Oleh: Jones Gultom
BERBAGAI sumber kreatif lazim digunakan dalam dunia sastra. Salah satunya Kitab Suci Alkitab. Di Indonesia, terbilang sedikit sastrawan yang menjadikan Alkitab sebagai sumber ide kreatifnya. Berbeda dengan di negara-negara lain, khususnya Amerika Latin dan Timur Tengah. Para sastrawannya kerap menjadikan Kitab Suci, khususnya Alkitab, sebagai sumur ilham mereka.
Misalnya karya-karya Paulo Coelho, Faridu din Attar atau bahkan Kahlil Gibran. Karya-karya mereka sebagian besar dipengaruhi oleh Alkitab. Salah satu bacaan dari Alkitab yang sering menginspirasi mereka adalah Mazmur, Kidung Agung dan Wahyu. Hibriditas itu dapat kita lihat dari aksen, frase, khiasan-khiasan serta dasar filsafat yang terdapat dalam karya-karyanya.
Simaklah novel Di Tepi Sungai Piedra (Pedro) atau The Alchemist karya Paulo. Bahkan tema novel ini bercikal pada salah satu kisah dari Alkitab. Begitu pula dengan Sang Nabi, Raja yang Terpenjara atau Sayap-sayap Patah karya Kahlil Gibran. Nafas yang sama juga dapat kita temukan dari Musyawarah Burung-burung karya Faridu din Attar. Ungkapan bahkan kalimat-kalimat yang mereka gunakan digali dari Alkitab.
Paling kental adalah masterpiece Kahlil Gibran Sang Nabi. Gibran memberi nafas baru dari kutipan Injil Matius 5 : 1 - 12 yang berjudul Delapan Sabda Bahagia. Khotbah Yesus di atas bukit itu, digubah sekaligus dilengkapi Gibran dalam bentuk syair-syiar yang indah. Gibran mengungkapkan khotbah Yesus itu dalam bahasa yang lebih puitis tanpa kehilangan makna spiritualitasnya.
Karya-karya Gibran justru semakin menarik. Karena dia tidak hanya mengadopsi Alkitab, namun juga Alquran serta kitab-kitab suci kuno di masa pra Kristen. Karena itu, Gibran tampil menjadi sastrawan Arab yang paling berwarna dibanding sastrawan lain sezamannya.
Sayangnya sastra Alkitabiyah, tak sempat populer di Indonesia jika dibanding dengan sastra Alquran. Bukan berarti tak ada sastrawan yang meliriknya. Di awal-awal kesenimanannya, WS Rendra malah banyak menghasilkan karya-karya yang dipengaruhi cerita-cerita dari Alkitab. Salah satu yang paling lawas adalah puisi panjangnya Nyanyian Angsa. Puisi ini berbanding terbalik dengan kisah Yesus yang membela seorang pelacur Samaria, seperti tercatat dalam Injil Yohannes 8 : 7.
Beberapa sastrawan lain, seperti Dorothea Rosa Herliany, Ayu Utami serta Joko Pinurbo, juga dikenal karena kekuatan sastranya yang berpijak pada dasar filsafat Alkitab. Berikut saya kutip salah satu puisi Dorothea berjudul; Ibadah Sepanjang Usia karya Dorothea Rosa Herliany.
//kalimatkalimat yang kau ucapkan/berguguran dalam sahadatku. Inilah kidung yang digumamkan! berapa putaran dalam sembahyang langit. tengadah di bawah hujan yang menaburkan ayatayat tak pernah dibaca. aku tak menemu akhir sembahyangku yang gagap. lilinlilin tak menyala dalam ruangan tanpa cahaya. gema mazmur yang disenandungkan dari ruang mimpimu beterbangan dalam tidurgelisahku. Dan kotbah yang sayup, bertebaran dari mulutmulut kesunyian. telah kautabuh loncengmu? Sembahyangku takjuga menemu akhir. (1992).
Begitu juga dengan Ayu Utami. Karya penulis Saman ini, termasuk yang paling kuat sisi Alkitabnya dan sering diperdebatkan. Dia bahkan mengakui Alkitab sebagai sumber inspirasinya. Pengakuan itu diungkapkannya ketika dia dan sejumlah seniman di Medan menggelar diskusi “Sastra Alkitab” di Galeri Payung Teduh, beberapa tahun lalu. Kala itu, dia sedang menerbitkan novel Bilangan Fu.
Meski secara pribadi dia mendebatkan kebenaran Alkitab sebagaimana yang dituliskannya dalam novel Cerita Cinta Enrico. Nyatanya sebagian besar karya Ayu berada dalam lingkaran diskursus klasik filsafat Kristen; eksistensialis trinitas.
Demikian pula beberapa puisi Joko Pinurbo. Pinurbo yang gemar mengolah tema keseharian sebagai bahan filsfat, menjadi kian terkenal manakala dia menerbitkan kumpulan puisi Celana. Dia memelintir peristiwa-peristiwa tertentu dalam Alkitab. Simaklah puisi “Celana Ibu” berikut ini.
//Maria sangat sedih menyaksikan anaknya/mati di kayu salib tanpa celana/dan hanya berbalutkan sobekan jubah yang berlumuran darah. Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit/dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang/ ke kubur anaknya itu, membawakan celana/ yang dijahitnya sendiri dan meminta/Yesus untuk mencobanya. ”Paskah?” tanya Maria./ ”Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira. Mengenakan celana buatan ibunya,/Yesus naik ke surga./
Nada yang sama juga kita temukan lewat puisi Pinurbo berjudul Di Kalvari; //Salibmu tinggi sekali. /Ya, lebih baik kau panjat tubuhmu sendiri.
Dua baris kalimat ini saya maknai sebagai salah satu ungkapan satir dari kalimat yang paling fenomenal. Ketika orang-orang menyalibkan Yesus.
“Jika engkau benar anak Allah, turunlah engkau dari salibmu sekarang juga”
Alkitab Sebagai Sastra
Alkitab adalah sebuah antologi karya sastra. Di dalamnya terdapat banyak syair, perumpamaan, cerita pendek dan kumpulan surat. Masing-masing dikanonisasikan dalam bacaan-bacaan tertentu. Misalnya syair banyak digunakan di dalam Mazmur, Ayub dan Kidung Agung. Beberapa di antara syair itu, merupakan hymne atau nyanyian rakyat (folklore) yang berkembang dalam keseharian hidup masyarakat. Bacaan-bacaan ini diperuntukkan khusus untuk memuji, mengucap syukur dan berdoa.
Isi lain dari Alkitab adalah cerita-cerita, baik yang menyangkut kisah Yesus sendiri (Perjanjian Baru) maupun kutipan yang diumpamakan Yesus ketika sedang berkotbah. Para pencatat naskah Alkitab seperti Matius, Markus, Lukas dan Yohannes berperan besar dalam pendokumentasian ini.
Begitupula dengan surat-surat yang salah satu penulisnya adalah Rasul Paulus. Surat-surat ini kemudian dikumpulkan menjadi satu bagian khusus dalam Alkitab.
Demikian juga dengan kitab Wahyu, merupakan kumpulan dari kata-kata bijak dan penuh petuah. Kitab Wahyu boleh dibilang kulminasi dari keseluruhan isi Alkitab.
Kitab Wahyu merupakan wujud keyakinan terhadap konsep spiritualitas sekaligus misterius. Boleh dibilang, kitab Wahyu menjadi paling dasar dari proses transformasi keilahian bagi manusia.
Seperti kita tahu, secara umum Alkitab terbagi dua. Perjanjian lama, yang disebut BC (before Christ) dan Perjanjian Baru (Masehi). Perjanjian lama mengisahkan kronologis penciptaan, riwayat manusia, serta akhir zaman yang cenderung ahistoris. Perjanjian Baru, lebih banyak mengisahkan kisah-kisah keilahian dan perjalanan Yesus.
Dalam bahasa Gereja, Perjanjian Baru merupakan penggenapan Perjanjian Lama. Keduanya tetap dipakai dan menjadi refrensi keimanan orang Kristen. Terlepas dari konteks iman, dari sini dapat kita artikan, proses penciptaan Alkitab tidak jauh berbeda dengan kerja-kerja seorang sastrawan dalam menciptakan karyanya.
Di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terkandung kemisteriusan keilahian. Pada ruang inilah sering terjadi perdebatan-perdebatan. Kemudian memunculkan tafsir dan filsafat baru dalam Kristen yang kerap membidani sekte-sekte baru dalam agama Kristen. Termasuk pula dialami sastrawan yang menaruh minat karyanya pada Alkitab. Sisi dialektika dalam karyanya menjadi begitu kuat, sebagaimana beratnya diskursus tentang Alkitab itu sendiri.