Hari Keempat Imlek di Vihara

Ibadah Sambut Dewa Turun dari Langit

Medan, (Analisa). Hari keempat pada bulan pertama Tahun Baru Imlek (Cia Gwee Cee Shi), para pengunjung beribadah di vihara untuk menyambut kedatangan dewa dan dewi turun dari langit. Para dewa dan dewi turun dari istana langit ke dunia setelah selesai membuat laporan tahunan tentang perilaku baik buruknya suatu keluarga di bumi ke hadapan Raja Langit (Yik Wang Shang Ti).

“Hari keempat Imlek kita menyambut dewa dewi turun dari Langit ke dunia. Selain disambut dengan petasan, orang-orang Tionghoa biasanya juga mengundang Barongsai untuk masuk ke rumah mereka dengan harapan agar semua bisnis akan kembali normal,” kata salah satu pengurus Vihara Gunung Timur, Jalan Hang Tuah, Kecamatan Medan Polonia, Alwi Cholilluddin (62), Kamis (11/2).

Setiap tahun, orang-orang Tionghoa selalu merayakan hari keempat dengan bersembahyang di vihara. Alwi menjelaskan, sembahyang biasanya dilakukan sekitar tengah malam menjelang tibanya tanggal empat bulan pertama Imlek dan pada hari keempat itu sendiri. Hari tersebut juga biasa disebut sebagai Yang Ri (Hari Kambing). Dalam budaya Tionghoa, kambing adalah simbol dari keberuntungan.

Setelah kembali dari langit, para dewa dewi akan bertugas untuk mengawasi jalannya kehidupan manusia di dunia. Salah satu dewa yang disebutkan Alwi adalah Cai Shen, yaitu dewa kekayaan yang mendapat tugas memberikan ganjaran dan kekayaan kepada umat manusia. Upacara sembahyang ini juga disebut Upacara Membuka Gerbang Keberuntungan.

“Bila berkelakuan tidak baik, dewa tidak akan memberikan berkah dalam hidup manusia. Namun, hukumanlah yang akan diterima. Sementara itu, bila seseorang berkelakuan baik, maka berkah kebahagiaan melimpah di tahun baru akan diterima. Berkah itu dibawa langsung oleh dewa dari langit,” terangnya.

Ia menceritakan, dalam kepercayaan orang Tionghoa, untuk menyambut dewa dewi tersebut biasanya keluarga membersihkan rumah mereka dengan mengumpulkan semua sampah ke satu tempat dan membuangnya. Kegiatan itu melambangkan bahwa mereka membuang semua nasib buruk dan kemungkinan kemiskinan di tahun ini. Kemudian, mereka akan menyediakan kertas bergambar seekor kuda. Hal itu sebagai simbolik tunggangan dewa ke bumi. Selain itu, kedatangan dewa juga dipersembahkan buah-buahan, makanan, kue, hewan kurban, dan teh.

“Setelah persembahan itu, kami biasanya berdoa dengan menggunakan gaharu kecil dan lilin merah. Pertama berdoa kepada Tuhan sebagai wujud ucapan terima kasih atas berkah yang diberikan. Kemudian berdoa untuk dewa dan para leluhur sebagai wujud terima kasih atas jasa para leluhur,” jelasnya.

Di beberapa daerah pedesaan di Tiongkok Utara, tambah Alwi, orang akan menyalakan api di tongkat dan melemparkan tongkat ke sungai untuk memadamkan api. Hal ini untuk menunjukkan tidak akan ada bencana kebakaran dalam sebuah keluarga di sepanjang tahun. Pada hari keempat jugalah toko-toko di sana terakhir ditutup.

“Ritual tahunan ini digelar hanya setahun sekali. Harapannya, semoga dewa dewi yang turun dari langit membawa berkah dan perdamaian bagi seluruh umat di dunia. Namun, sangat disayangkan, sembahyang ini sudah jarang diketahui oleh generasi sekarang dan sudah jarang dilakukan di rumah-rumah. Kecuali di dalam keluarga yang masih kuat tata cara dan adat istiadatnya,” komentarnya.

Terpisah, menanggapi generasi muda yang tidak sembahyang pada hari keempat Imlek, Didi Husin (35) warga Jalan Gagak Hitam mengatakan keadaan tersebut karena memang ada warga Tionghoa yang merayakannya pada hari tertentu saja. Misalnya hari pertama, kedelapan dan kelima belas Imlek. 

“Memang tidak semua merayakan hari keempat. Ada yang langsung merayakan hari kedelapan atau langsung kelima belas. Ada yang memang kurang tahu secara lengkap adatnya. Jadi takutnya ada yang salah saat merayakan,” tutupnya. (dani)

()

Baca Juga

Rekomendasi