Sang Pengayom Ronggeng Deli

Oleh: J Anto

GURU Besa dan dosen Program Studi Magister dan Doktor Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Prof. Dr. Tengku Silvana Sinar , MA merupakan anak kedua Pemangku Adat Kesultanan Serdang (alm) Tengku Lukman Sinar Basar­shah II, yang dikenal sebagai satu-satunya kesultanan yang mengakomo­dasi Ronggeng Deli atau Ronggeng Melayu. Berikut wawancara Analisa dengan doktor semiotika sosial dari Universiti Malaya tahun 2003 itu.

Analisa: Pada masa Kesultanan Serdang, Ronggeng Deli, diakomodasi pihak istana, benarkah? Terjadi pada masa sultan siapa dan tahun berapa?

Tengku Silvana: Sebelum menja­wab, saya jelaskan dulu sekilas sejarah rong­geng. Mengutip Tengku Luckman Sinar,  Ronggeng Melayu adalah tarian Melayu di Sumatera Timur yang tergo­long hiburan rakyat. Usianya sudah tua, telah disebut  dalam “Hikayat Hang Tuah” abad ke-15. Ketika itu alat musik yang diguna­kan sebuah gong, sebuah gendang dan  sebuah seruling atau bangsi. Orang Melayu Riau mengenal tarian ronggeng sebagai “menandak” (menari) atau berjoget, juga di Malaysia.

Catatan  pasti masuknya ronggeng ke Tanah Deli belum diketahui secara jelas. Ada dua sumber penting yang bisa dijadikan rujukan, yakni catatan John Anderson yang tiba di Deli tahun 1823 dan seterusnya mengunjungi kesultanan lain di Sumatera Timur. Dalam bukunya “Mission to the Eastcoast of Sumatra” (1826: 292), ia membuat laporan yang menjelaskan tentang tari-tarian rong­geng yang digemari masyarakat Deli dan Serdang. Lalu catatan kedua tahun 1885 tentang teater Melayu yang disebut “Bangsawan”, yang sangat populer di Istana Kesultanan Serdang. Setiap cerita yang dimainkan dalam teater, tari-tarian ronggeng atau joget senantiasa ditarikan. Dengan rujukan itu, menurut Tengku Sinar Lukman, Ronggeng sudah masuk ke Deli dan Sumatera Timur sebelum tahun 1823.

Analisa: Mengapa Ronggeng sangat populer di Kerajaan Serdang?

Tengku Silvana: Ronggeng semakin populer di Serdang pada 1903, saat Sultan Serdang V Tuanku Sulaiman Syari­ful Alamshah membuka proyek sawah (bendang) secara besar-besaran, dengan mendatangkan satu kapal orang Banjar dari Kalimantan Timur untuk mengerja­kan proyek sawah. Sejak itu  Kerajaan Serdang terkenal sebagai lumbung padi dan sampai sekarang.

Waktu itu, dalam keluarga Melayu melarang gadis-gadisnya menari bersa­ma di depan umum. Tetapi mereka boleh belajar seni musik, tari dan menyulam di rumah atau di ruang khusus di Istana Sultan Serdang. Penari ronggeng berpasangan dengan gadis-gadis penari suku Karo Dusun dan  Banjar yang sudah menjadi penduduk tetap di Kerajaan Serdang. Lama-kelamaan penari ronggeng menjadi sebuah profesi dan mereka diundang untuk mengisi berbagai acara. Dari sinilah awal lahirnya grup tari profesio­nal bernama “Ronggeng Banjar” dan “Ronggeng Karo”, sekalipun di Tanah Karo dan di Kalimantan Timur jenis tari ini tidak pernah ada sebelumnya.

Analisa: Lalu bagaimana perkem­bang­an Ronggeng selanjutnya?

Tengku Silvana: “Mak Inang” (matron) adalah pimpinan grup tari profesi­o­nal. Ia mahir dan terampil menari dengan tempo Mak Inang. Dalam menari rong­geng mereka mengimprovi­sasi pantun-pantunnya sesuai keadaan kegiatan yang dihadiri. Ronggeng menjadi makin populer dan digemari masyarakat Serdang. Mereka mengisi kegiatan hari besar dan acara setiap bulan di perkebunan-perke­bunan Suma­tera Timur. Dari tari hiburan rakyat “Mak Inang” ini, lahir kreasi menari sambil menggunakan media saputangan atau kain selendang.

Ragam Ronggeng makin bertambah seiring datangnya kaum perantau dari Minangkabau awal abad ke-20. Lagu “Kaparinyo” menjadi terkenal dan memberi pengaruh kepada para penari dan pemusik Melayu, sehingga tercipta gerak tari yang temponya lebih cepat dari tempo Mak Inang. Ciri-ciri irama ini menghasilkan gerak tari baru dina­ma­kan irama “Chek Minah Sayang”. Ronggeng sejenis ini memang khas di Deli dan Serdang dan tidak didapati di kawasan-kawasan Melayu di luar Sumatera Timur pada masa itu.

Analisa: Apa peran Kesultanan Serdang untuk kelompok Ronggeng?

Tengku Silvana: Menurut Tengku Luckman, ayahndanya Sultan Sulaiman sangat menggemari musik dan seni tari. Beliau pandai memainkan alat-alat musik, khususnya biola. Beliau memba­wa alat musik harmonium India dan meminta pemusik istana untuk menjadi­kan harmo­nium sebagai instrumen yang memimpin dalam mengiringi tari Ronggeng. Pemu­sik-pemusik Serdang sangat kreatif bersamaan dengan diper­ke­nal­kannya lagu-lagu irama India sebagai musik dalam istana, para penari istana diperkenalkan dengan tempo “chalti”. Musik dan tempo chalti inilah yang merupakan nenek moyang dari irama dangdut  Melayu yang sampai sekarang populer di tanah air.

Analisa: Apa kaitan Ronggeng dengan Serampang XII?

Tengku Silvana: Di istana, guru tari Angku Sauti mengajarkan tari-tari Ronggeng ini kepada masyarakat dan keluarga bangsawan. Engku Sauti dan Putera Mahkota Serdang, Tengku Rajih Anwar mengajarkan gerakan-gerakan tari Melayu yang halus dan gemulai.

Tari Senandung merupakan ciri-ciri tarian istana diiringi dengan berbalas pantun. Kemudian mereka mengajarkan tarian “Lagu Menari” dikembangkan dengan mempercepat tempo “Pulau Sari” (Serampang XII sekarang) dan dari tarian Mak Inang dipercepat temponya yang diikuti oleh gerak kaki ganda (double step) menjadi tari Chek Minah Sayang. Gerak tari yang bela­kangan ini ditarikan dengan mempergu­na­kan sapu tangan.

Analisa: Bagaimana perkembangan Ronggeng Melayu sekarang ini?

Tengku Silvana: Sejak tahun 1940-an, Ronggeng dipolakan dengan dua arah dan wanita serta pria menari berhadap-hadapan, rentak kaki merupa­kan gerakan primer sedangkan gerak tangan dan jari menjadi gerak sekunder. Pada 1954, Angku Sauti memopulerkan tari Serampang XII secara massal di Sumatera Utara sampai ke Pulau Jawa.

Gerakan-gerakan tari itu diperhalus oleh almarhum Putera Mahkota Ser­dang, Tengku Rajih Anwar. Sauti mengombi­nasikan ke-4 jenis tari-tari Ronggeng itu menjadi Tarian Melayu Empat Serangkai dimulai dengan tempo Senandung, kemu­dian tempo Lagu Menari (Tari Lagu Dua), disusul irama Mak Inang dan ditutup dengan Seram­pang XII. Atas jasa-jasa almarhum Sauti, tari-tari Ronggeng ini ditingkat­kan menjadi tari pergaulan nasional Indonesia dan dengan memopu­ler­kan secara massal di Suma­tera Utara dan di Jawa.

Sampai sekarang Serampang XII sebagai tari pergaulan masih disayem­bara­kan, namun hampir tenggelam dengan adanya tari pergaulan nasional dari daerah lainnya yang lebih populer dan sederhana. Tarian Ronggeng itu sebenarnya serasi untuk hiburan santai dan tidak perlu terlalu banyak gerakan dan perubahan pola lantai agar penari bisa berimprovisasi sendiri. Seperti awalnya ketika tari ini tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

()

Baca Juga

Rekomendasi