Payung dan Lelaki Hujan

Oleh: Aisyah Haura Dika Alsa

“Sudah pukul tujuh. Sudah waktunya pulang.” Sara menatapku serius. Wajah teduhnya tetap teduh, meski rautnya direcoki banyak peluh, sebab memang sedari pagi sampai kini, kami mendekam berdua di perpustakaan. Menulis segila mungkin. Melarikan diri bersama dari penatnya omong kosong salah satu pengurus harian di organisasi internal kampus kami untuk sementara. Dan kalimat perintah menyuruh­ku pulang barusan adalah kalimat pertama­nya sejak pagi tadi.

Sara memang begitu. Ketika kesal, dia akan lebih memilih puasa berbicara. Maka kebetulan sedang tidak ada kuliah, kami sepakat untuk kabur dari rapat dan memati­kan handphone masing-masing. Menum­pahkan segala kesal, lara, amarah pada keyboard laptop yang telah baik hati menjadi saksi. Sebab, gibah dengan laptop tentu jauh lebih baik ketimbang curhat dengan teman sendiri tentang keburukan orang lain. Begitu katanya.

Sara tahu aku juga kesal. Maka dia meng­ajakku menulis tentang kekesalan masing-masing di laptop masing-masing. Menulis sampai puas. Keluar dari perpusta­ka­an hanya untuk makan siang dan lebih seha­ti­nya lagi, kami berdua sama-sama sedang didatangi tamu bulanan. Perdebatan kemarin, telah menimbulkan kekesalan di puncaknya. Meski tentu saja, hal itu biasa terjadi pada aktivis kampus.

 “Iya.” jawabku seadanya. Tetapi dengan senyum sumringah. Sebab, aku selalu merasa beruntung memiliki sahabat seperti Sara.

“Nginap di kosku aja kenapa sih?” Sara khawatir. Sara selalu seperti ini, ketika jadwal yang sudah mati-matian kuatur, untuk tidak pulang di atas pukul enam sore. Dan akhirnya, kerja kerasku membikin jadwal hanya untuk kulanggar sendiri. Menenggelamkan wajah di beberapa organisasi tentu bukan urusan yang gampang.

“Bukan sahabat Sara kalau takut sama malam!” jawabku dengan jawaban dan tingkah yang selalu sama, menjawab som­bong sambil mencubit pipi bakpaunya.

“Aku bosan dengan jawaban dan tingkah­mu yang sama melulu. Sudah sana, katanya sudah rindu dengan supir angkot!” usirnya merajuk.

“Assalamualaikum..” aku pamit sambil terus meminta pada Allah, aku ingin terus menjadi sahabat terbaik Sara sampai jannah.

***

Purnama mungkin lupa janjinya, malam ini padahal aku ingin dia terang. Ah, aku mengusir penyakit kufur ini. Harusnya, ketika hujan merona seperti ini pun, syukurku tetap harus membahana. Bukankah hujan selalu sama indah? Wangi dinginnya mampu meredam kepenatan napas.

Mira adikku satu-satunya telah menemui mimpi di kamarnya sendiri. Ibu sedang berusaha mematikan rindu, sedang sok ABG telponan sama Ayah yang kini bertugas di luar kota. Ya, sudah sebulan ini ayah ibu LDR. Pertama kalinya rumah sepi senyap tanpa kejahilan ayah.

Biasa ketika hujan, ayah akan selalu mengajakku ke lantai atas. Berdiri di depan jendela, menghitung butir-butir hujan yang singgah menemui kaca jendela. Tapi setelah itu, ayah sering akan pura-pura permisi entah kemana. Ternyata ketika aku turun ke lantai bawah, dengan santainya tanpa bersalah, ayah mengaku, “Ujan-ujan lebih anget sama ibumu.”    

Sebentar, mengapa di depan rumah tetangga depan yang kosong seperti ada yang berdiri sendirian? Kalau memang itu pemilik rumahnya, mengapa harus berdiri di depan rumah? Bulu kudukku pelan ikut berdiri. Aku yang sedari tadi duduk di depan jendela pintu rumah depan memberanikan diri untuk keluar. Rasa penasaranku melambung tinggi.

Kubuka pintu bersama bismillah, dan dapatlah lebih jelas siapa sebenarnya makhluk yang berdiri sendirian di garasi rumah kosong yang tak berpagar. Aku menebak pasti, karena lebat hujan, dia berhenti jalan dan sedang berteduh dengan beraninya di gang rumahku yang terkenal dengan angkernya. 

Kulihat kerudungnya lebar, memakai busana muslimah seperti yang biasa dipakai ibu dan Mira. Lalu, wajahnya setengah ditutupi masker. Hanya kelihatan sepasang matanya yang terus menatapi hujan. Seperti perempuan yang memakai cadar.

Gang rumahku ini terkenal sepi, kenapa aku tiba-tiba begitu khawatir dengan perempuan itu. Ingin memanggil Mira sudah tidur. Ingin memanggil ibu aku takut meng­ganggu. Maka, aku pun mengambil sikap.

***

Mentari siang ini, tak meninggalkan sisa apa-apa atas lebat hujan tadi malam. Bahkan air dalam jalan yang berlubang telah hilang di serap sengat mentari yang lebih ganas dari kemarin. Tanpa Sara, aku sendirian di perpustakaan. Selain memulangkan buku, aku juga tiba-tiba merasa ingin sendiri.

Aku seperti kehilangan arah. Rasanya gundah gulana. Seperti gejala yang akan mendatangkan sedih yang berkepanjangan. Bahkan dingin ac perpustakaan tak mampu membikin sejuk sesak dada. Memulangkan aku pada lampau yang sebenarnya masih kusetiai sampai kini.

Kemarin, saat pulang malam lagi dari kampus, ternyata di perjalanan hujan tiba-tiba meluncur dan kemudian menderas. Aku mengutuki diriku sendiri. Aku tidak pernah berani berinteraksi langsung dengan hujan, bahkan ketika harusnya dulu, anak seusiaku merengek pada ibu atau ayahnya untuk diizinkan bergelut memeluk hujan, aku hanya mengurung diri di rumah menonton televisi dengan tenang.

Aku benar-benar panik. Berdoa terus agar hujan cukup membasah lokal, tidak perlu sampai rumahku juga. Ternyata, tidak juga reda. Maka, janjiku kukuh mulai malam itu. Bahwa, tidak akan lagi pulang di atas pukul enam. Karena pun memang, aku ini perempuan. Meski sebenarnya di luar rumah tidak melakukan yang aneh-aneh, tetap saja aku perempuan timur yang tak boleh keterlaluan punya rasa nekat lebih dari lelaki. Apalagi, jika malam ditamui hujan.

Aku turun dari angkot. Kemudian bingung mencari tempat teduh. Rasa takut dan panik­ku semakin luar biasa. Aku terus menyebut asma Allah. Siapa lagi yang akan menolong jika begini. Aku kehabisan pulsa dan tidak kusangka, uang yang kugenggam hanya pas-pasan untuk membayar jasa supir angkot.

Sepasang kakiku terus mengajak jalan. Hingga akhirnya, aku melihat peluang untuk berteduh. Ada rumah kosong yang garasinya tak berpagar di gang yang biasa aku lewati. Rumahku sekitar 500 meter lagi. Aku memang biasa berjalan kaki, sebab tidak ada angkot yang masuk ke jalan rumahku.

15 menit kutunggu hujan mereda, tapi tetap dentumnya sama saja. Bukankah sebenarnya hujan ini indah? Kenapa aku tak pernah untuk suka?

Aku berhenti menatapi hujan. Kuamati rumah yang ada di depan. Aku tak sadar, ternyata aku tepat berhenti di depan rumah calon suami Sara. Sara pernah memberitahu, bahwa ternyata dia dikhitbah dengan tetang­ga jauhku. Tapi, aku tak kenal. Dan bulan depan, insya Allah akad akan terlaksana.

Ah, dalam ketakutan, aku cemburu pada Sara. Aku tak pernah bertemu calon kekasihnya itu, hanya mendengar dari Sara, insya Allah lelaki itu soleh, dan bonusnya, karirnya mapan serta banyak perempuan yang menilai lelaki itu tampan. Meski aku tahu, Sara tak akan berani blak-blakan berbi­cara rupa calon kekasihnya itu. Sara si pemalu dari gua bidadari. Biasa begitu dia kujuluki.

Kulihat sekilas, rumah calon suami Sara itu pintunya terbuka. Lalu, keluar lelaki muda yang wajahnya sangat kukenali.  Jantungku lupa pada laju detaknya yang biasa. Bergetar. Berguncang. Amat hebat. Aku memejamkan mata, berharap dapat menenangkan kekagat­an­ku sendiri. Entah harus gembira atau berprasangka lain.

Laki-laki itu, keluar dari teras rumahnya. Lalu membuka payung untuk melindunginya dari basah. Kemudian berjalan menuju pagar rumahnya yang rendah, keluar menyebrang jalan dan berjalan ke arahku. 

Aku ingin menangis rasanya saat ini juga. Lelaki ini, lelaki yang acap kali kutemui dalam mimpi-mimpi. Lelaki yang selama 5 tahun ini tak pernah lagi kulihat, yang selama 5 tahun ini kunanti dan kucari. Dan kini, dia berdiri di depanku. Mengulur senyum serta mengulur sebuah payung yang digenggam­nya.

“Ini pakailah payungku. Sudah malam dan sepertinya hujan masih lama redanya. Nanti, kalau lewat sini lagi. Boleh dikembali­kan ke rumah yang depan itu. Permisi.”

Bukankah, 5 tahun yang lalu, dia pernah melakukan hal ini juga padaku?

***

-Epilog-

Seragam putih abu-abuku sudah setengah basah. Atap halte bus yang kecil tak bisa melindungiku utuh dari air hujan. Aku harus berteduh lagi siang ini. Jam pulang ke rumah pun terpaksa diundur, perut yang meronta lapar pun kuelus-elus agar dapat bersabar.

  Hatiku berdesir. Sebab tiba-tiba, abang senior yang berjarak dua tahun di atasku, yang sering kuperhatikan diam-diam sedari awal masuk sampai akan naik kelas dua ini ikut berteduh di tempat yang sama denganku.

Ada beberapa kali, aku meminta izin keluar kelas hanya untuk lewat di depan kelas­nya. Dan terkadang, kudapati dia sedang serius mendengarkan guru menjelas­kan atau dia sedang presentasi di depan kelas, terkadang juga mengobrol dengan temannya.

Saat melewati depan masjid, selalu yang kucari sepatunya. Dan jika berhasil kutemukan, ada bahagia yang tidak dapat kujelaskan. Saat melewati parkiran, sepasang mataku akan selalu bergerak tanpa kuminta, untuk menemukan sepeda motornya. Lantas, senyum begitu saja mengembang di wajahku.

“Adek biasa pulang jalan kaki, kan? Rumahnya sekitar 500 meter dari sini, kan? Ini, pakai aja dulu payung Abang. Hari ini, Abang pengen main hujan.”

(Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)

()

Baca Juga

Rekomendasi