah Jawa, mereka memiliki Dewi Sri yang dikekalkan sebagai dewi kesuburan. Legenda Dewi Sri merupakan salah satu konsep sosial dalam perjalanan kemakmuran di bidang pertanian.

Kurun beberapa waktu tertentu para petani melakukan upacara persembahan, ditujukan kepada Dewi Sri, agar hasil panen mereka senantiasa dilingkupi kelimpahan. Sama dengan masyarakat Jawa, suku Karo juga memiliki sebuah ritual, menjadi kebiasaan masyarakat Karo setelah melakukan panen.

Ritual ini diberi nama Kerja Tahun (Merdang Merdem). Kerja Tahun (Merdang Merdem), suatu bentuk ritual atau upacara penyembahan kepada Sang Pencipta atau Beraspati Taneh (dewa yang berkuasa atas tanah menurut agama Pemena atau agama asli suku Karo). Tujuannya menyukseskan setiap tahapan aktivitas pertanian dan manifestasi dari harapan akan hasil panen yang berlimpah (Sembiring,1992).

Secara eksplisit, kerja tahun (Merdang Merdem) dilakukan sebagai ucapan syukur kepada Sang Pencipta akan hasil pertanian yang begitu melimpah. Acara kerja tahun (Merdang Merdem) ini biasanya dilakukan oleh masyarakat desa atau perkampungan tertentu setelah berembuk satu dengan yang lain.

Kerja Tahun (Merdang Merdem), hingga kini masih  diselenggarakan setahun sekali oleh masyarakat Karo. Waktu pelaksanaan kerja tahun berbeda-beda di masing-masing daerah. Beberapa daerah hanya melaksanakan ritual kerja tahun, pada tahapan tertentu dalam kegiatan pertanian.

Ada yang merayakan di masa awal penanaman (merdang merdem), masa pertumbuhan (nimpa bunga benih),  masa menjelang panen (mahpah) ataupun pada masa panen (ngerires). Desa Juhar misalnya, melaksanakan acara kerja tahun di tanggal 17 Agustus. Di daerah Tiga Binanga misalnya pada tanggal 22 juni. Ada lagi Desa Perbesi di tanggal 26 juni. Masih banyak daerah-daerah lain dengan tanggal yang berbeda-beda tergantung kesepakatan bersama.

Harus menjadi catatan adalah tanggal sudah menjadi patokan setiap tahunnya. Paling bergeser lebih cepat atau diundur 1 atau 2 hari. Tergambarlah budaya kebersamaan dan mengucapkan syukur terhadap hasil bumi dan pertanian masih tetap dilakukan oleh masyarakat karo pada umumnya.

Sedikit catatan, memang sekarang perayaan kerja tahun tidak lagi seperti dulu. Dengan menggunakan persembahan-persembahan hasil tanah pertanian dan hasil kebun seperti sayur-mayur dan buah-buahan. Kini pelaksanaan kerja tahun, dilakukan dengan modern, mempergunakan teknologi tingkat tinggi. Sudah mempergunakan keyboard, dihibur oleh perkolong-kolong (dua penyanyi yang beradu argumen dengan kocak). Terkadang dihibur juga oleh artis-artis karo masa kini yang menyanyikan lagu-lagu hits mereka.

Ketika pelaksanaan kerja tahun ini biasanya muda-mudi Karo sedang dalam perantauan untuk kuliah, bekerja, bahkan yang sudah berkeluarga dan tinggal diluar desa atau kampunya, datang. Mereka datang untuk bersama-sama merayakan kerja tahun ini. Mereka akan bersilaturahmi satu dengan yang lain. Makan bersama dengan lauk-pauk khas karo, seperti pagit-pagit, ikan mas arsik, rendang dan masih banyak variasi yang lain.

Tidak lupa ada hidangan tape pulut hitam, cimpa dari tepung berisi gula. Masih banyak variasi makanan Karo yang lain dengan konsep tradisional, tetapi sudah dimasak dengan teknologi yang modern. Tergambar rasa kebersamaan yang kekal antara sesama keluarga, meskipun berasal dari masa dan generasi yang berbeda.

Kondisi kebersamaan ini harus terus dipupuk, agar ucapan syukur yang disampaikan kepada Sang Pencipta bisa lebih hikmat dan bermakna. Kondisi tanah Karo saat ini sedang terpuruk karena erupsi Gunung Sinabung yang masih tetap memperlihatkan keperkasaannya. Hendaknya kerja tahun merupakan momentum untuk mengucapkan syukur kepada Sang Pencipta, tidak menjadi luntur dan akhirnya dilupakan.

Gotong Royong dan Runggu

Dulu acara kerja tahun dilaksanakan selama enam hari. Hari pertama (cikor-kor) merupakan awal pelaksanaan kerja tahun. Ditandai dengan kegiatan penduduk  mencari kor-kor (sejenis serangga yang tinggal dalam tanah) di ladang. Hari kedua, biasa disebut cikurung. Diisi dengan kegiatan mencari kurung (hewan sawah) di areal persawahan.  Hari ketiga disebut dengan  ndurung. Kegiatan mencari nurung (ikan) di sungai. Pada hari keempat ditandai dengan kegiatan mantem atau motong. Aktivitas  penyembelihan lembu dan babi. Hari kelima atau matena merupakan puncak dari upacara perayaan kerja tahun.

Ketika sampai pada puncak perayaan, semua penduduk mengucapkan rasa syukur atas hasil panen dengan saling mengunjungi di antara sesama warga penyelenggara kerja tahun. Dalam acara kunjungan itulah seluruh hidangan berasal dari awal kegiatan kerja tahun, hingga hari kelima disajikan.

Pada hari keenam dilaksanakanlah nimpa atau kegiatan membuat cimpa (makanan khas Karo yang terbuat dari beras atau ketan). Pelaksanaan kerja tahun berakhir di hari ketujuh atau biasa disebut dengan rebu. Pada hari ketujuh ini, tidak ada kegiatan yang dilakukan karena arti dari kata rebu, tidak saling menyapa atau bercakap-cakap. Hari rebu lebih merupakan hari istirahat setelah selama enam hari ‘berpesta’.

Secara gamblang kita bisa melihat bagaimana adat kebersamaan yang begitu kokoh dikalangan kalak (suku) karo. Kebersamaan mereka identik dengan dilaksanakannya semua kegiatan dengan gotong-royong (bersama-sama).

Sebelum melakukan semua rangkaian acara ini, mereka juga melakukan tingkatan dari gotong-royong yang disebut runggu. Melalui runggu mereka membicarakan tentang konsep pelaksanaan kerja tahun itu sendiri. Bagaimana urutan acaranya bahkan sampai ke bagaimana persiapan dana yang dibutuhkan.

Konsep gotong royong (runggu) ini merupakan salah satu budaya karo yang tentunya harus dijaga kelestariannya. Kerja tahun yang merupakan acara mengucapkan syukur kepada Sang Pencipta secara bersama-sama. Semuanya dilakukan dengan gotong-royong dan diperkuat dengan melakukan runggu. Tentunya harus bisa dibagikan kepada suku-suku yang lain. Karena dengan gotong royong dan runggu ini semua masalah bisa terpecahkan dan didapatkan solusinya dengan cepat.

Terkhusus dalam menghadapi hantaman erupsi Gunung Sinabung saat ini, masih memperlihatkan kekuatannya, konsep gotong-royong dan runggu ini tentunya dapat diterapkan. Di lokasi pengungsian, jelas tidak terlihat perbedaan satu dengan yang lain. Terkait desa asal, agama dan status sosial. Semuanya sama-sama sebagai pengungsi. Tentunya harus bergotong royong dan runggu ketika ingin melakukan dan memutuskan sesuatu.

Tujuannya, agar jangan sampai terjadi ketidakadilan antara satu orang dengan orang yang lain, atau satu kelompok dengan kelompok yang lain. Jadikan konsep gotong-royong dan runggu ini sebagai pemersatu dalam segala hal. Selain itu, konsep gotong-royong dan runggu ini juga bisa menjadi kekuatan dalam menghadapi kerasnya erupsi Gunung Sinabung.

Penulis; Penggiat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat di Politeknik Unggul LP3M Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi