Arsitektur Mesjid, Alkulturasi dan Budaya Lokal

Gaya unik, indah, atau menarik, sering menjadi pilihan saat menentukan masjid yang ingin dijelajahi. Di Kota Medan, terdapat dua masjid tertua berakulturasi multietnik, yakni Masjid Osmani dan Masjid Bengkok. Masjid ini mencampurkan banyak akulturasi antara Tionghoa (China), Timur Tengah, Eropa, dan Melayu. Dengan akulturasi ini, juga menunjukkan simbol kerukunan beragama dan kesukuan di Kota Medan.

Ornamen maupun gaya ornamentik dapat divisualisasikan dengan huruf-huruf atau kaligrafi, seperti huruf “Arab Kufa” dan “Karmalis” merupakan salah satu ornamen geometris yang berisi tulisan lafaz Alquran sebagai hiasan masjid.

Kubah atau dome dibahagian dalam ruang masjid juga disebut sebagai konsep menciptakan suasana sakral serta perasaan diri yang sangat kecil di hadapan sang Khalik tanpa dipenuhi hiasan keduniaan yang glamor yang jauh dari menimbulkan rasa sakral.

Masjid Lama Gang Bengkok

Seperti kita ketahui, Masjid Lama Gang Bengkok merupakan salah satu masjid tertua yang letaknya berada di pusat Kota Medan. Masjid ini didirikan oleh Tjong A Fie tahun 1890 menurut arsip Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan.

Jika dibahas secara mendetail, arsitek masjid mengalami perubahan. Seorang arsitek, Meyga Fitri Handayani, ST MT mengatakan, meskipun berubah, aplikasi akulturasinya tetap terlihat. "Masjid ini sudah banyak mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Sebab, ada kebutuhan lain dari dampak bertambahnya jamaah yang dan rentang mengalami kerusakan. Namun, aplikasi akulturasi pada masjid ini tetap terlihat," ucapnya.

Dijelaskannya, ada detail-detail khusus pada bangunan masjid, seperti bentuk atap yang melengkung ('Melontik' dalam bahasa Melayu) atau menyerupai Klenteng pada Arsitektur China. "Lalu, pada bagian puncak atap terdapat bentuk segi enam yang menyerupai bangunan Pagoda di China," ungkap perempuan yang juga bekerja sebagai dosen Fakultas Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Medan (ITM) ini.

Tidak hanya itu, ada empat buah tiang penyokong di dalam ruangan yang sama persis bentuknya seperti yang terdapat pada bangunan Klenteng dan terdapat pula pada rumah Tjong A Fie. "Tepat di bagian atas tiang terdapat bentuk buah jeruk dan anggur, merupakan ciri-ciri rumah khas China. Detail-detail lain seperti pada pintu, jendela dan jalusi mirip dengan rumah Tjong A Fie bergayakan Arsitektur China, tetapi saat ini jendela sudah berubah," lanjutnya.

Sedangkan akulturasi berikutnya adalah arsitektur Melayu yang hadir dalam bentuk ragam hias. "Ragam hiasnya terdapat di tepi atap yang disebut 'Lebah Bergantung'. Bentuk perabungan atap masjid juga mencirikan adanya Arsitektur Melayu," katanya.

Menurutnya, tata letak bangunan Masjid pun merupakan perpaduan dua budaya tadi. "Sama seperti letak bangunan yang berada tidak jauh dari Sungai Deli. Ciri tata letak bangunan Melayu biasanya berhubungan dengan sungai. Sedangkan tata letak berkaitan dengan budaya China Lautan memiliki filosofi kehidupan dunia ini berasal dari air. Air merupakan pemurnian dan pensucian menuju nirvana.  Ciri lain pengaruh budaya Melayu adalah keberadaan pemakaman yang ada di depan mihrab," jelasnya.

Masjid Al-Osmani

Masjid Al-Osmani Labuhan Deli dibangun tahun 1854 oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam. Bangunan ini merupakan bagian dari kompleks Istana Kesultanan Deli di Medan Labuhan, letaknya tepat di depan istana kesultanan. Selain berfungsi sebagai tempat ibadah, masjid ini juga berfungsi sebagai benteng bagi masyarakat Labuhan Deli dari pengaruh-pengaruh negatif.

Kondisi Masjid Al-Osmani saat ini juga sudah banyak mengalami perubahan dan penambahan pada bagian belakang bangunan. Awalnya, masjid didominasi dengan material kayu. Tetapi setelah dilakukan pemugaran, bangunan ini dibuat dengan kondisi permanen.

Aplikasi akulturasi dapat dilihat dari detail-detailnya, seperti dua buah menara yang terdapat di depan masjid layaknya menara-menara yang ada di Mesir yang berbentuk segi delapan, bertingkat tiga dengan kubah bentuk bawang.

Terdapat satu kubah utama dan dua buah kubah yang berada disudut. Untuk kubah utama dengan denah persegi delapan dan bentuk setengah lingkaran bercirikan Arsitektur India dengan menggunakan hiasan kubah yang disebut Kupola. Lalu bagian tepi kubah utama pada bagian sudut terdapat undak-undak, bentuk ini ditemukan juga pada Masjid Amir Chair Bey di Mesir.

Sedangkan dua buah kubah pada bagian sudut depan berbentuk segi empat, bentuk kubah seperti ini ditemui pada Masjid Makam Akbar di Sikandra dekat Aqra di India. Tiang-tiang pada Masjid Al-Osmani terdapat pada serambi masjid, pada bagian atas tiang berbentuk lengkungan dengan hiasan menyerupai zebra, hiasan ini mirip dengan tiang-tiang di Istana Al-Hamran di Cardoba Spanyol.

"Ciri Arsitektur Melayu ditemukan pada beberapa ragam hias pada masjid dan bentuk perabungan atap, selanjutnya ciri Arsitektur China terlihat pada penggunaan pintu dan jendela pada masjid. Pengaruh Belanda juga ditemukan pada bangunan Masjid Al-Osmani ini yaitu penggunaan kaca-kaca patri. Untuk tata letak bangunan sama dengan Masjid Lama Gang Bengkok, bangunan Masjid Al-Osmani juga menghadap ke sungai, tepat didepan mihrab terdapat pemakaman," jelasnya.

Lebih lanjut, banyak pengamat yang mengatakan ke dua masjid ini memiliki percampuran gaya arsitektur, yakni Cina, Melayu, dan Timur Tengah.

Dari pendapat beberapa pengamat mengatakan bahwa kehadiran Masjid Lama Gang Bengkok dipengaruhi oleh beberapa gaya arsitektur dari China, Persia, Romawi dan Melayu, tetapi melihat kondisi setelah masjid mengalami beberapa kali pemugaran yang masih terlihat adalah perpaduan arsitektur China dan Melayu yang lebih dominan saat ini.

Untuk memastikan adanya pengaruh Arsitektur Persia dan Romawi tentunya perlu melihat bangunan Masjid sebelum mengalami pemugaran, kemungkinan saja kedua arsitektur tersebut mempengaruhi arsitektur Masjid Lama Gang Bengkok mengingat pada masa itu banyaknya negara asing  yang masuk ke Medan dengan tujuan berdagang. Begitu juga dengan Masjid Al-Osmani, bangunan masjid ini dipengaruhi oleh Arsitektur dari Timur Tengah, India, Spanyol, China dan Melayu.

"Begitu banyak perpaduan Arsitektur pada masjid ini yang kemungkinan terjadi setelah pemugaran dari bangunan masjid yang ditangani oleh arsitek Jerman GD Langeries, karena material bangunan didatangkan dari Eropa dan Persia. Jika melihat dari kejauhan gaya arsitektur yang dominan adalah Melayu, karena warna kuning dan hijau yang sangan menonjol pada bangunan masjid, tetapi jika diamati lebih detail perpaduan beberapa gaya tadi jelas terlihat, walau beberapa ornamen pada masjid telah hilang seperti ornamen Melayu di dinding menara dan garis-garis seperti zebra pada lengkungan diatas tiang," jelasnya.

Adapun konsep arsitektur yang dituangkan arsitek terdahulu pada dua bangunan religi, yakni konsep Arsitektur pada Masjid Lama Gang Bengkok dapat dilihat dari tujuan masjid ini dibangun. Masjid ini dibangun karena belum adanya masjid disekitar kawasan tersebut yang merupakan kawasan perdagangan dan perkantoran pada masa itu.

Tjong A Fie mendanai pembangunan masjid ini dan didirikan diatas tanah yang telah diwakafkan oleh Datuk Kesawan yaitu H. Mohammad Ali, maka konsep arsitektur yang lebih menonjol pada masjid ini adalah Arsitektur China dan Melayu. Sedangkan Masjid Al-Osmani, melihat warnanya, mencerminkan Arsitektur Melayu tetapi pada setiap bagian bangunannya seperti bentuk-bentuk geometris dan ragam hias kaligrafi di pada dinding dan plafon masjid lebih kental dengan nuansa Timur Tengah.

Dalam Islam pada dasarnya tidak memiliki kriteria khusus dalam pembangunan sebuah masjid. Tetapi jika kita melihat masjid-masjid tua yang ada di Indonesia memiliki beberapa ciri seperti memiliki empat pilar penyokong yang melambangkan mazhab dan biasanya pilar berbentuk dasar bulat ataupun persegi, denah masjid empat persegi, masjid memiliki mihrab, mimbar, menara, gapura dan pemakaman.

"Atap menggunakan perabungan, ada masjid yang menambahkan kubah pada atap dan ada pula mengunakan atap yang bertumpuk-tumpuk seperti masjid-masjid di Jawa," ungkap Meyga yang menamatkan kuliah S1 di ITM dan studi S2 di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS).

Meyga pun menambahkan, jika seseorang ingin membangun masjid berarsitektur sama dengan masjid-masjid yang sudah ada sebelum atau masjid lama seperti Masjid Lama Gang Bengkok dan Masjid Al-Osmani ini, terlebih dahulu melihat tujuan dari pembangunannya. "Jika bertujuan untuk pelestarian, berarti membuat replika dari yang telah ada, tentunya jika replika haruslah sama persis.

Tetapi jika membangun masjid yang sama ditempat yang berbeda yang perlu diperhatikan adalah budaya setempat. Karena lain daerah memiliki budaya yang berbeda pula. Jadi ada baiknya mengambil bagian-bagian istimewa dari bangunan lama tersebut tanpa melupakan budaya setempat," ujarnya.

Sebenarnya, ucapnya, kita dapat belajar dari kedua masjid ini. "Walau yang membangun orang asing, tetapi tetap ada unsur-unsur budaya setempat dalam tampilan bangunannya, seperti memunculkan Arsitektur Melayu pada kedua bangunan masjid," tuturnya.

Berkaitan dengan pelestarian bangunan-bangunan berserjarah seperti Masjid Lama Gang Bengkok dan Masjid Al-Osmani ini perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah kota Medan. "Bangunan-bangunan masjid seperti ini layak dilestarikan sebagai benda cagar budaya arsitektur di kota Medan, yang tentunya dapat dijadi obyek wisata arsitektur jenis bangunan religi. Tidak semua orang Medan tahu keberadaan masjid-masjid ini terutama generasi muda kita sekarang, malahan orang luar lebih mengenal masjid-masjid ini," sebutnya.

Dia mengungkapkan lebih lanjut mengenai harapan masyarakat terhadap akulturasi arsitektur bangunan ini. "Seperti yang saya temui sekitar bulan Juni 2015 lalu, rombongan dari Bogor datang mengunjungi Masjid Al-Osmani yang begitu antusias mengetahui sejarah masjid tersebut. Jadi dalam pelestariannya perlu keseriusan dari pemerintah dengan melibatkan misalnya perguruan tinggi atau sekolah-sekolah, pihak swasta juga dapat melibatkan Badan Warisan Sumatera (BWS). Sehingga kedepannya masjid-masjid bersejarah ini tidak punah tergerus oleh waktu.

Contohnya saja Masjid Al-Osmani, sekarang ini, sebagian dari ragam hiasnya telah hilang, ditimpa dengan cat, hal ini cukup disayangkan. Untuk itu cara pemugarannya juga harus diatur sesuai dengan kelasnya, sehingga tidak menghilangkan bentuk asli bangunan-bangunan masjid tersebut," jelasnya.

()

Baca Juga

Rekomendasi