Oleh: Agustia Saputra. ACEH Barat Daya jauh hari sebelum kabupaten ini dibentuk telah dijuluki “Bumi Breuh Sigupai” atau Bumi Beras Sigupai. Tapi, beras yang dikenal dengan aroma khas dan kelezatannya itu kini kian langka. Pangan kebanggaan masyarakat Abdya yang termasyhur ini makin sulit diperoleh, bahkan nyaris hilang dari peredaran.
Sekarang, umumnya petani di kabupaten tersebut cenderung memilih benih padi varietas unggul seperti sigeulis, ciherang, inpari dan lainnya. Sangat jarang ditemukan petani yang menanam varietas Sigupai, padi lokal tersebut, atau membuat penangkaran khusus. Padahal, Sigupai adalah salah satu varietas yang pernah jaya pada masa Kerajaan Kuala Batu.
Bahkan, beras Sigupai bakal naik status dari pelestarian menjadi pengembangan sebagaimana varietas unggulan lainnya yang bisa dikembangkan di seluruh nusantara. Sayang, Yusrizal Razali, Bapak Penggerak varietas Sigupai yang juga Wakil Bupati Aceh Barat, telah tiada.
Namun, upaya itu terus berlanjut hingga saat ini. Pelestarian varietas ini sempat meningkat pada masa Yusrizal Razali menjabat wakil bupati. Varietas Sigupai juga sudah diakui Pusat Perlindungan Varietas Tanaman Kementerian Pertanian. Pada akhir 2013, Kementerian Pertanian memberikan sertifikat sehingga otomatis sudah mempunyai hak paten.
Menurut Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian dan Peternakan (Distannak) Abdya, Ir Hamdan, varietas sigupai telah terdaftar di Kementerian Pertanian sebagai varietas lokal Abdya dengan Nomor 60/pvl/2013. Sigupai terdaftar pada 18 November 2013.
Kini, daerah dengan potensi pertanian seluas 21.296 hektare, areal tanam 16.450 hektare dan cadangan areal 4.846 hektare itu sedang melaksanakan program tanam serentak. Segala fasilitas pertanian disediakan Dinas Pertanian dan Peternakan setempat
Ironisnya, bantuan benih padi kepada petani tidak memasukkan varietas Sigupai. Pemerintah Kabupaten Abdya lebih memilih varietas unggul lain.
Petani lokal yang dikenal paling gigih mengembangkan varietas lokal itu, Sulaiman, kepada Analisa, pekan lalu, mengaku prihatin atas kelangkaan sigupai di daerah kelahirannya.
Dia lalu mencoba bangkit demi mengembalikan citra beras ini yang kian hilang. Bersama sejumlah petani lainnya, mereka sepakat memilih benih Sigupai untuk dikembangkan dengan menanamnya di sawah mereka.
Ketertarikan Sulaiman dan petani lainnya terhadap benih padi Sigupai didorong keinginan mereka untuk melestarikan dan mengembangkan kembali padi warisan nenek moyang daerah yang menggenggam moto “Sapeu Kheun Sahoe Langkah”.
“Kita malu, saat daerah ini mendapat kunjungan dari wisatawan atau rekan-rekan dari daerah lainnya.
Ketika mereka ingin membawa pulang beras Sigupai sebagai buah tangan, ternyata tidak ada di pasaran atau di petani sendiri. Padahal, daerah kita ini dijuluki dengan sebutan Breuh Sigupai,” ungkapnya.
Diutarakannya, di samping rasanya enak, perawatan varietas padi lokal ini juga mudah. Hasilnya jauh lebih bagus dibandingkan varietas lain. Harganya juga jauh lebih mahal, bahkan bisa tiga kali lipat.
“Saya tidak mampu melakukannya sendiri. Untuk itu, mohon dukungan dari semua pihak, terutama pemda. Kita berharap pemda bisa membagikan benih Sigupai kepada masyarakat secara maksimal. Jangan cuma varietas lain. Promosikan produk asli Abdya. Jangan bangga dengan produk orang lain,” katanya.
Optimis
Kabid Produksi Distannak Abdya, Hamdan, mengaku optimis kalau padi Sigupai bisa terus berkembang.
Sebagai buktinya, saat ini varietas Sigupai masih ditanam petani. Jumlahnya memang tidak banyak. Pada musim tanam tahun ini terdapat seluas 45 hektare sawah di Kecamatan Susoh, Blangpidie, Jeumpa, Kuala Batee dan Tangan-Tangan yang menanam padi tersebut.
“Untuk musim tanam tahun ini, kami juga membantu petani dengan menyalurkan benih Sigupai. Harapannya, padi khas Abdya ini bisa kembali dinikmati masyarakat dan pengunjung yang datang ke daerah ini,” ujarnya.
Dikatakannya, upaya mengembangkan padi lokal ini juga terus dilakukan. Saat ini, tim ahli bidang pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh masih melakukan penelitian varietas tersebut agar umur padi lokal ini tidak terlalu lama dan bisa sama dengan varietas lainnya dengan tidak mengubah ciri khas Sigupai. “nsyiah mendukung program pengembangan sigupai ini,” tambahnya.
Akhir-akhir ini, secara perlahan petani padi setempat juga mulai mengembangkan padi Sigupai. Meski umur padi lokal ini lebih panjang dibandingkan umur padi varietas lainnya, yakni mencapai 125 hari, petani kemudian menyiasatinya dengan cara menanam lebih cepat supaya bisa dipanen serentak dengan padi varietas lain.
Bagi petani yang terbiasa menanam Sigupai, mereka akan terus terpikat membudidaya padi yang terkenal harum dan pulen ini. Kendati jumlah hasil panen rata-rata hanya 5,4 ton/hektare, namun dari sisi harga petani lebih diuntungkan. Biasanya padi Sigupai dijual Rp10ribu-Rp11ribu/kg. Sedangkan berasnya dijual dengan harga Rp25 ribu-Rp 30 ribu/kg.
“Musim tanam 2017, Distannak Abdya bersama petani akan terus berupaya memperluas lahan untuk menanam padi lokal ini. Sesuai rencana, luasnya akan mencapai 200 hektare,” demikian Hamdan.
Tampaknya, upaya menyelamatkan padi lokal yang dirintis Yusrizal Razali dan kini terus diperjuangkan oleh Sulaiman, mulai menampakkan hasil. Keterlibatan pemerintah mulai muncul. “Breuh Sigupai” tampaknya akan segera mengharum kembali.