Oleh: Wahyu Wiji Astuti.
Ini Juni. Ke mana hujan. Tak seperti Juni-Juni yang lalu.
Juni dan hujan selalu mengingatkan kita pada puisi Sapardi Djoko Damono yang manis dan sendu, Hujan Bulan Juni. Sebuah puisi liris dengan gaya prosais yang sangat populer di masyarakat. Puisi ini menjadi judul dalam salah satu buku kumpulan puisi Sapardi. Diracik dari diksi sederhana dan mampu menggugah perasaan pembaca. Baru-baru ini pula telah menjadi judul novelnya.
Sapardi Djoko Damono (SDD) dikenal sebagai penyair yang mampu mengolah kata-kata sederhana menjadi sebuah lirik puisi yang sarat dengan makna. Dalam kesederhanaannya, puisi Sapardi membuka ruang tafsir begitu luas bagi pembaca.
Sapardi mampu menyampaikan emosi dalam puisinya dengan baik sekali, membuat pembaca larut dalam perasaan puitik. Hal ini memang merupakan karakter dan ciri khas puisi liris. Menggabungkan antara pemikiran dan perasaan dengan memainkan unsur bunyi.
Nada puisinya mampu mempengaruhi perasaan. Sapardi penyair yang setia pada ciri ini, karena puisi-puisinya sebagian besar merupakan puisi liris yang berbentuk prosais. Prosais adalah genre puisi, yang kata-katanya terang benderang, tidak bermetafora berlebihan. Itulah mengapa saya sebut di sini, puisi Sapardi bersifat liris-prosais. Dalam beberapa masa, puisi ini sempat dianggap tidak berkarakter kuat sebagai sosok puisi, bila dibandingkan dengan puisi-puisi lain. Karena hanya memainkan perasaan dan imaji, bermakna jelas dan tidak membutuhkan pemaknaan mendalam. Waktu mengubah puisi tersebut memiliki kekuatan karakter tersendiri.
Menyoroti apa yang dikatakan Sapardi “Sebermula adalah kata, baru perjalanan dari kota ke kota”. Menunjukkan bagaimana sebuah kata akan memancarkan makna. Berbeda ketika berada dalam sebuah konteks tertentu dan memiliki hubungan yang kontekstual. Keberbagaian makna kata bergantung pada situasi konteksnya. Ini agaknya menjadi jawaban. Sebuah diksi atau kata sederhana akan menemukan permainan metafora, ketika dihadapkan pada konteks yang berbeda.
Puisi-puisi liris-prosais yang sederhana dan manis ternyata mampu menggebrak perkembangan perpuisian Indonesia di dalam masyarakat. Puisi liris-prosais diam-diam menjadi perbincangan hangat. Menunjukkan untuk menjadi perbincangan tidak harus dengan menciptakan kontroversi dengan puisi-puisi gagah, aneh, mistik dan sebagainya.
Seperti dikatakan Ajip Rosidi (dalam Sapardi, 1982:46) sesungguhnya faktor-faktor yang mendorong sastrawan menulis adalah faktor-faktor irrasional yang obyektif. Begitulah Sapardi mengamininya, puisi ini tidak harus melepaskan diri dari identitas dan jati diri puisi yang disebut konvensional.
Puisi liris-prosais mampu menemukan alurnya sendiri, dengan caranya sendiri yang penuh kelemahlembutan mengambil hati pembaca. Puisi liris seolah-olah memang hanya menceritakan sesuatu yang bersifat introvert mengenai dirinya sendiri. Pengarang hanya menceritakan diri (lirik)nya sendiri, tanpa peduli pada gejolak fakta-fakta yang terjadi. Biasanya puisi liris identik dengan perasaan, alam, sunyi, hampa dan cinta pribadi. Keseluruhannya merupakan perasaan yang sangat individual. Tentang apa yang diungkapkan Sapardi dalam pengantar buku kumpulan puisinya, bahwa “pada dasarnya penyair memang tidak suka diganggu. Sebenarnya dia suka juga, mungkin secara sembunyi-sembunyi, nguping pendapat pembaca”. Menjadi penjelas, dia sebenarnya tidak hidup sendirian saja di dunia, di dalam puisinya.
Seperti yang sudah dipaparkan di awal, judul “Hujan Bulan Juni” sendiri diambil dari salah satu puisi yang terdapat di dalam buku tersebut. Dipilihnya puisi ini sebagai judul buku kumpulan puisi Sapardi tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Menjadi daya tarik tersendiri untuk mengulasnya di samping kepopuleran puisi ini bagi masyarakat awam, khususnya remaja.
Seperti dijelaskannya dalam bukunya, Sapardi mengatakan puisi sebagai salah satu jenis sastra adalah suatu sistem formal yang terbuka. Unsur-unsurnya bisa bergeser-geser setiap kali terjadi perubahan dalam sistem-sistem yang melingkupinya (1983:99).
Dengan kepiawaiannya itu Sapardi membuat kesederhanaan kata-kata dalam puisinya tidak sekadar menjadi rangkaian larik-larik yang indah, tetapi juga memberinya ruh. Puisi Hujan Bulan Juni,telah banyak diapresiasi oleh masyarakat. Kebanyakan darinya mengartikan puisi ini sebagai ungkapan cinta yang begitu bijaksana. Menyimpan perasaan cinta dalam diam, berhati-hati dalam mencintai, mencintai dengan tulus, tabah, bijak dan arif.
Membaca sajak liris nan sederhana ini, ada sesuatu yang lebih dalam dan hidup dari sekedar mencintai, yakni filosofi hidup yang begitu dalam dari alam. Dari puisi ini kemudian kita akan bercermin dan lebih peka dengan segala sesuatu yang dekat dengan diri kita dan kerap terabaikan. Ajaran hidup ini akan dijelaskan setelah kita menyimak puisinya, sebagai berikut:
Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapuskannya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(Sapardi Djoko Damono)
Pada puisi Hujan Bulan Juni di atas, pertama-tama kita akan melihat bagaimana Sapardi memasukkan kesederhanaan alam yang amat dekat dengan kita ke dalam puisinya, yang juga dia prosakan dengan sangat sederhana. Secara sepintas kita diajak menikmati bagaimana rintik hujan di pohon berbunga, rintik hujan yang jatuh ke jalanan lalu buyar menjadi aliran air yang kemudian meresap ke tanah, diserap oleh akar pohon. Semua digambarkan dengan jelas dan terang benderang oleh Sapardi. Sampai di situ, pembaca mampu merayapi dalam imajinasinya bagaimana proses “kesederhanaan” sang hujan dalam berprilaku. Ini sungguh-sungguh hal yang biasa.
Kemudian menilik betapa Sapardi mampu memetaforakan kesederhanaan hujan dalam sebuah filosofi hidup, yang dalam hal ini adalah “mencintai”. Mencintai dalam hal yang universal. Melalui hujan, kita mengerti tentang ajaran kehidupan. Ada kalanya kita menyimpan perasaan dalam-dalam demi kebaikan bersama.
Hujan selalu tabah menyimpan rindunya kepada pohon berbunga. Seperti dalam baris; tak ada yang lebih tabah /dari hujan bulan juni. “Hujan” sebagai metafora, sesuatu hidup, memiliki ketabahan dan perasaan. Hujan merupakan hal umum, dikhususkan oleh “Juni” menjadi hujan bulan juni. Tidak semua hujan mampu bersikap tabah, seperti manusia yang tidak semuanya bisa bersikap tabah. Maka yang tabah adalah hujan bulan juni. Dia representasi dari diri pembaca, sekaligus menjadi sesuatu yang lain. Bisa menjadi inspirasi untuk tabah dalam menyimpan sebuah perasaan (kerinduan), dirahasiakannya rintik rindunya/ kepada pohon berbunga itu. Hujan mengalami personifikasi.
Hal ini diperjelas dalam bait kedua tak ada yang lebih bijak/dari hujan bulan juni/ dihapuskannya jejak-jejak kakinya/yang ragu-ragu di jalan itu. Betapa hujan bulan Juni, menguasai sifat-sifat manusia bijak. Dia tidak mesti menunjukkan sesuatu yang dilakukannya untuk seseorang atau sesuatu. Bagaimana dia menghapuskan jejak keraguannya dari jalan yang telah dia rintiki. Jalan adalah tempat yang saban hari dia lalui, melambangkan sesuatu yang tidak asing lagi bagi hujan. Tempat dimana dia berada setiap kali ia turun dari langit.
Demikian sikap bijak dan arifnya sang hujan bulan juni ini dikatakan pula oleh Sapardi tak ada yang lebih arif/ dari hujan bulan juni/dibiarkannya yang tak terucapkan/ diserap akar pohon bunga itu. Ini menggambarkan pengorbanan hujan kepada sebuah pohon berbunga. Dia biarkan apa yang tidak tersampaikan diserap oleh akar pohon berbunga yang dia kasihi. Inilah bentuk ketulusan hakiki. Hidup dengan ketabahan, bijak dan arif.
Sapardi membuka kemungkinan sebesar-besarnya bagi pembaca untuk memaknai puisinya. Sekalipun kita mengartikan dengan hal yang paling sederhana dan jelas, yakni cinta. Cinta disampaikan Sapardi melalui “hujan” adalah mencintai dengan tulus, penuh pengorbanan tanpa mengharapkan balas apapun kepada yang dicintainya. Seperti “hujan” mencintai “pohon berbunga”nya.
Rupa hujan adalah air. Air merupakan sumber kehidupan yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup, dalam puisi ini adalah pohon. Hujan selalu setia menyirami pohon dan menjadi sumber kehidupan baginya, namun dia tidak pernah meminta apapun dari semua pengorbanan yang telah dilakukannya. Dibiarkannya yang tak terucapkan/diserap akar pohon bunga itu.
Hujan memang selalu bisa menjadi sumber inspirasi. Sapardi dan hujan sepertinya memiliki hubungan batin yang kuat. Ini terlihat dari puisi-puisi lainnya yang banyak memasukkan diksi “hujan” di dalamnya. Lihat saja puisi berjudul “Sihir Hujan” sebagai berikut:
Sihir Hujan
Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela
Meskipun sudah kau matikan lampu
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan
(Sapardi Djoko Damono)
Dalam puisi ini Sapardi menjelaskan, hujan sangat mengenal lingkungannya, yakni pohon, jalan dan selokan. Menunjukkan dia sosok kuat dalam bersosial. Hujan banyak jenisnya, sebab itulah suara hujan ada banyak macamnya, maka swaranya bisa dibeda-bedakan. Selain itu karakter hujan sangat kuat dan mampu mendominasi keadaan, kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela/ Meskipun sudah kau matikan lampu.
Kita tidak bisa lepas dari suara-suara hujan dimanapun kita berada, keberadaan hujan telah menguasai lini-lini kehidupan sekitarnya, bahkan menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan. Inilah kekuatan “hujan” yang digambarkan oleh Sapardi dalam puisinya, ia dapat membuat manusia tidak berdaya, tersihir dan tidak mampu berbuat apa-apa karena telah dikuasai hujan. Sebuah cara pandang lain yang ditawarkan Sapardi dalam menangkap lanskap-lanskap hujan.
Percakapan Malam Hujan
Hujan, mengenakan mantel, sepatu panjang dan payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu jalan, “tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.”
“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Dia suka terang.”
(Sapardi Djoko Damono)
Puisi ini menggambarkan keinginan hujan untuk mendominasi malam. Da meminta kepada lampu jalan yang saban malam menerangi malam agar pergi meninggalkan malam dalam kegelapannya, “tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.” Lampu jalan tetap setia kepada malam untuk menerangi kelamnya, meskipun hujan mengguyur dan menggodanya untuk tidur. Hujan ingin malam hanya menjadi miliknya, agar malam sendiri dalam gelap, sunyi dan dingin bersama dirinya sedangkan yang lain tertidur lelap. Lampu jalan tidak tergoda, “Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan menggodaku tidur.” Sang lampu jalan menyuruh hujan yang ghaib itu untuk kembali ke asalnya, berlaku sebagaimana mestinya dirinya sebagai hujan. Hujan yang berasal dari alam dan seharusnya menjadi sumber kehidupan.
Hujan, titik air yang menggumpal di langit dan berasal dari penguapan, terjadi di bumi dan laut. Hujan adalah sahabat manusia dan alam. Dia menyirami kekeringan di bumi. Dalam puisi ini hujan digambarkan memiliki sifat yang tidak berada di posisi sebagai sahabat manusia. Dilihat dari dialog lampu jalan yang mengatakan, “Aku sahabat manusia. Dia suka terang.” Hujan menggoda lampu agar tidur dan membiarkan malam berlalu dengan gelap gulita, keegoisan hujan yang menginginkan malam hanya bersanding dengannya membuat manusia tidak nyaman. Ini sisi buruk hujan yang digambarkan Sapardi dalam puisi ini.
Kekuatan hujan agaknya telah berpengaruh besar dalam pikiran Sapardi, menguasai tubuh dan perasaanya, termasuk caranya dalam mencintai. Dituliskannya dalam puisi manis berjudul “Aku Ingin”.
Aku Ingin
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
(Sapardi Djoko Damono)
Hakikat mencintai dengan sederhana dia tawarkan dengan mencontoh kecintaan kayu kepada api, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Sang kayu yang tidak pernah mengungkapkan kata-kata cintanya sampai dia lenyap dibakar sang api. Menjadi abu yang tidak berupa. Kayu tidak mengharapkan apapun. Dia hanya memandam perasaannya kepada api, bersanding di dekatnya, berdiang di sisinya meski kemudian tubuhnya hangus terbakar dan menjadi abu.
Kesederhanaan dalam mencintai, seperti kecintaan awan kepada hujan. dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Awan menampung uap-uap air, lalu hujan turun begitu saja membuat dirinya lenyap menjadi tetesan, tanpa ia sempat berisyarat apapun kepadanya.
Awan mencintai hujannya dengan tulus dan sederhana namun amat dalam, sesederhana Sapardi dalam menuangkan pikiran dan perasaannya dalam puisi. Sedalam makna yang terkandung pada setiap kata di dalam puisi-puisinya. Hujan dalam puisi ini masih memiliki kekuatan yang signifikan bagi Sapardi. Bagaimana tidak berdayanya awan kepada hujan akibat rasa cintanya yang begitu dalam.
Puisi Sapardi ini bernada lembut dan harmonis, bentuk konkret dari sebuah puisi liris yang memperhatikan bunyi. Bersama puisi-puisi Sapardi lainnya, kita diajak belajar dari hujan, awan, angin, pohon, daun kering, kayu, selokan, telefon sampai bayang-bayang sendiri. Hal yang sehari-hari sangat dekat dengan diri kita, tetapi seringkali terlewatkan begitu saja. Dan bagaimanapun pada kenyataannya puisi-puisi Sapardi Djoko Damono mampu membuat masyarakat mencintai puisi. Demikian pula para penyair yang kembali mencintai puisi liris-prosais. Sebuah perjuangan akan lirisisme yang dipertahankan oleh Sapardi di sepanjang sejarah kepenyairannya.
Penjelasan-penjelasan tentang puisi di atas menegaskan kembali, bagi Sapardi, hujan itu beraneka ragam. Seperti manusia yang memiliki berbagai bentuk, rupa dan pikirannya. Begitupun sifat hujan. Hujan juga memiliki sisi gelap dan terang, pikiran buruk dan baik. Maka hujan yang paling bijak, arif dan tabah hanyalah Hujan Bulan Juni. Hujan yang lirih terus saja turun, sementara Sapardi tak berhenti memprosakankannya dalam sebuah puisi merdu yang liris.
Hujan berjalan dengan kaki-kakinya yang ramping, dalam malam, di bawah lampu jalanan. Aku menatap anggun langkahnya dari kejauhan yang fana. Menatap lurus pada molek kaki hujan. Berdiam, dalam lembabnya malam. Di bawah kakinya. Melihatnya berdandan menyisir rambut dan memoles warna bibir. Dicabik gigil, sunyi dan waktu…
Medan, 2015