Tiga Bekal Ibadah Haji

Oleh: Dr. Suherman

Setiap muslim yang hendak menu­naikan ibadah haji pasti menginginkan ibadahnya dilaksanakan de­ngan sebaik-baiknya. Hal ini karena ibadah haji merupakan kewajiban yang hanya berlangsung sekali seumur hidup, yang belum tentu seseorang mendapat kesem­patan lagi pada tahun-tahun berikutnya. Manakala ibadah haji sudah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, diharapkan bukan hanya secara hukum ibadahnya sah dan diterima oleh Allah Swt. tetapi juga dapat menjadi haji mabrur sehingga dapat memberi penga­ruh yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Untuk bisa menunaikan ibadah haji dengan baik dan mendapat haji mabrur, maka setidaknya ada tiga bekal yang harus dimiliki dan diamalkan oleh calon haji.

Pertama, adalah takwa kepada Allah Swt. Haji adalah perjalanan menuju Allah Swt, suatu perjalanan yang sangat mulia dan Allah juga sangat memuliakan siapa saja yang betakwa kepada-Nya. Oleh karena itu setiap muslim yang hendak menunaikan ibadah haji sudah seharusnya membekali dirinya dengan ketaqwaan kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya :

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Dan berbekallah, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (QS.2:197).

Abu Hurairah r.a ketika ditanya tentang makna taqwa oleh sahabat yang lainnya, ia mengatakan bahwa makna taqwa seperti hendak berjalan di jalan yang banyak duri yang tajam, maka tentu dengan cara berhati-hati. Makna taqwa menurutnya adalah hati-hati terhadap dosa-dosa yang akan mengo­tori dan merugikan hidup serta meren­dahkan derajat kita di hadapan-Nya dan di tengah-tengah manusia. Uraian ini juga didukung oleh pendapat Abu Bakar Muhammad Ar-Rudzabari dan Dzun Nun Al-Mishri dalam Risalah Qusyairiyah bahwa taqwa adalah meninggalkan sesuatu yang dapat menjauhkan diri dari Allah Swt. Maka orang yang bertaqwa adalah orang yang tidak mengotori jiwa lahir dengan hal-hal yang bertentangan dan tidak mengotori jiwa bathin dengan sifat-sifat yang merusak niat dan keikhlasan. Sebagaimana pada ayat maka orang yang bertaqwa akan menghindari sifat rafats, fusuk dan jidal.

Bekal

Selanjutnya ada tiga sisi penting dalam kaitannya dengan taqwa sebagai bekal dalam menunaikan ibadah haji. Sisi pertama, adalah ikhlas kepada Allah dalam menunaikannya. Ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar bagi setiap amal di dalam ajaran Islam, dan termasuk yang terpen­ting dalam ibadah haji. Karenanya ibadah haji adalah ibadah yang berat secara fisik dan mental, memerlukan pengorba­nan waktu, tenaga dan dana yang besar. Sisi kedua dari taqwa adalah sabar dalam menjalankan ibadah haji. Sabar adalah menahan diri dari melakukan sesuatu yang dilarang Allah dan Rasul-Nya. Karena yang diharapkan dari menger­jakan suatu amal adalah ridha Allah Swt. Kesabaran dalam pemahaman se­per­ti itu meru­pakan sesuatu yang sa­ngat penting untuk dimiliki dalam pelak­sa­naan ibadah haji. Sehingga, jama’ah haji tidak mau merusak iba­dahnya dengan sesuatu yang dimurkai Allah Swt. Dalam ibadah haji, bisa terjadi perbe­daan pendapat dan salah faham antara sesama jama’ah. Kesabaran akan membuat jama’ah tidak mau memper­tajam konflik namun diselesai­kan dengan baik. Beratnya pelaksanaan ibadah haji bisa jadi membuat sese­orang jamaah men­jadi malas untuk melanjutkan pelak­sanaannya. Dengan kesabaran yang tan­pa batas akan mem­buat sese­orang tetap memiliki sema­ngat yang tinggi dalam meng­hadapi dan melewati semua kesulitan.

Sisi ketiga adalah berserah diri terhadap segala ketentuan dan kenya­taan yang terjadi. Ini merupakan sikap ketaqwaan yang sangat penting dalam melaksanakan ibadah haji. Ketentuan ibadah haji yang harus menggunakan pakaian ihram, thawaf, sa’i, wukuf, mabid di Muzdalifah, melontar jumrah di Mina dan sebagainya merupakan hal-hal yang bisa jadi tidak menye­nangkan secara fisik. Begitu juga de­ngan fasilitas seperti penginapan, ken­da­raan, makanan, dan sebagainya yang semula memiliki gambaran indah dan menyenangkan ketika sebelum berang­kat menunaikan ibadah haji, pada saatnya kadangkala tidak sesuai dengan kenyataan. Apalagi bagi mereka yang selama ini mengalami kehidupan serba mudah dan menyenangkan. Mau tidak mau semua itu harus bisa diterima dengan kelapangan hati. Karena kesal dan marah-marah merupakan sesuatu yang tidak penting, namun tetap saja evaluasi untuk perbaikan pada masa mendatang tetap harus dilakukan.

Bekal kedua yang harus dipersiap­kan oleh calon jema’ah haji adalah pema­ha­man yang memadai. Apapun yang dila­kukan seorang Mus­lim, apalagi ber­kaitan dengan ubudiyah yang sangat penting haruslah dilaksa­nakan dengan pema­haman yang baik dan benar. Sehingga apa yang dilaku­kan tidak taklid atau ikut-ikutan. Apalagi segala per­buatan manusia ada pertang­gung­jawabannya di akhirat kelak. Allah Swt berfirman sbb :

“Dan janganlah kamu mengikuti se­suatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta per­tang­gung­ jawabannya.” (QS. Al-Isra’: 36)

Paling tidak ada tiga aspek yang harus dipahami sebagai persiapan untuk melaksanakan ibadah haji. Aspek pertama adalah pemahaman terhadap fiqh ibadah haji, sehingga ibadah ini bisa dilakanakan dengan benar seba­gai­mana yang dicontohkan Rasul Saw. Pelaksanaan yang didasari pada pemahaman yang benar akan membuat seorang jemaah bisa tenang setelah melaksanakannya. Karena ia yakin sah dari segi hukum dan memang tidak salah dalam tata cara pelaksanaannya.

Aspek kedua adalah pemahaman terhadap makna-makna filosofis atau hikmah dari rangkaian pelaksanaan ibadah haji. Hal ini akan membuat pelak­sanaan ibadah haji yang menda­lam dan memberikan pengaruh positif sepanjang kehidupan sesudah pelaksa­naan ibadah haji. Pemahaman tersebut misalnya berihram bermakna siap meninggalkan segala bentuk yang diha­ramkan Allah dan Rasul-Nya. Thawaf bermakna ingin selalu berada dalam garis hidup yang ditentukan Allah Swtdan merasa dekat dengan-Nya. Sa’i berarti mau berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup secara halal. Wukuf di Arafah bermakna keharusan untuk selalu melakukan introspeksi diri. Mabit untuk menyadari bahwa syaitan begitu berbahaya, sehingga harus dilawan dan diatur strategi perlawanannya. Melontar jumrah adalah merupakan kebencian kepada syaitan dan ajarannya. Begitu­lah seterusnya hingga tahallul yang berarti mau melakukan sesuatu bila memang dihalalkan oleh Allah Swt.

Aspek ketiga adalah pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah pada tempat-tempat yang dikunjungi baik di Mekkah maupun Madinah dan sekitarnya. Pema­haman ini akan menyadarkan kita betapa menjadi Muslim tidak cukup hanya untuk diri kita sendiri. Tapi Islam harus disebar luaskan dan diper­juangkan penega­kan­nya dalam kehidu­pan pribadi, keluar­ga, masyarakat dan bangsa. Meskipun untuk itu seorang Muslim harus berhada­pan de­ngan kesu­litan, tantangan dan ken­dala-kendala besar sebagaimana pernah dialami para Nabi dan sahabatnya. Oleh sebab itu menjadi penting bagi setiap Muslim yang telah berhaji untuk mem­perkokoh semangat perjuangan dalam memper­juangkan nilai-nilai Islam.

 Bekal ketiga adalah bekal keperluan yang bersifat jasmani dan inilah umumnya yang selalu ditekankan oleh setiap KBIH kepada jama’ah bimbi­ngannya ketika akan berangkat. Bahwa setiap manusia tentu memiliki kebutu­han yang bersifat jasmaniah seperti maka­nan, minuman, pakaian dan seba­gainya yang harus dipenuhi semuanya. Dalam pelaksanaannya hal itu semua tentu harus didukung oleh dana yang cukup namun tidak berlebihan. Keper­luan jasmaniah adalah sesuatu yang manusiawi dan para jamaah haji akan merasa tenang jika kebutuhannya ter­sebut telah terpenuhi. Bahkan kebutu­han itu bukan hanya untuk dirinya namun juga untuk keluarga yang diting­galkannya. Selain itu bekal kesehatan jasmani juga merupakan sesuatu yang penting. Karenanya para jamaah haji harus mengkondisikan, menjaga atau memelihara dan mening­katkan kualitas kesehatannya. Ini semua merupakan sesuatu yang bisa diketegorikan seba­gai persyaratan mampu. Inilah tiga bekal penting yang harus dipersiapkan oleh

 setiap jama’ah, semoga semua tamu Allah akan mendapatkan banyak kemudahan dalam menunaikan dan menyelesaikan rukun dan wajib haji serta mendapat haji mabrur. Amiin.

Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi