Oleh: Meiling Jap
Kerajaan Bhutan dikenal sebagai salah satu destinasi wisata terbaik di dunia. Untuk menuju negeri di atas awan ini, ada dua transportasi udara yang bisa kita tumpangi yakni Druk Air dan Bhutan Airlines
JIKA hendak menuju lokasi ini, wisatawan bisa memilih terbang dari Bangkok, India atau Singapore (rute ini baru diluncurkan Druk Air baru-baru ini) .
Maskapai Druk Air milik kerajaan Bhutan sementara Bhutan Airlines dimiliki oleh swasta. Harga tiket terbilang cukup mahal, pada peak season (April, Mei, September, Oktober) bisa setara harga tiket ke Eropa.
Untuk ke Bhutan kita harus melalui tour operator yang terdaftar di pemerintahan Bhutan. Tarifnya fix berkisar 200 (low season) sampai 250 (peak season) US Dollar per hari. Belum termasuk pengurusan visa seharga 40 US Dollar. Semua pembayaran adalah di depan sebelum ketibaan kita. Namun uang ini tidak langsung masuk ke tour operator yang kita tunjuk, prosesnya lebih kurang 1 minggu setelah tour kita selesai, pemerintah baru akan merilis pembayarannya kepada tour operator yang bersangkutan. Jadi tidak perlu kuatir bahwa uang kita akan lenyap dan tour operator yang kita tunjuk melarikan diri.
Dengan kondisi seperti ini, turis yang datang akan tersaring dan terkontrol dengan sendirinya.
Terbuka Sejak 1974
Pariwisata di Bhutan baru terbuka untuk dunia luar pada tahun 1974 dengan pembatasan-pembatasan yang berlaku ketat. Bhutan satu satunya negara di dunia yang meng-ilegalkan penjualan dan penggunaan rokok serta tembakau secara umum. Tetapi untuk turis yang perokok diperbolehkan membawa rokok dan tembakau dengan jumlah tertentu dan harus membayar pajak 200 persen. Pelanggaran terhadap hal ini dianggap kejahatan dan hukumannya adalah penjara.
Penduduk Bhutan 99,9 persen Buddhist. Dari kecil mereka telah diajarkan kehidupan spiritual di setiap keluarga. Sehari-hari seperti di kantor, toko, restauran, hotel, selalu memakai pakaian nasional baik laki laki maupun wanita. Mungkin ini juga salah satu upaya pemerintah menciptakan kesetaraan dalam mencapai GNH (Gross National Happiness) rakyatnya.
Televisi baru masuk ke Bhutan pada 1996. Sebelumnya mereka menjalani kehidupan tanpa siaran tv dan berita suratkabar. Saat ini suratkabar yang beredar juga milik kerajaan Bhutan.
Tapi mereka bahagia dan cukup dengan apa yang ada. Hidup sejahtera, makanan sehat (sayur-sayuran organik merupakan menu utama). Banyak berjalan kaki dengan Landscape yang indah. Udara bersih dan ketika musim semi panas matahari bersinar terik dengan angin sejuk. Tetapi pada malam hari suhu bisa turun sampai 1 derajat celcius. Tidak ada kejahatan misalnya jambret, sepeda motor hilang, pemerkosaan apalagi pembunuhan. Semua berlangsung damai dan “biasa-biasa” saja.
Paro airport satu-satunya bandara internasional di Bhutan, sekaligus airport terindah dan salah satu airport terbahaya di belahan bumi. Terletak di antara lembah dan bukit dengan pegunungan Himalaya. Sampai tahun 2009 hanya ada 8 pilot yang mengantongi izin mendarat di Bhutan.
Ibukota Bhutan adalah Thimphu terletak di bagian barat, dapat ditempuh satu jam perjalanan dengan mobil dari Paro.
Dari sisi bangunan, terlihat seragam dan tertinggi hanya 4 lantai. Lalu lintas juga tidak macet sehingga tidak memerlukan rambu lalu lintas. Meski saat ini sebuah keluarga bisa memiliki mobil bahkan dua sampai tiga. Baru-baru ini pemerintah menerapkan pajak 200 persen untuk impor mobil guna mencegah semakin bertambahnya kendaraan.
Ada banyak Dzong (benteng), Monastery (kuil) ataupun Chorten (stupa) di Bhutan. Tetapi satu yang menarik adalah Memorial Chorten/Stupa yang ada di Thimphu. Sedianya memorial ini dibangun ibu suri kedua untuk mengenang putranya (raja ketiga) yang mati muda.
Tempat ini sekarang jadi lokasi berkumpul para manula sebagai ajang sosialisasi sambil berdoa. Praying wheel diputar terus menerus sambil bercengkrama ataupun melakukan aktivitas. Tempat inilah facebook mereka.
Orang Bhutan ramah dan murah senyum. Teh atau kopi selalu ditawarkan sehabis makan ataupun selesai bepergian di sore hari, kadang-kadang didampingi crackers keju. Mata uang yang dipakai adalah Ngultrum, tetapi US dollar juga diterima. Satu US dollar lebih kurang 60 Ngultrum.
Kalau kebetulan kita ada di Thimphu pada waktu weekend (Jumat, Sabtu, Minggu) bisa mengunjungi pasar yang tidak kalah menarik. Pasar ditata dengan sangat rapi dan bersih. Tidak ada lalat ataupun becek karena lantainya dibuat dari keramik.
Wadah sayuran adalah yang paling luas. Menyusul buah-buahan, cereal dan daging. Tidak banyak daging dijual, yang ada kebetulan hanya sosis sapi dan bacon babi yang sudah dibekukan. Besar dan keras. Ayam dan ikan tidak kelihatan. Dan semua daging ini berasal dari India karena di Bhutan yang mayoritas Buddha tidak boleh membunuh makhluk hidup.
Orang Bhutan suka makan keju dan susu. Bahkan cabai juga dicampur keju. Mereka menyukai cabai melebihi segalanya. Mau coba kudapan Bhutan? Keju yak dipotong kecil-kecil dan diemut seperti permen. Rasanya tawar dan seperti karet yang keras.
Punakha
Untuk sampai di Punakha kita harus berkendara tiga jam melewati Dochula pass yang melingkar, menaiki dan menuruni bukit dengan tebing di kiri dan lembah di kanan. Hampir menyerupai perjalanan ke Tele Samosir. Tetapi pass ini jauh lebih sempit dan tikungannya juga lebih banyak dan tajam.
Punakha lebih hangat dari Thimphu, dengan sawah terhampar di kiri kanan. Suara burung berkicau di pagi yang hening dan sepi menciptakan suasana penuh kedamaian dan kebahagiaan. Tidak heran Bhutan juga disebut sebagai Shangrila terakhir (The Last Shangrila) dan merupakan Negara dengan penduduk paling berbahagia di Asia.
Sekolah terbaik di Bhutan ada di Punakha, rata-rata mereka belajar dari jam 8 pagi sampai 4 sore. Sering terlihat orangtua menunggu di gerbang dengan rantang makan siang. Dzongkha (bahasa ibu Bhutan) dan bahasa Inggris diajarkan mulai dari pendidikan dasar.
Dzong (benteng) terindah dan terkenal juga ada di sini yaitu Punakha Dzong. Awalnya Dzong hanyalah sebuah benteng kecil. Kemudian seorang Lama mendapakan visi untuk membangun Dzong lebih besar. Dicarilah seorang arsitek atau carpenter yang dizinkan bermalam di Dzong untuk mencari ilham.
Realisasi Mimpi
Pada malam itu arsitek tersebut bermimpi dikirim ke surga. Dan seperti apa Punakha Dzong sekarang adalah realisasi dari apa yang dia lihat di surga dalam mimpinya.
Punakha Dzong terdiri dari beberapa hall. Hall terbesar atau utama berisi altar penyembahan dengan seluruh dinding yang dilukis cerita perjalanan Sidharta Gautama mulai lahir sampai menjadi Buddha.
Aktivitas lain di Punakha adalah hiking satu jam ke Khamsun Yuelley Namgyel Chorten. Stupa di atas bukit yang dibangun ibu suri untuk melindungi anaknya, raja kelima yang bertakhta sekarang.
Dan tebak siapa yang ditemui dalam perjalanan naik ke atas? Yang mulia ibu suri dari raja ke empat.
Wow... Yang Mulia juga menjalani hal sama, hiking dengan hanya ditemani tiga pengawal. Yang Mulia menyempatkan diri berhenti dan menyapa setiap turis yang dijumpai termasuk kami. Wah, kami merasa "penting" bisa begitu dekat dan ditanya dari negara mana.
Raja yang memerintah sekarang generasi ke V - Jigme Khesar Namgyel Wangchuk, sebelumnya menjalani pendidikan di Inggris, berusia 35 tahun mempersunting seorang gadis cantik usia 21 tahun bernama Jetsun Pema.
Walaupun sebenarnya raja ke IV - Jingme Singye Wangchuk masih memegang kendali di pemerintahan secara tidak langsung. Raja ke IV ini memiliki 4 istri bersaudara kandung satu sama lain, pada 11 November tahun ini akan merayakan ulangtahun ke 60. Oleh sebab itu, tahun ini dinobatkan sebagai Visit Bhutan Year 2015.
Paro
Perjalanan dari Punakha ke Paro melewati jalur yang sama yaitu Dochula pass dengan jalannya yang melingkar dan sempit, melewati Thimphu, lebih kurang 4 jam.
Kesempatan kali ini berkunjung ke sekolah seni. Semacam sekolah kejuruan sesudah tamat SMA. Kebanyakan anak-anak yang sekolah di sini dari keluarga tidak mampu. Ada jurusan painting, menyulam tangan, bordir, memahat, membuat patung. Rata-rata butuh 6 tahun untuk menyelesaikan pendidikan.
Herannya sekolah ini dibuka untuk turis pada jam-jam sekolah, padahal mereka butuh konsentrasi saat belajar. Turis yang datang bisa sangat mengganggu, misal dengan ocehan yang tidak hentinya, kelikan kamera silih berganti, atau bahkan anak-anak yang melompat ketika sebuah sentuhan akhir sedang ditambahkan.
Olahraga nasional adalah memanah dan sepak bola. Saat ini Thimphu sudah memiliki klub sepakbola sendiri dan sedang berjuang menuju world cup.
Pilihan lain adalah mengabdikan diri menjadi bhiksu bahkan pada usia yang sangat kecil seperti usia tujuh tahun. Mereka belajar di kuil menghafal mantra. Setelah lulus akan menjalani meditasi di hutan selama tiga tahun.
Untuk menjalani Bhutan, kita harus belajar mengerti, memahami dan mencintainya. Di Bhutan, kehidupan spiritual di atas segalanya.
Perjalanan ke Bhutan tidak akan komplet kalau belum ke Taktshang Monastery atau lebih umum dikenal sebagai Tiger Nest. Konon Guru Rinpoche sampai di tempat ini dengan diterbangkan seekor harimau.
Waktu yang ideal memulai perjalanan adalah jam tujuh pagi. Setengah jam perjalanan dengan mobil untuk sampai di kaki bukit. Bagi yang kesulitan jalan bisa memilih naik kuda tetapi kadang-kadang bisa sangat berbahaya. Seperti yang dikatakan orang bijak, sebuah proses atau perjalanan sebenarnya lebih penting daripada tujuan.
Perhentian pertama adalah cafetaria, teh dan kopi panas disuguhkan secara gratis dengan pemandangan tiger nest di kejauhan. Bagi yang terbiasa hiking atau trekking seharusnya tidak masalah. Hanya tipisnya oksigen membuat napas kita agak berat dan terengah-engah.
Hmm..., luar bisa, sungguh perjalanan nan eksotis.***