Faktor Penyebab Fluktuatif Harga Komoditas Pertanian

Oleh: Ir. Gustami Harahap. MP.

Harga komoditas pertanian (on-farm) akhir-akhir ini memperlihatkan fluktuasi harga yang sangat tajam.  Seperti : harga cabai merah  sampai Rp 60.000,- per kg sebelumnya kisaran Rp 20.000,- per kg harga ayam potong Rp 35.000,- per kg, sebelumnya kisaran harga Rp 22.000-25.000 per kg,  harga daging lembu  Rp 110.000,- s.d Rp 120.000,- per kg.  Sebelumnya dengan kisaran harga Rp 70.000 s.d. Rp 80.000 per kg. Harga bawang putih sampai Rp 26.000,- per kg.  Sebaliknya harga bawang merah  Rp 24.000,- per kg, biasanya dengan harga  Rp 28.000,- per kg.  Harga tomat turun drastis Rp 6.000,- per kg, sebelumnya Rp 15.000,- s.d. Rp 20.000 per kg.

Demikian pula dengan harga beras Ramos kisaran Rp 116.000,- per 10 kg, beras ramos Cianjur Rp 109.000,- per 10 kg.  Kondisi harga di pasar induk kadang kala meresahkan masyarakat secara mikro di kalangan masyarakat baik masyarakat di klas ekonomi papan bawah maupun papan menengah.  

Akhir-akhir  ini gejala yang ditunjukan oleh para pedagang daging sapi  seperti di Jawa Barat yang menghentikan aktivitasnya untuk tidak berniaga disebabkan dengan harga daging lembu dan daging kerbau yang meningkat secara tajam.  Konsekuensinya  para pedagang bakso kecil yang menggunakan daging lembu sebagai daging bakso, tidak mampu membeli daging seharga di pasar.

Khusus di Medan dan umumnya di Provinsi Sumatera Utara, tindakan para pedagang pasar tidak sejauh seperti di Jawa Barat.  Namun, di kalangan ibu rumah tangga celotehan atas kenaikan harga di pasar tetap menjadi konsumsi baik di dalam rumah tangga maupun para ibu-ibu yang sedang melangsungkan pembelanjaan di pasar.  Sesungguhnya peran pemerintah sangat diharapkan untuk memberikan penenangan kepada masyarakat untuk tidak takut dan khawatir akan gejala harga semacam itu.  

Oleh karena itu pemerintah melalui instansi yang terkait, seperti : Departemen Pertanian sebaiknya  melakukan riset pasar, dan mengumumkan kepada masyarakat tentang perubahan-perubahan harga tersebut berdasarkan dari letak geografinya.

Perubahan harga-harga komoditas ini di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah adalah sangat menakutkan, karena dapat saja merubah pola konsumsi dengan menggantikan barang yang substitusi atau  bahkan memperkecil pola konsumsi akan komoditas yang diinginkan.   

Kenaikan harga untuk komoditas pertanian yang tergolong ke dalam pasar persaingan sempurna adalah sesungguhnya bahwa harga diterima oleh pedagang (price takers), dalam arti bahwa konsumen dan pengguna dalam memenuhi kebutuhan akan suatu barang , biasanya sesuai dengan harga yang berlaku di pasar.

Namun di sisi lain, apabila daya pasok barang itu sangat rendah dan sangat tinggi yang disebabkan oleh musim (seasonal) komoditas, maka berlaku hukum permintaan dan hukum penawaran.  Dalam arti : Jika pada musim panen raya, maka jumlah barang di pasar terlalu banyak, meskipun didistribusikan barangnnya ke masing-masing daerah yang membutuhkannya, maka harga turun.  Harga turun mengakibatkan permintaan akan barang meningkat, sedangkan penawaran berkurang.  

Sebaliknya, apabila musim paceklik, maka jumlah produksi berkurang, akibatnya harga meningkat, permintaan berkurang sedangkan penawaran komoditas meningkat.  Kondisi seperti ini disebut dengan hukum permintaan dan penawaran.

Bertitik tolak dari hukum permintaan dan penawaran ini, maka faktor penyebab, mengapa di daerah satu produksi langka adalah :  1. pasokan komoditas, 2. distribusi komoditas, dan ke 3. keberlanjutan (qontinuitas) komoditas.  Riset pasar yang dilakukan oleh Dinas Pemerintahan yang terkait sangat berguna untuk mengambil keputusan dan motif berjaga-jaga baik di lingkungan masyarakat, maupun di lingkungan petani sebagai produsen komoditas.

Untuk sembilan kebutuhan bahan pokok sudah tidak diragukan adanya kinerja Badan Usaha Logistik  (Bulog) yang dapat menstabilkan harga.  Namun di pihak lain Bulog dan Depot Usaha Logistik (Dolog) di kabupaten/kota juga akan kecolongan dari kinerja Dolognya.  

Oleh karena riset pasar tidak akan pernah dilakukan, bahkan telah terjadinya konversi tugas pokok (tupoksi) Dolog di daerah bukan lagi sebagai pendistribusi sembilan bahan pokok, akan tetapi telah menjadi pendistribusi beras miskin (raskin).  Konsekuensinya yang terjadi di kabupaten/kota masih ditemukan akan kelangkaan bahan-bahan sembilan kebutuhan pokok di daerah yang bersangkutan.

Sebaliknya, untuk komoditas hortikultura, seeperti cabe, tomat, bawang merah dan bawang putih, demikian pula dengan peternakan daging sapi dan daging ayam potong masih diperlukan regulasi untuk membantu para petani, masyarakat dan pemerintah agar tidak kecolongan akan komoditas tersebut.

Tergantung Dua Musim

Pada prinsipnya di kalangan petani kecil untuk komoditas hortikultura masih tergantung dari kedua musim seperti yang diuraikan di atas, yakni musim paceklik dan musim panen raya. Untuk petani dengan skala besar belum membuat perencanaan yang jitu antara pola tanam yang dilakukan, dengan waktu komoditas yang dibutuhkan dalam jumlah besar.

Pada pihak lain, ulah para pedagang besar akan komoditas hortikultura dan daging di atas dapat bertindak sebagai spekulan, yaitu pedagang yang hanya menopoli satu produk dengan tujuan dalam menguasai pasar dan berorientasi untuk memaksimalkan keuntungan sendiri.  

Kondisi ini banyak terjadi seperti di Jawa  Barat ditemukan adanya spekulan yang mengandangkan sapi dalam jumlah yang besar untuk tidak dipotong, pengaruhnya harga daging sapi fluktasi tinggi dan kelangkaan komoditas daging sapi sangat berkurang di pasar.  

Sebaliknya di kinerja yang lain bahwa spekulan ini juga bertindak untuk melakukan oplosan, yakni dengan mencampurkan komoditas yang nomor satu dengan komoditas yang sama tetapi dengan kondite komoditas nomor  delapan.  Akibatnya spekulan diuntungkan dengan adanya distribusi dan pemasaran  (marketing) dari komoditas yang bersangkutan.

Beberapa komoditas yang perlu diperhatikan untuk konsumsi nasional, dimana ketersediaan domestik untuk memenuhi konsumsi sangat berkurang, maka yang harus dilakukan adalah impor : Seperti komoditas daging sapi, kedelai, jagung, susu.  Komoditas ini sangat harus diperhatikan, sebab menjadi komoditas para politikus untuk melakukan korupsi.

Kebijakan lain, yang harus tegas dilakukan oleh pemerintah, tanpa memilih dan memilah siapa pelaku spekulan yang mengocok dan mengganggu harga komoditas di pasaran perlu untuk dilakukan adalah regulasi dan sanksi perdata maupun pidana, jika ditemukan spekulan-spekulan yang mempunyai motif untuk memperkaya diri sendiri.  Penegakan hukum yang konsistensi kepada para spekulan sangat penting, agar memberikan refleksi terhadap efek jera dari pada spekulan untuk tidak melakukan spekulasi kembali terhadap komoditas pertanian.

Faktor penyebab lain, selain yang diutarakan di atas yang berhubungan dengan harga komoditas adalah kartelisasi di perdagangan internasional, kecil kemungkinan terjadi disebabkan bahwa di perdagangan internasional, bahwa di beberapa negara di Asia, Asean, Eropah, Amerika Serikat, Afrika dan Saudi Arabia, sangat terikat dengan adanya perdagangan bebas.  

Perdagangan bebas akan komoditas terikat dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap produsen.  Perdagangan bebas (Free Trade), tidak mensyarakatkan adanya pembatasan  (kuota) baik akan pengiriman komoditas (impor) maupun pengiriman (eksport), dan tarif pajak impor dan pajak ekspor yang telah disepakati adalah nol persen.  Konsekuensinya bahwa produk hortikultura impor tidak pernah mengalami harga yang fluktuatif, yang sedikit berbeda dengan produk hortikultura domestik dan lokal.

Sesungguhnya  selain riset pasar yang dilakukan, kebijakan daerah provinsi untuk berkerjasama dengan daerah kabupaten/kota sangat dibutuhkan dalam penyediaan konsumsi komoditas pertanian.  Kondisi ini akan memperlihatkan adanya daya pasok dari salah satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota lainnya (hinter land).  Kondisi ini harus dijaga, karena yang timbul adalah harga hinter land  (price hinter land), yang harga patoknnya tidak begitu besar, apabila ketiadakan pasokan akan komoditas yang bersangakutan di daearah tersebut.

Sudah saatnya pemerintah fokus dengan kebijakan seperti ini.  Oleh karena ketiadaan komoditas di salah satu daerah secara makro akan mengganggu kestabilan nasional.  Untuk tidak dan tidak terjadi lagi, maka regulasi-regulasi yang berhubungan dengan pengaturan komoditas tersebut sangat diperlukan untuk diterbitkan. Faktor-faktor penyebab baik mikro maupun makro dapat diminimaliser akan pengaruhnya terhadap fluktuasi harga komoditas pertanian (on-farm).***

Penulis, Dosen Fakultas Pertanian, Program Studi Agribisnis Universitas Medan Area.

()

Baca Juga

Rekomendasi