Melacak Jejak Sisa Kejayaan

Kesultanan Palembang

Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro

Benteng Kuto Besak merupakan salah satu magnet wisata kota Palembang. Benteng yang masih kokoh berdiri lokasinya ini tak jauh dari ikon Palembang lainnya sungai Musi, Jembatan Ampera, dan Masjid Agung.

Konon Kuto Besak adalah keraton pusat Kesultanan Palembang Darussalam, sebagai pusat kekuasaan tradisional yang mengalami proses perubahan dari zaman madya menuju zaman baru di abad ke-19. 

Terminologi Kuto Besak, KUTO yang berasal dari kata Sanskerta, yang berarti: Kota, puri, benteng, kubu (lihat 'Kamus Jawa Kuno - Indonesia', L Mardiwarsito, Nusa Indah Flores, 1986). Dalam bahasa Melayu (Palembang) tampaknya lebih menekankan pada arti puri, benteng, kubu bahkan arti kuto lebih diartikan pada pengertian pagar tinggi yang berbentuk dinding. Sedangkan pengertian kota lebih diterjemahkan kepada negeri.

Retno Purwanti, arkeolog dari Balai Arkeologi Palembang, menyebutkan, benteng sebenarnya merupakan bangunan keraton Palembang Darussalam. Sultan Bahauddin menamakannya Keraton Kuto Besak atau Keraton Kuto Tengkuruk.

Benteng Kuto Besak dibangun untuk menggantikan keraton lama, Benteng Kuto Lamo, yang disebut juga Keraton Kuto Tengkuruk atau Keraton Kuto Lamo, yang berlokasi persis di samping kiri. Keraton Kuto Tengkuruk lalu menjadi rumah tinggal residen Belanda. Saat ini, Keraton Kuto Tengkuruk difungsikan menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. "Benteng Kuto Besak satu-satunya benteng di Indonesia yang dibangun pribumi," kata arkeolog Retno Purwanti dari Balai Arkeologi Palembang,

Rekam Jejak Sejarah

Mengacu catatan sejarah di Balai Arkeologi Kota Palembang, benteng yang proses pendiriannya memakan waktu 17 tahun (1780-1797) ini dibangun atas prakarsa Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) I. Namun, Sultan Muhammad Badaruddin, putra SMB I sekaligus ahli waris takhta Kesultanan Palembang Darussalam, yang akhirnya membangun hingga meresmikan penggunaannya pada 21 Februari 1797. 

Tembok ini diperkuat dengan 4 bastion (baluarti). Di dalam masih ada tembok yang serupa dan hampir sama tingginya, dengan pintu-pintu gerbang yang kuat, sehingga ini dapat juga dipergunakan untuk pertahanan jika tembok pertama dapat didobrak (lihat LJ. Sevenhoven, Lukisan, ).

Pengukuran terkini mendapatkan ukuran yang sedikit berbeda, yaitu panjang 290 meter dan lebar 180 meter. Pendapat de Sturler mengenai kondisi benteng Kuto Besak: lebar 77 roede dan panjangnya 44 roede, dilengkapi dengan 3 baluarti separo dan sebuah baluarti penuh, yang melengkapi keempat sisi keliling tembok. Tembok tersebut tebalnya 5 kaki dan tinggi dari tanah 22 dan 24 kaki.

Menurut W. L de Sturler - Proeve Di bagian dalam di tengah kraton disebut Dalem, khusus untuk tempat kediaman raja, lebih tinggi beberapa kaki dari bangunan biasa. Seluruhnya dikelilingi oleh dinding yang tinggi sehingga membawa satu perlindungan bagi raja. Tak seorang pun boleh mendekati tempat tinggal raja ini kecuali para keluarganya atau orang yang diperintahkannya. 

Gudang Amunisi dan Peluru

Bangunan batu yang lain dalam kraton adalah tempat untuk menyimpan amunisi dan peluru .Pada saat peperangan melawan penjajah Belanda tahun 1819, terdapat sebanyak 129 pucuk meriam berada di atas tembok Kuto Besak. Sedangkan saat pada peperangan tahun 1821, hanya ada 75 pucuk meriam di atas dinding Kuto Besak dan 30 pucuk di sepanjang tembok sungai, yang siaga mengancam penyerang

Benteng Kuto Besak ini sebenarnya adalah keraton keempat dari Kesultanan Palembang. Pada awalnya keraton Kesultanan Palembang bernama Kuto Gawang dan terletak di lokasi yang sekarang dijadikan pabrik pupuk Sriwijaya. 

Tahun 1651, ketika Bangsa Belanda ingin memegang monopoli perdagangan di Palembang, keinginan tersebut ditentang oleh Sultan Palembang, sehingga terjadi perselisihan yang puncaknya adalah penyerbuan terhadap keraton tersebut. Penyerbuan yang disertai pembumihangusan tersebut menyebabkan dipindahkannya pusat pemerintahan ke daerah Beringinjanggut di tepi Sungai Tengkuruk, di sekitar Pasar 16 Ilir sekarang. 

Menurut Sejarawan Palembang Johan Hanafiah pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724 -- 1758) pusat pemerintahan tersebut dipindahkan lagi ke lokasi yang sekarang menjadi lokasi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. 

Selanjutnya pusat pemerintahan berpindah lagi ke lokasi yang baru, yaitu yang sampai sekarang dikenal dengan nama Kuto Besak (Hanafiah 1989).

Secara spesifik sistem pertahanan di Benteng Kuto Besak menunjukan bahwa pada saat itu Sultan Mahmud Baharuddin I telah memperhitungkan dengan cermat tentang bagaimana cara melindungi pusat pemerintahannya. 

Pendirian benteng yang berada di lahan yang dikelilingi oleh sungai-sungai jelas menunjukkan bahwa siapapun yang ingin masuk ke keraton sultan tidak dapat secara langsung mendekati bangunan tersebut tetapi harus melalui titik-titik tertentu sehingga mudah dipantau dan cepat diantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara lain seperti penyerangan mendadak.

Secara keseluruhan Benteng Kuto Besak berdenah persegipanjang dan berukuran 288,75 m x 183,75 m, serta menghadap ke arah tenggara tepat di tepi Sungai Musi. Di tiap-tiap sudut benteng terdapat bastion, tiga bastion di sudut utara, timur dan selatan berbentuk trapesium sedangkan bastion sudut barat berbentuk segilima. Benteng Kuto Besak memiliki tiga pintu gerbang, yaitu di sisi timur laut dan barat laut serta gerbang utama di sisi tenggara.

Tembok keliling Benteng Kuto Besak sendiri juga mempunyai keunikan, yaitu bentuk dinding yang berbeda-beda pada masing-masing sisi benteng, demikian juga dengan tingginya. Dinding tembok sisi timur laut mempunyai ketebalan yang sama, ketinggian dinding tembok bagian depan adalah 12,39 m sedangkan bagian dalam 13,04 m, sehingga bagian atasnya membentuk bidang miring yang landai. 

Tampak muka dinding sisi timur laut ini juga dihiasai dengan profil. Sama dengan dinding sisi tenggara, dinding sisi timur laut juga dilengkapi dengan celah intai yang berbentuk persegi dengan bagian atas berbentuk melengkung. Lubang celah intai tersebut juga berbentuk mengecil di bagian tengahnya.

Dinding tembok sisi barat daya mempunyai dua bentuk yang berbeda. Secara umum tembok sisi barat daya ini dibagi dua karena di bagian tengahnya terdapat pintu gerbang. Dinding tembok sisi barat daya bagian selatan mempunyai bentuk dimana bagian bawahnya lebih tebal dari pada bagian atas, yaitu 1,95 m dan 1,25 m tetapi bagian dalam dan luar dinding mempunyai ketinggian yang sama yaitu 2,5 m. 

Dinding tembok sisi barat daya bagian utara mempunyai bentuk dimana bagian bawah lebih tebal daripada bagian atas yaitu 2,35 m dan 1,95 m. Ketinggian dinding bagian dalam dan luar adalah 2,5 m.

Dinding tembok sisi barat laut memiliki bentuk yang hampir serupa dengan dinding tembok barat daya bagain selatan. Tebal dinding bagian bawah adalah 1,6 m sedangkan bagian atas 1,15 m. Ketinggian dinding adalah 2,25 m.

Menurut Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, ketahanan bangunan Keraton Kuto Besak sudah teruji selama Perang Menteng (1819) dan Perang Palembang (1821). Tahun 1821 itulah Keraton Kuto Besak dikuasai Belanda. 

"Ketika Belanda menghancurkan Keraton Kuto Tengkuruk tahun 1823, Keraton Kuto Besak tetap kokoh berdiri sampai sekarang," ujar Bambang. 

Saat ini keadaan Benteng Kuto Besak telah mengalami beberapa perubahan. Secara kronologi tinggalan-tinggalan arkeologi yang berada di Benteng Kuto Besak berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Belanda. Secara khusus tinggalan arkeologi yang berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam adalah tembok keliling dan pintu gerbang bagian barat daya; sedangkan tinggalan arkeologi yang berasal dari masa Kolonial Belanda adalah gerbang utama Benteng Kuto Besak dan beberapa bangunan yang terdapat di dalam benteng. Berdasarkan gaya arsitekturnya, bangunan-bangunan di dalam Benteng Kuto Besak diidentifikasikan bergaya Indis yang berkembang di Indonesia pada awal abad ke XX.

Aset Wisata

Sabrina Sabila dari jurusan wilayah dan Kota dari Undip dalam tugasirnya melakukan kajian Pelestarian kawasan Benteng Kuto Besak Palembang sebagai asset wisata. Menurut Sabrina perkembangan suatu kota tidak terlepas dari sejarahnya sehingga suatu kota pasti memiliki kawasan bersejarah dengan berbagai peninggalan pada masa lampau.

Salah satunya yaitu Kota Palembang. Perkembangan Kota Palembang berawal dari sebuah wanua (perkampungan) di pinggir Sungai Musi yang didukung dengan aktivitas perdagangan karena dipengaruhi oleh Sungai Musi sebagai jalur perdagangan.

Hal tersebut berpengaruh terhadap perkembangan zaman dari Kerajaan Sriwijaya, Benteng Kuto Besak yang merupakan peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam merupakan ikon dan warisan budaya yang bisamenjadi salah satu indentitas kawasan. Untuk itu kawasan ini harus dilindungi dengan peraturan daerah sebagai benda cagar budaya dan dapat dijadikan aset wisata sejarah.

Upaya pelestarian yang sesuai diterapkan di kawasan Benteng Kuto Besak sebagai aset wisata yaitu merevitalisasi kawasan baik secara fisik, ekonomi, dan sosial budaya agar dapat dikelola dan dikembangkan dengan fungsi baru atas pertimbangan ekonomi dalam upaya menyelamatkan bangunan dan lingkungan kawasan. 

Revitalisasi secara fisik dilakukan dengan pembuatan gapura penanda, tanaman sebagai peneduh dan estetika, sirkulasi kendaraan, parkir, pengaturan permukiman, papan informasi, penyediaan dan perawatan fasilitas pendukung, serta perawatan dan pembenahan bangunan peninggalan kolonial dan peninggalan kesultanan dengan rehabilitasi. 

Revitalisasi secara ekonomi dilakukan dengan pengaturan aktivitas perdagangan jasa, penyelenggaraan wisata belanja dan wisata kuliner, serta peningkatan upaya promosi dan penambahan informasi potensi kawasan.

Revitalisasi secara sosial budaya dilakukan dengan penyelenggaraan festival kebudayaan dan kesenian Palembang, wisata belanja dan kuliner dan festival musik yang diadakan rutin setiap sebulan sekali, menjalin koordinasi dan kerjasama yang baik antar stakeholder. Pengelolaan dan pengembangan kawasan dikelola oleh pihak swasta dengan membentuk badan pengelola, namun masih dibawah naungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang.

Adapun rekomendasi bagi pihak terkait khususnya pemerintah yaitu merumuskan kebijakan atau peraturan daerah mengenai perlindungan benda cagar budaya, menjalin kerjasama dengan pihak swasta dalam mengelola dan mengembangkan kawasan sebagai tujuan wisata sejarah dengan aktivitas pendukungnya, dan mengarahkan fungsi

Beralih Fungsi

Bangunan bersejarah ini saat ini kurang dapat dinikmati para wisatawan . Para pelancong hanya bisa menyaksikan Benteng Kuto Besak dari luar. Saat ini Benteng Kuto Besak dikelola Kodam Sriwijaya dan telah dialihfungsikan menjadi Kantor Kesehatan Kodam Sriwijaya dan Rumah Sakit A.K Gani. 

Saat ini w arga tak bisa leluasa masuk ke dalam benteng karena pintu masuk dijaga ketat aparat. Ari Siswanto, Arsitek Palembang ---yang kini sedang menempuh program dokotral di negeri jiran--- berpendapat sebenarnya menginginkan Benteng Kuto Besak dikelola pemerintah sebagai asset sejarah dan wisata. 

"Tujuannya rakyat bisa memasuki benteng. Tentu bukan untuk hal negatif, tetapi agar lebih dekat menyaksikan simbol kebesaran masa lalu," ujar Ari Siswanti yang juga bergiat di Palembang Heritage.

Sejarawan dan budayawan Djohan Hanafiah juga menilai pengembalian Benteng Kuto Besak dari militer kepada pemerintah sangat tepat. Untuk mewujudkan itu, Djohan bersama sekelompok masyarakat pernah berjuang mengembalikan bangunan itu kepada negara. 

Beberapa tahun lalu para pemerhati sejarah di kota Palembang sepakat mengembangkan Benteng Kuto Besak menjadi pusat informasi dan pariwisata, serta simbol sejarah kesultanan. " Pihak pemerintah sendiri terbentur dengan biaya perawatan, " ujar Ari Siswanto.***

()

Baca Juga

Rekomendasi