Indahnya Tradisi Maranggap

Oleh: Meyarni. Di masa lalu, kelahiran seorang anak dalam masyarakat Batak Toba, merupakan suka cita bersama. Tidak hanya ke­luarga, masyarakat satu kam­pung juga ikut bergembira. Setiap hari mereka datang untuk melihat si anak. Termasuk menggelar acara maranggap.

Maranggap adalah satu tradi­si dimana para tetangga berma­lam di rumah keluarga yang baru memperoleh anak. Dulu kegiatan ini bisa sampai satu minggu. Di hari terakhir maranggap akan di­tandai dengan makan bersama.

Selama maranggap mereka menggelar acara untuk menghi­langkan kejenuhan. Pada dasar­nya maranggap dilakukan untuk menemani keluarga itu. Maklum tidak seperti sekarang ini, per­sa­linan di masa lalu cukup melelah­kan. Termasuk setelah si ibu me­lahirkan perlu mendapat terapi khusus. Misalnya si ibu umum­nya marbara. Yakni mengha­ngat­kan tubuhnya dengan bara api. Hal ini dilakukan agar tulang dan persendiannya cepat sem­buh dan tidak keropos.

Ketika marbara si ibu harus dijaga ketat. Khususnya ketika malam. Bara api dipastikan tetap menyala. Maklum udara di kam­pung sangat dingin. Kondisi ibu yang baru melahirkan sangat ren­tan dengan iklim dingin. Dikha­watirkan si ibu menggigil, se­hingga berpengaruh kepada ke­sehatan dan ASI-nya. Begitu juga dengan si bayi. Meski sudah di­lampin dengan beberapa lapis ka­in, tetap juga harus berada da­lam ruang yang hangat.

Harus lebih diperhatikan adalah posisi tidur si bayi dan ibu­nya. Sering terjadi karena lalai, si bayi tertimpa ibunya sen­diri. Termasuk ada kasus ibu yang melempar bayinya karena dia bermimpi buruk. Untuk me­mastikan itulah, si ibu perlu di­temani secara intens. Setidaknya untuk beberapa malam. Me­mang itulah tugas suami yang pa­ling utama pasca istrinya me­lahirkan. Bukan berarti para keluarga lain lepas tangan.

Proses bersalin dalam tradisi masyarakat Batak Toba cukup unik. Sebelum sarana kesehatan memadai, persalinan biasa di­ta­ngani oleh si baso. Si baso adalah sebutan bagi seorang perempuan yang mempunyai bermacam ke­ahlian. Salah satunya dalam bi­dang persalinan.

Biasanya si baso juga memili­ki sejumlah pengetahuan yang tak dimiliki kebanyakan orang. Misalnya dia dapat meramal na­sib atau  menentukan hari-hari ba­ik. Bahkan adakalanya dia mam­pu berkomunikasi dengan makhluk-makhluk halus.

Setelah ibu melahirkan, si ba­so lalu memecahkan kemiri, me­ngunyahnya dan kemudian mem­berikannya kepada bayi. Tu­juannya untuk membersihkan kotoran yang dibawa bayi dari kan­dungan.  Juga membersihkan saluran pencernaan makanan da­ri kotoran pertama si bayi, yang disebut  tilan. Belakangan kemiri dipakai dalam ilmu medis untuk membersihkan kulit bayi yang ba­ru lahir.

Dia juga memilin benang ber­warna putih, merah, hitam untuk dijadikan kalung atau gelang. Ke­mudian membungkus bebe­ra­pa jenis tanaman obat, seperti jerango untuk dijadikan mainan kalung atau gelang. Beberapa ha­ri kemudian, dalam bungkusan itu, biasanya juga disimpan tali pusarnya. Kebiasaan melilitkan benang tiga warna pada anak ba­yi, masih bisa dijumpai seka­rang ini. Tidak harus dibuat se­cara khusus. Apalagi obat-obatan ini banyak dijual di pasar-pasar tradisional.

Begitulah, sesaat setelah si ibu melahirkan, informasi itu lang­sung menyebar ke seluruh pen­juru kampung. Pada masa lalu, penanda kelahiran bayi, ditandai dengan tradisi membe­lah kayu. Ketika tanda itu dilihat, segera orang kampung datang ber­duyun-duyun. Mereka turut menyambut kehadiran si anak di tengah-tengah kehidupan mere­ka.

Sejak hari itu, orang-orang di kampung langsung maranggap. Untuk mengisi kekosangan bia­sanya kaum laki-lakinya bermain kartu atau catur. Perempuan me­ngurus pekerjaan di dapur. Pada malam harinya, penjagaan di­lakukan secara ketat. Yang laki-laki dibagi atas beberapa kelom­pok. Mereka berjaga-jaga sepan­jang malam. Menjaga si ibu dan bayinya.

Ketatnya penjagaan terhadap si ibu dan bayinya tidak lepas da­ri keyakinan mereka. Masya­rakat Batak Toba di masa lalu, per­caya bayi yang baru lahir, ren­tan diganggu roh halus. Selain itu, dia kerap menjadi sasaran se­seorang yang sedang menuntut ilmu hitam. Karena itu, sesaat se­telah lahir, ari-ari  bayi harus di­tanam secara sembunyi-sem­bunyi. Jangan ada yang tahu. Karena tak jarang orang marang­gap untuk mencari tahu dimana ari-ari itu ditanam.

Biasanya ari-ari itu, dimasuk­kan ke dalam tandok kecil yang diayam dari pandan bersama 1 biji kemiri, 1 buah jeruk purut, dan tujuh lembar daun sirih. Ditanam dalam-dalam. Umum­nya ditanam di tanah becek atau sawah. Tujuannya agar si anak ke­lak sehat dan dilimpahi rezeki.

Termasuk kain yang dipakai si ibu ketika melahirkan. Kain yang bersimbah darah itu, harus benar-benar dimusnahkan. Ja­ngan sampai ada yang mengam­bil. Mereka percaya, bercak da­rah ibu yang melahirkan, mujarab bagi dukun yang sedang menuntut ilmu hitam.

Nilai-nilai

Sekarang ini, tradisi itu sudah tidak dilakukan lagi. Terutama di kota-kota yang persalinan biasa di­tangani dokter atau bidan.  Ke­nyataan ini ada sisi positif dan ne­gatifnya.

Sisi positifnya, persalinan le­bih praktis dan aman. Kesehatan ibu maupun anak lebih terjaga ka­rena dibantu oleh obat-obatan.

Sisi negatifnya adalah memu­darnya kebersamaan dalam ber­tetangga. Selain itu pengetahuan yang ada di dalam ritus itu, turut menghilang. Padahal tak jarang pengetahuan itu sangat logis dan sesuai dengan ilmu kedokteran. Hal inilah yang harus digali kem­bali dan diperbaharui dalam kon­teks yang lebih modern.

Seperti kita tahu, setiap bu­lannya, bayi yang ada di dalam kan­dungan mengalami proses pertumbuhan dan perkemba­ngan. Pengetahuan itu juga telah lama termuat dalam pengetahuan orang Batak Toba.

Contohnya, pada bulan 1 ada­lah proses menyatunya, benih roh dan rohani dengan jasmani dan kodrati Mulajadi Nabolon (Sang Pencipta). Pada bulan ke-2, Debata na Tolu hadir dalam di­ri janin. Kehadiran Debata  na Tolu, diyakini akan menjaga, me­rawat dan menuntun bayi serta ibunya. Kehadiran Debata na To­lu mengiringi proses yang terjadi di bulan-bulan berikutnya.

Dalam pengetahuan orang Ba­tak Toba, setelah sembilan bu­lan dalam kandungan, bayi akan mulai berputar mencari lubang untuk keluar. Kejadian ini berlangsung selama tujuh hari. Setelah hari ketujuh itu, diyakini pintu bumi akan terbuka dan bayi tersebut keluar.

Selama fase mengandung dan melahirkan itu, kita juga me­ngenal beberap ritus lain, yang kini sudah jarang dipraktikkan. Antara lain, mangirdak.

Mangirdak berarti memberi semangat. Kelurga istri datang dan memberi makan anak pe­rem­puannya. Biasanya ini dila­kukan pada fase tujuh bulanan. Dalam kesempatan itu juga di­berikan ulos tondi. Ulos tondi me­nyimbolkan kekuatan jiwa dan fisik. Khususnya bagi si ibu agar diberi kekuatan dan sema­ngat untuk menghadapi proses melahirkan.

Sesudah anak lahir, selanjut­nya akan digelar ritus mangha­roani, yakni syukuran karena si bayi telah lahir dengan selamat. Pada terminologi lain kerap di­sebut mamboan aek si unte. Air yang dibawa merupakan  simbol untuk memperlancar ASI.

Setelah hari ke-7, biasanya ju­ga akan digelar ritus martutu aek. Upacara memandikan bayi untuk pertama kalinya. Pada saat itu, nama bayi sudah bisa dita­balkan. Banyak lagi ritus selama fase mengandung dan  melahir­kan yang dulunya dijalani ma­sya­rakat Batak Toba. Semuanya sarat nilai-nilai dan logis. Tak da­pat dipungkiri, banyak di antara kita yang tak lagi tahu atau me­mang tak berniat melakukannya.

()

Baca Juga

Rekomendasi