Tari Gopuk Kian Lapuk

Oleh: Ifwanul Haskim

“Oooii..batang tuan batang cendano

batanglah kami

si ramo-ramo

Datang tuan

datanglah nyawo

oooiii mari bamain basamo-samo...”

Terdengar suara Bomo mengucapkan jampi-jampi disambut rentak gendang dua muka dan bunyi sarune. Bau kemenyan terasa menyengat hidung. Para penari bergerak teratur di atas gobuk sesuai irama.

Sementara itu Bomo (dukun dalam sebutan Melayu) mendekati gadis muda yang sedang sakit. Menyemburkan air ke wajahnya sambil terus berkomat-kamit membaca mantera. Seketika gadis muda itu berdiri dan ikut menggerakkan badannya mengimbangi penari, sedangkan Bomo mengiring dibelakangnya.

Begitulah suasana tergambar ketika kita menyaksikan pertunjukan ini. Suasana magis yang kental menimbulkan ketegangan emosional bagi siapa yang melihat. Di Batu Bara, dia dikenal dengan sebutan “Tari Membuat Ubat”, sedang di Bedagai dia bernama “Tari Gobuk”.

Tari Gobuk merupakan suatu kesenian Melayu yang hidup dan berkembang di Pesisir Bedagai. Secara administratif kenegaraan, Bedagai terletak di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai. Tari gobuk diyakini masyarakat Bedagai sebagai ritual pengobatan dapat menyembuhkan penyakit seseorang.

Sebagai nelayan pesisir, menggantungkan hidupnya pada dunia laut. Masyarakat Bedagai meyakini, ada kekuatan besar dimiliki oleh laut. Sebab itu harus ada kekuatan yang melindungi mereka dalam berkehidupan. Berkawanlah mereka dengan bangsa Jin. Jin atau makhluk ghaib ini mereka juluki Puako.

Ada budi ada balas. Perlindungan Puako ini, harus dibalas dengan jamuan atau sesajen pada setiap malam tertentu. Bila sang empunya lupa memberi jamuan Puako. Si Puako akan menitipkan penyakit kepada salah satu anggota keluarga, biasanya anak gadis. Agar penyakit itu sembuh haruslah diadakan jamuan untuk membujuk si Puako. 

Jamuan terdiri dari musik, penari wanita, penyerahan sesajen, dan menghanyut lancang (perahu). Musik yang disajikan termasuk dalam kajian musik etnis bersifat monoton dengan ritme dan melodi yang diulang-ulang. Instrumennya terdiri dari gendang dua muka, seruling, sarune, gong serta jampi-jampi (mantera) yang disenandungkan.

Di beberapa daerah, bunyi dihasilkan instrumen atau alat tertentu, diyakini memiliki kekuatan magis. Karenanya, instrumen seperti itu dipakai sebagai sarana kegiatan adat masyarakat. Begitu juga dengan musik yang dimainkan dalam kesenian tari gobuk. Bunyi-bunyian yang dihasilkan dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai sarana untuk memanggil Puako.

Tempat jamuan ditata seperti taman sedemikian rupa dengan menyusun gobuk (kendi), dihiasi dengan janur kelapa, dirangkai seperti bunga. Taman inilah menjadi tempat bermain Puako. Dayang-dayang (penari) dan si sakit. Setelah Puako puas bermain barulah sang Bomo memohon maaf. Bomo pun meminta kepada Puako untuk pulang dengan membawa serta penyakit yang dititipinya.

Melayu-Hindu

Suku Melayu seperti banyak diketahui, berkait-kelindan dengan syariat Islam. Bila ditilik dalam ritual Tari Gobuk ini, justru banyak terkandung budaya Hindu. Seperti membakar kemenyan (dupa dalam Hindu) dan pengucapan jampi atau mantra.

Agaknya ini terpaut pada sejarah peradaban Melayu pada waktu dahulu. Ahmad Dahlan, dalam Sejarah Melayu menjelaskan;

“Pada mulanya bangsa rumpun Melayu-Polinesia yang mendiami kawasan Asia Tenggara belum memiliki peradaban dalam urusan berkerajaan. Bangsa rumpun Melayu Austronesia, bermigrasi ke kawasan Asia Tenggara. Pada awal kedatangannya masih sederhana sistem pemerintahannya, dan hanya dipimpin raja-raja kecil”.

Lanjutnya, “Kemudian pendatang dari India memperkenalkan sistem pemerintahan lebih maju pada akhir abad pertama SM. Pendatang dari India, juga menyebarkan agama Hindu. Kemudian Buddha, sehingga penguasa dan rakyat kerajaan-kerajaan awal di Asia Tenggara mayoritas memeluk agama Hindu dan Buddha”

Agama Hindu dalam relung hati Melayu selama zaman berzaman sedikit banyak menyisakan bekas dalam tatanan hidup masyarakat Melayu. Hingga masuknya agama Islam di kerajaan-kerajaan Melayu seperti Champa. Ahmad Dahlan menjelaskan;

“Dengan banyak pedagang Arab masuk ke Champa sekitar abad ke-10. Agama Islam mulai dianut rakyat Champa. Kelak, agama Islam berkembang pesat. Kebanyakan orang Champa beragama Islam tetapi belum dapat meninggalkan sepenuhnya tradisi Hindu.”

Seni Lapuk

Maraknya dunia hiburan seolah menipiskan esensi sebuah ritus. Berkelang zaman, Tari Gobuk beralih bentuk dari sebuah ritual pengobatan menjadi sebuah pertunjukan teatrikal. Jika ritual mengutamakan fungsi, maka pertunjukan teatrikal menuntut pemahaman konsep-konsep keindahan.

Beralih tak berarti harus kehilangan suasana ritus. Tatanan bentuk sajian dalam Tari Gobuk ini tetap dipertahankan sebagaimana bentuk aslinya. Beberapa kali tari gobuk ditampilkan dalam berbagai acara seperti hari kemerdekaan, pesta adat atau penabalan gelar Sultan Bedagai.

Sayang, dalam pengamatan penulis sebagai salah seorang warga Bedagai, sejak tahun 2010 Tari Gobuk tak terlihat lagi. Seni pertunjukan tradisi ini, tampaknya harus kalah bersaing dengan pertunjukan populer seperti k-pop,j-pop, serta gangnam style dan harlem shake. 

Tari Gobuk seolah menjadi anak tiri dirumah ibu kandungnya sendiri. Budaya-budaya seperti Tari Gobuk ini tetap dimasukkan dalam definisi seni melarat. Seni kampungan, seni pinggiran, seni lokal yang tak layak dikembang, apatah lagi dijual. Bagaimana dengan Tari Gobuk? Akankah ia bertahan atau mundur secara perlahan? Lalu hilang. Tergantung kepada kita. Penulis; Sarjana Pendidikan Musik Unimed

()

Baca Juga

Rekomendasi