Oleh: Bambang Riyanto.
Siang itu, Jumat (11/11) puluhan mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU) tampak begitu antusias menelusuri 52 anak tangga yang curam dan licin. Mereka hendak melihat “kubah terbang” yang sejak dalam perjalanan menjadi bahan perbincangan.
Dalam bayangan mereka telah tergambar sebuah kubah masjid yang berbentuk bulat dan terdampar di atas bukit Desa Sigara Gara Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang. Kubah itu, konon kabarnya, terbang dari sebuah desa di Langkat. Cerita pun berkembang ke sana kemari, sang dosen yang menjadi pendamping hanya senyum-senyum kecil.
Sesampainya di atas, antusiasme mahasiswa berubah jadi kecewa. Tidak ada kubah terbang seperti dalam benak mereka. Yang ada hanya dua makam berkelambu kuning. Apa istimewanya? Protes seorang mahasiswa. Mendengar itu, sang dosen lalu menceritakan kisah dari “kubah terbang” yang telah lama menjadi mitos masyarakat Desa Sigara Gara, Patumbak.
Ternyata “kubah terbang” adalah sebuah panggilan dari seorang murid yang taat kepada gurunya. Dikisahkan, sang guru (yang namanya tidak dipublikasikan agar tidak menjadi bahan puji-pujian) mempunyai tujuh murid. Satu murid (yang kemudian dikenal dengan sebutan Syekh Kubah Terbang) adalah murid yang paling taat namun sedikit “bebal”. “Syekh Kubah Terbang, sebenarnya pintar, namun mudah lupa. Hari ini diajarkan huruf A, misalnya. Besok diajarkan huruf B, ia lupa bagaimana huruf A itu,” kata Dosen Antropolog Sastra Haryadi yang menjadi pimpinan rombongan fieldtrip.
Berdasarkan cerita masyarakat setempat, lanjutnya, suatu hari sang guru pergi dari Langkat dan sampailah ia di Desa Sigara Gara, sang guru kemudian meninggal di sana.
“Mendengar kematian sang guru, sang murid (Syekh Kubang Terbang berjanji akan selalu berada di dekat gurunya). Dan, ketika si murid meninggal di Langkat, tiba-tiba masyarakat mendapati makamnya telah hilang. Secara tiba-tiba muncul dekat makam sang guru di Desa Sigara Gara, itulah kenapa kemudian si murid disebut Syekh Kubang Terbang,” kata Haryadi yang mendapat cerita itu dari masyarakat setempat.
Mendengar cerita itu, para mahasiswa pun menjadi mengerti. Untuk mendapatkan cerita yang lebih lengkap, para mahasiswa kemudian dibagi menjadi lima kelompok. Mereka ditugaskan mewawancarai para informan yang telah disediakan. “Mereka diminta menggali data dan informasi sebanyak-banyaknya tentang kisah “kubah terbang” dan menyusunnya ke dalam laporan,” kata Sekretaris Jurusan Sastra Indonesia FIB USU, Haris Sutan Lubis.
Menginap di rumah warga di dalam Komplek Bumi Senang Damai Desa Sigara Gara, para mahasiswa itu kemudian menyusun daftar pertanyaan untuk diajukan ke informan esok harinya. Dari hasil wawancara, para informan mendapat cerita yang lebih beragam. “Begitu memang kalau tradisi lisan tidak terkodokumentasikan dengan baik. Banyak versi, banyak persepsi. Karena cerita itu hanya didapat turun temurun dengan penambahan dan pengurangan. Di sinilah pentingnya menelaah kisah “kubah terbang” ini,” kata dosen pendamping lainnya, OK Irwansyah.
Akbar, salah seorang mahasiswa yang mengikuti fieldtrip mengaku mendapat pelajaran dan pengalaman yang banyak dari kegiatan ini. “Persepsi kita soal kubah terbang meleset jauh. Tapi kemudian kami menjadi lebih tau kisah “kubah terbang” ini. Meskipun setiap informan memiliki informasi yang berbeda tapi ada satu benang merah yang bisa diambil,” katanya penuh antusias.
Dan siang itu, Sabtu (12/11) puluhan mahasiswa Sastra Indonesia FIB USU mengulangi “berziarah” ke bukit tempat Syekh Kubah Terbang dimakamkan berdekatan dengan gurunya. Meskipun lelah harus menaiki puluhan anak tangga yang curam, semangat mereka tak surut. Kini tak ada lagi kecewa, kisah “kubah terbang” telah mengantarkan mereka pada suatu penghormatan makam para ulama.
Kisah-kisah Syekh Kubah Terbang yang konon mendatangi orang-orang pilihan di Desa Sigara Gara dalam mimpi, dan yang dimimpikan kemudian mendapat ilmu mengobati orang sakit. Serta penghormatan yang tinggi kepada dua makam itu sebagai bagian dari peninggalan sejarah yang harus dilestarikan zaman berzaman, membuat para mahasiswa maklum: kisah Syekh Kubah Terbang bukan hanya sekadar mitos tanpa makna.