Pergeseran Kesenian Topeng Tembut-tembut

Oleh: Tommy Simatupang

UDARA yang dingin menyambut kedatangan kami di tanah Karo, Kecematan Tiga Panah, Desa Seberaya Kabupaten Karo. Kabut sejuk mengepul terlihat jelas dari sorot pandangan. Memasuki lorong menuju desa, jalanan mulai tampak rusak parah. Lubang-lubang besar digenangi air, jalanan masih belum beraspal dan berbatu. Bapak Duikora Sembiring Dempari sebagai pemegang adat sekarang membagi waktunya untuk sedikit bercerita. Dia menjelaskan setiap inci cerita dan fakta topeng tersebut. Percakapan berlangsung dengan santai namun serius.

Banyak prespektif masyarakat yang berargumen, tarian tembut-tembut mengenakan topeng, disuguhkan untuk memanggil hujan pada saat musim tanam atau musim kemarau. Setiap gerak tubuh penari seolah memiliki tanda meminta kepada langit. Hal demikian kerap kali membawa kepada penyalahan arti. Karena dalam definisi kosakata bahasa Karo menunjukan arti menakut-nakutkan.

Meski demikian, sebuah apresiasi terhadap kesenian tersebut tidak patut disalahkan. Setiap saat pentas ingin dimulai, delapan puluh persen hujan akan turun dengan deras dan sesekali bunyi petir menyambar. Sama halnya juga ketika dikandangkan (dimasukan ke ruangannya) oleh bapak Duikora. Dalam beberapa hari atau pun pada saat itu kembali hujan mengguyur desa tempat berpentas.

Beberapa isu-isu yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Tarian ini dapat membuat kelima penari yang mengenakan topeng, akan dirasuki oleh makhluk halus, bertujuan agar hujan dapat turun. Sesungguhnya, dalam kesenian ini, sama sekali tidak ada hal magis yang dipertunjukan kepada para penikmat. Hanya ada sedikit acara pribadi antara sang penjaga terhadap kelima topeng bersejarah saat sehari sebelum pertunjukan.

Seutuhnya tembut-tembut Seberaya, murni bertujuan untuk menghibur (seni) setiap anak-anak, pemuda, serta orangtua di masa dulu dan kini. Tidak ada tujuan lain di samping itu. Penilaian yang salah inilah menghasilkan terjadinya pergeseran fungsi ke arah yang bukan sebenarnya.

Acapkali beberapa desa di tanah Karo mengundang dengan maksud agar hujan segera turun. Keadaan ini jelas, mencoba memahat fungsi baru ke arah yang bukan sebenarnya.

Kelima Topeng

Kelima topeng tersebut selalu berada dalam rumah turun temurun keluarga bapak Duikora. Semenjak dulu, hingga generasi ke-empat sekarang, setiap siapa saja yang mendiami rumah tersebut harus menjaga dan melestarikan kesenian tersebut. Awal pembentukan dari penciptanya, tembut-tembut Seberaya ini memiliki tujuh buah topeng. Pada masa penjajahan kolonial Belanda diperkirakan di tahun 1899, dua topeng berperan sebagai Ayah dan Ibu dibawa oleh penjajah Belanda ke negaranya. Sedikit menyinggung persoalan harta Nusantara, ini salah satu contoh bukti kekayaan kesenian Nusantara yang dibawa kabur (lagi) oleh para penjajah.

Bahkan yang menyedihkan, topeng Ayah dan Ibu itu merupakan topeng pertama yang dipahat oleh Alm. Pirei Sembiring Depari, sebagai pencipta. Cerita  daerah ini berlatar belakang pada keluarga bangsawan (kerajaan).

1. Topeng Putri adalah anak perempuan yang dalam cerita memiliki rupa yang sangat indah dan kulit yang putih bersih.

2. Topeng Panglima, berfungsi menjaga tuan putri dari serangan orang jahat. Panglima  berkarakter kuat, memiliki ilmu yang sangat tinggi dan sangat ditakuti. Biasanya para pawang yang mengambil peran.

3. Topeng Kikir Labang, merupakan anak laki-laki dari keluarga tersebut.

4. Dayang-dayang, topeng seorang perempuan yang hanya bertugas menemani Kikir Labang. Biasanya, Kikir Labang dan Dayang-dayang selalu berdampingan pada saat pentas dimulai.

5. Sigurda-gurdi, sebuah topeng jelmaan seekor burung hitam yang berperan untuk menculik sang putri untuk dibawa kepada rajanya di kerajaan Samudra Pasai.

Kelima topeng tersebut akan terus menari ala suku Karo sambil mengikuti alur yang dibawakan oleh komentator. Setiap kejadian demi kejadian dapat ditandai dengan lagu-lagu yang memiliki makna masing-masing. Lagu pertama, sebuah pengantar dari pertunjukan, seperti sebuah pengenalan kepada penonton tentang masing-masing tokoh.

Sayangnya, bapak Duikora sebagai narasumber lupa akan judul tersebut. Lagu kedua berjudul Tangtugut. Sebuah lagu yang bermakna mengincar-incar, dimana Sigurda-gurdi akan memberi tanda, sedang mengincar tuan putri. Lagu ketiga berjudul Gendang Perang. Saat lagu tersebut diputar dan komentator memberi arahan kepada penonton, pertarungan telah dimulai antara panglima yang dengan Sigurda-gurdi sebuah jelmaan burung hiitam besar.

Pertunjukan itu pun berakhir dengan kekalahan Sigurda-gurdi karena gugurnya bulu dari jelmaan burung tersebut yang merupakan titik kelamahan.

Dari Generasi ke Generasi

Pembuatan topeng ini diperkirakan diukir pada tahun 1889. Alm. Pirei Sembiring Dempari mendapatkan sebuah ilham (sebuah bisikan) untuk membuat topeng dari kayu yang semua sudah ditentukan. Saat pengambilan kayu, beritanya, petir datang menyambar-nyambar dan suara langit seperti akan turun hujan. Perihal begitu, beliau tetap terus berusaha agar amanat untuk menghibur masyarakat sekitar dapat tercapai.

Dia terlahir sebagai insan yang mencintai sebuah kesenian. Kepergianna, menitipkan sebuah warisan kepada anak laki-laki keduanya untuk melestarikan kesenian tersebut. Amanat itu berhasil diembannya, terbukti dari kemenangan yang diraih oleh Ngasal Sembiring Dempari dalam festival kesenian topeng di Batavia pada tahun 1928.

Tembut-tembut Seberaya meraih peringkat kedua, diperingkat ketiga diberikan kepada Ondel-ondel dari Batavia, dan peringkat pertama sebuah topeng dari daerah Bali. Ngasal Sembiring Depari meninggalkan seorang anak laki satu-satunya dalam keluarga, Idris Sembiring Dempari.

Sebagai seorang anak laki satu-satunya, dia tinggal serta melaksanakan kewajiban menjaga agar tetap dalam rumah dan terus melestarikannya. Generasi ke empat atau bisa dikatakan generasi sekarang, dijaga oleh bapak Duikora Sembiring Depari. Beberapa prestasi besarnya tampak dari pamerannya di empat negara Eropa: Belgia, Jerman, Belanda, dan Perancis.

Banyak persoalan dalam diri bapak Duikora melihat kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam menjaga serta melestarikan aset budaya Karo. Perlu adanya pementasan beberapa kali dalam bentuk hiburan atau festival terlebih dalam wilayah tanah Karo supaya tetap pada porsinya.

Imbasnya, kesenian ini malah semakin disalahfungsikan oleh masyarakat desa daerah sekitar. Niat untuk menghibur berubah menjadi asas pemanfaatan. Sempat beberapa kali pemerintah daerah meminta tembut-tembut masuk dalam dalam daftar museum daerah, tetapi hati berkata lain. Bapak Duikora yakin dan berprinsip kesenian itu harus tetap dijaga oleh keluarganya mendatang, karena itu sebuah warisan turun-temurun.

Penulis; alumnus sastra Indonesia, USU. Bergiat di KSI-Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi