Banda Aceh, (Analisa). Pakar Ilmu Politik Prof Dr Nazaruddin Sjamsuddin MA mengungkapkan daya juang orang-orang Aceh sudah berkurang. Begitu juga nilai-nilai keacehan. Hal ini terjadi di semua lini atau sektor dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai contoh ringan, pada 1980-an tim sepakbola dari Aceh sangat disegani di kancah nasional. Begitu juga PSMS Medan, lebih dari setengah pemainnya merupakan anak-anak Aceh.
Untuk itu, kiranya Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) perlu memiliki matrikulasi khusus yang memperkenalkan Aceh sehingga generasi saat ini mengenal dan mengetahui sejarah Aceh sesungguhnya dari sejak zaman dulu hingga saat ini.
“Peradaban Aceh sudah sangat masyhur sejak zaman dulu, makanya itu harus bisa dikembalikan,” ujar Nazaruddin dalam orasi kebudayaan yang disampaikan Sabtu (26/9) usai pembukaan pra Konres Peradaban Aceh, di salah satu hotel berbintang di Banda Aceh.
Dikatakan, masa keemasan Aceh tempo dulu, bukan saja semangat juang yang diperlihatkan, namun juga dalam pemerintahan juga sudah tertata dengan baik. Kesultanan Aceh Darussalam tempo dulu sudah berbentuk pemerintahan federasi.
Sejumlah kerajaan kecil lainnya tunduk pada Kesultanan Aceh Darussalam. Ini menunjukan, bahwa masa dulu Aceh sudah memiliki tata pemerintahan yang baik. Kesultanan Aceh Darussalam ini sangat termasyhur hingga ke mancanegara.
Selain itu, menurut pria kelahiran Bireuen, 5 November 1944 ini, Aceh merupakan gudang ulama yang memiliki peran besar di nusantara. Ini bisa dilihat dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa dan nusantara, di mana dari sembilan wali songo, empat di antaranya dari Aceh.
Para sunan tersebut terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Malik Ishak (Sunan Giri), Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat (Sunan Ampel), dan Hidayatullah/Fatahillah (Sunan Gunung Jati). Mereka ini sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa. “Para ulama asal Aceh ini sangat dikagumi dan dihormarti di Jawa, namun terkadang yang ada di Aceh sendiri kurang diperhatikan,” ujarnya.
Nama Jalan
Seperti halnya Sultan Ali Mughayatsyah, sultan yang mempersatukan Aceh, yang berasal dari bumi Gayo. Dia mendirikan pusat kerajaan di Koetaradja, sehingga seluruh kerajaan lain di Aceh tunduk bersama.
Saat ini, jasa yang begitu besar dari Ali Mughayatsah tidak ada perhatian sama sekali. Iskandar Muda sudah ditambalkan menjadi nama Kodam dan Bandara Internasional, Ar-Raniry sudah menjadi nama universitas Islam negeri (UIN), dan Syiah Kuala sudah menjadi nama perguruan tinggi ternama di Aceh.
“Untuk itu, saya mengusulkan nama jalan dari perbatasan Singkil di jalur selatan hingga sampai perbatasan Aceh Tamiang dengan Sumatera Utara di pantai timur diberi nama Jalan Raya Ali Mughayatsyah,” ungkapnya.
Saat ini, lanjutnya, jalan dari ibukota Aceh sampai Sumut diberi nama jalan Banda Aceh-Medan. Ini sudah saatnya diganti dengan nama yang lebih bermakna. Nama jalan jadi satu dari pantai selatan hingga Timur dengan nama jalan raya Ali Mughayatsah.
Mantan Ketua komisi pemilihan umum (KPU) pertama ini juga menilai orang Aceh mengalami kegersangan intelektualisme. Itu bisa dilihat dari penamaan kabupaten/pemekaran, seperti kabupaten Pidie Jaya, Aceh Jaya. Apa tidak ada nama lain yang bermakna keacehan.
Di sisi lain, sudah tidak ada lagi orang-orang Aceh yang mengisi level pimpinan nasional. Padahal pesan indatu meminta orang Aceh bertarung di luar. Bertarung bukan berarti berkelahi, namun bersaing di luar Aceh.
“Saat ini yang muncul orang Aceh bertarung sesama orang Aceh,” ujarnya dalam orasinya yang juga dihadiri Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar.
Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar yang dimintai tanggapannya usai pembukaan Pra KPA tersebut mengungkapkan, sangat menyambut baik usulan Nazaruddin Syamsuddin untuk menjadikan jalan lintas selatan-timur Aceh menjadi jalan raya Ali Mughayatsah.
“Hal-hal seperti ini yang kita butuhkan. Hal ini nantinya akan kita sampaikan ke Pemerintah Aceh agar bisa dipersiapkan,” ujar Wali. (irn)