Oleh: Mikhael Kelaudius Sembiring.
Rama perlahan mulai membuka matanya di pagi yang tidak biasa itu. Matanya agak sembab, karena kekurangan tidur. Mukanya masih mengadah ke atas langit-langit kamar biasa yang berwarna putih polos, warna favoritnya. Tangannya mengarah pada sebuah benda kecil penting yang bernama handphone. Dilihatnya sudah jam delapan lebih beberapa menit, lalu diletakkannya kembali benda itu sambil merenung. Dia masih pikir-pikir tentang apa yang akan dilakukannya setelah menginjak umur yang kedua-puluh.
“Nggak terasa, ya. Sekarang, udah 20-an, tapi seperti enggak ada perubahan apa-apa. Enggak ada pencapaian luar biasa yang bisa dibanggain selama aku hidup dua puluh tahun lamanya. Heh...” , pikirnya sambil menghela nafas.
Tok... tok... tok… bunyi ketukan pintu.
“Rama, kamu enggak kuliah, Nak? Udah jam delapan lewat lo!” tanya ibu Rama sambil mengetuk pintu kamarnya.
“Iya, Rama kuliah, Ma! Sebentar lagi!” jawab Rama yang masih tidur menyamping.
Kamis 26 Januari 2006, bukanlah hari favoritnya. Dia lebih menyukai Senin, Rabu, Jum’at dan Minggu. Dia mulai berpikir kalau tahun 2006 bakal menjadi salah satu tahun terberat dalam hidupnya. Rama adalah orang yang suka berpikiran jauh ke depan untuk orang-orang seumurannya.
Dia suka memikirkan berbagai hal yang terjadi dalam hidupnya. Memaknai apa yang ada dalam kejadian-kejadian itu, serta menandai setiap pola hubungannya dengan kehidupan. Dengan melakukan hal seperti ini, tidak salah bila teman-temannya kerap menjulukinya sebagai “Orang Tua” - tentu dalam arti yang berbeda.
Tidak jarang, bila para kerabatnya sedang mengalami masa-masa sulit, mereka akan meminta saran darinya. Jika sekali waktu ia melihat salah seorang temannya berlaku tak seperti biasanya, da akan coba menyelami apa yang telah terjadi, lalu memberikan masukan-masukan yang mencerahkan mereka. Begitulah Rama di mata teman-temannya.
Dia lalu memakan sarapannya, mandi, berpakain, memanaskan mesin sepeda motornya sebentar, lalu pergi menuju tempatnya para pemikir, yaitu kampus. Dia orang terakhir yang memasuki kelas.
“Selamat ulang tahun ya, my best friend,” seru Jodi, teman dekat Rama.
“Iya, iya Jo. Ma kasih ya ucapanya.”
“Selamat ulang tahun ya, Rama.” tutur teman Rama yang lain, Hesti.
“Iya, Hes. Ma kasih udah ngucapin.”
Ucapan selamat ulang tahun ini pun didapat seketika oleh Rama dari banyak temannya yang lain. Di hari itu, ada salah seorang sahabatnya yang belum mengucapkan selamat ulang tahun padanya, bernama Andita.
Rama, seorang mahasiswa angkatan 2003, yang sekarang berada di semester keenam. Dia cukup berbeda dari kebanyakan teman sejawatnya.
Di saat mereka sibuk bersenda gurau dengan pasangan mereka masing-masing setelah pulang kuliah, dia sibuk ‘berkencan’. Kencan dengan berbagai literatur yang menjadi koleksi tua perpustakaan kampusnya. Hal-hal yang sifatnya abstrak atau konseptual menjadi sebuah topik yang menarik minatnya. Untuk dibahas dan dipikirkan, daripada hal-hal konkrit realistik yang membosankan.
Sebagai seorang manusia biasa, ada kalanya dia mengalami kejenuhan luar biasa. Terlebih ketika hendak melakukan sesuatu, yang akhirnya tidak dilakukannya.
Di saat seperti inilah, biasanya dia akan mengirim pesan singkat kepada Andita. Mereka memang bukan berada di kelas yang sama, tapi cara pikir mereka yang samalah mempertemukan mereka. Begitu pun, mereka memiliki beberapa perbedaan.
Andita adalah seorang yang periang, tidak muluk-muluk. Perduli dan perhatian terhadap orang lain, suka berpikiran jauh, serta yang paling penting, humoris. Rama juga seorang yang humoris, tapi sayang, guyonannya sering menjadi garing alias tidak lucu.
Tidak jarang, jangkrik yang senantiasa menemani kegaringan guyonannya, kini sudah lelah dan jarang melaksanakan tugasnya sebagai pemberi efek jayus. Ditambah lagi, mereka berdua pun, masih menyandang gelar Ch.S (Chronic Single).
Gelar langka yang disematkan pada mereka yang memutuskan menjadi pemain tunggal dalam sebuah ajang perlombaan yang bernama kehidupan. Rama sendiri sebenarnya memiliki ‘rasa’ untuk Ita (panggilan akrab Andita).
Andita-lah yang menjadi obat penghilang kejenuhan hidup bagi Rama. Hal ini yang ‘memaksa’ Rama untuk menyisihkan sebuah ruang khusus dalam hati dan pikirannya. Mereka berdua memang sahabat, namun bukan sahabat biasa atau seperti kebanyakan sahabat yang lain.
Ada sesuatu yang membedakan hubungan mereka ini dengan hubungan lain yang sejenis. Ketika mereka berdua bertemu, senyum yang mereka lontarkan satu sama lain terlihat sangat berbeda. Kebersamaan mereka menciptakan harmoni yang menghidupkan suasana. Dari yang biasa menjadi luar biasa. Begitulah ungkapan yang sesuai untuk menggambarkan keadaan ini.
Di waktu siang nan terik, cukup spesial, tidak seperti biasanya. Beberapa kali Rama mengirim pesan, tidak ada jawaban sama sekali oleh Andita. Entah mengapa, nuansa hari ini menjadi kurang menggairahkan baginya. Rama menjadi penasaran. Akhirnya, dia memilih untuk mendatangi rumah Andita.
Teng tong... teng tong..., teng tong... bunyi bel rumah Andita.
“Rama...” sahut ibu Andita sambil tersenyum.
“Tante..., Ita-nya ada?” tanya Rama yang juga sambil tersenyum.
“Wah... Ita baru aja pergi sama Denny.”
“Kalau boleh tahu, kemana ya, tante?”
“Aduh, tante juga kurang tahu persisnya mereka mau kemana, tapi yang pasti Ita bilang kalau dia mau beli sesuatu.”
“Oh gitu ya tante. Kalau gitu, saya pamit ya tante.”
“Kamu enggak mau masuk dan minum dulu ke dalam?”
“Ah, enggak usah, tante. Rama juga harus pergi sekarang.”
“Oh, ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya, nak Rama.”
“Ya, tante.”
Setelah pulang dari rumah Andita, Rama terus berpikir sambil mengendarai sepeda motornya. Dia perlahan menurunkan kecepatan laju kendaraannya dan masuk ke sebuah taman kota. Dia orang yang suka dengan pepohonan dan kesejukan.
Dia memakirkan motornya di bawah pohon telah menjadi suatu ‘ritual’ wajib. Dia berjalan menelusuri jalan-jalan kecil di taman sembari berpikir. Duduk bersila di atas sebuah bangku keramik, sambil membaca semua pesan singkat dari Andita yang pernah dikirim olehnya.
Dia berpikir ada kemungkinan Ita telah menjalin kasih dengan Denny, seorang teman dekat yang juga teman kelasnya. Ditambah lagi, dia kerap mendengar dari teman-teman Ita, kalau hubungan mereka berdua semakin lama semakin dekat. Belum lagi, Rama sudah tidak pernah mengirim pesan atau bertemu tatap muka dengan Andita selama kira-kira dua minggu. Hal ini yang mengajak Rama untuk menyimpulkan, Andita (mungkin) memang sudah menjadi milik orang lain.
Sore itu seakan menjadi awal titik baru hidupnya. Mulai saat itu, dia memutuskan untuk mulai berhenti memikirkan segala sesuatu yang terkait dengan Ita.
Sesampai di rumah, Rama dengan wajah lesu -hampir tak memiliki ekspresi- melihat sebuah kotak putih polos di atas meja belajarnya. Di atas kotak itu, terdapat juga secarik kertas putih polos tak bergaris yang dilipat dua sisi.
“From Andita” , begitulah yang tertulis di atasnya.
Dibacanya isi kertas itu.
“For the one who is special to me...,
Lama ya kita udah enggak ketemu. Aku enggak pernah nyangka kalo harus ngucapinnya lewat secarik kertas kaya gini. Ponsel aku tuh udah rusak sejak beberapa hari kemaren dan baru hari ini diperbaiki. Biasanya sih kalo udah begini, kamu bakal main ke rumah kan? Mungkin. Kalo kamu beneran ke rumah aku tadi siang atau tadi sore, kamu pasti udah tau aku lagi enggak ada di rumah. Jadi, aku tadi siang tuh nebeng sama Denny, teman sekelas aku, untuk pergi ke kampus bareng. Pulangnya, aku ke toko seluler sama temen-temen aku. Abis itu, aku sempetkan buat beli cake untuk kamu. Walau kita udah lama nggak ketemu dan sms-an, aku masih ingat ‘kan kapan kamu ulang tahun?
Dimakan ya kuenya... Oh ya, hampir lupa..., Happy Birthday, Rama...”
Setelah dibacanya tulisan itu, dia pun membuka tutup kotak kue itu. Dia tersenyum haru dengan mata berkaca-kaca saat melihat goresan “Happy 20” di atas topping-nya. Dengan gambar dua orang yang sedang bergandengan tangan di bawahnya.
Sebulir air mata pun jatuh di atas gambar tangan kedua orang itu. Hari itu pun menjadi hari yang sukar untuk tidak diingat oleh Rama, bahkan hingga hari ini.