Lahan Rawa di Sumut Banyak Berubah Fungsi

Medan, (Analisa). Keberadaan lahan rawa di Sumut kian berkurang. Saat ini tinggal 41,46 persen yang baik dan bisa dikembangkan serta diolah dari 78.871 hektare. Soalnya banyak lahan rawa yang sudah beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit. 

“Dikhawatirkan Sumut bisa menjadi daerah pengimpor beras ke depannya. Karena banyak sekali lahan rawa sudah beralih fungsi menjadi kebun sawit. Kita tidak bisa mencegah hal itu karena sudah berlangsung cukup lama, dan itu lahan merupakan milik dan kewenangan masyarakat,” ujar Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Sumut, Dinsyah Sitompul, Jumat (11/3).

Dijabarkan Dinsyah, dari 78.871 hektare lahan rawa tersebut, yang menjadi kewenangan pemerintah pusat seluas 37.611 hektare, menjadi kewenangan provinsi seluas 26.846 hektare dan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota seluas 14.414 hektare. “Bahkan saat ini di Nias sama sekali sudah tidak ada lagi lahan rawa yang bisa dikembangkan,” ujarnya.

Tak hanya persoalan rawa, namun hal ini juga seiring dengan kondisi irigasi di Sumut yang hanya 62 persen dalam kondisi baik dari 423.405 hektare atau sebanyak 2.010 daerah irigasi yang ada. Hal ini disebabkan banyaknya lahan irigasi yang sudah beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit juga ditutup menjadi lahan perumahan.

Dijabarkan Dinsyah, dari 423.405 hektare irigasi di Sumut itu yang menjadi kewenangan Pemerintah pusat yakni yang merupakan daerah irigasi di atas 3.000 ha sebanyak 61.211 ha yang terbagi 11 daerah irigasi. Kewenangan provinsi Sumut dengan luas 1.000 ha hingga 3.000 ha sebanyak 86.999 ha dari 76 daerah irigasi. Sedangkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota untuk lahan di bawah 1.000 ha sebanyak 269.195 ha dari 1.923 daerah irigasi.

Dia melanjutkan, di daerah Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara dan Labuhan Batu Selatan, saat ini sama sekali sudah tidak ada lagi irigasi, karena semua lahan irigasi berubah fungsi menjadi kebun sawit. “Seperti di Rawa Ledong itu dari 20 ribu Ha lahan irigasi sekarang hanya tinggal 3.000 ha, bahkan ada daerah yang dulunya memiliki 1300 Ha hingga 1400 Ha lahan irigasi saat ini sama sekali sudah beralih fungsi,” jelasnya.

Padahal, katanya, kalau dari perhitungan perekonomian lebih menguntungkan petani menanam padi dari pada sawit. Sebab, petani yang hanya memiliki lahan tidak sampai 1 Ha tentunya tidak akan dapat memperoleh keuntungan yang baik kalau menanam sawit, sementara kalau dia menanam padi dengan 1 Ha saja bisa menguntungkan sekitar Rp70 juta per tahun.

“Saya pernah melakukan penelitian kecil soal ini di tahun 2001, kalau menanam sawit 1 Ha keuntungannya satu tahun paling hanya Rp18 juta, itu pun harus menunggu 5 tahun dulu setelah tanam. Kalau bertani dalam setahun bisa dua kali memanen dari 1 Ha bisa peroleh keuntungan Rp70 juta. Lagi pula petani kita juga kan tidak begitu banyak yang memiliki lahan lebih dari 1 Ha, kalau menanam sawit di atas 5 Ha baru terasa keuntungannya, tentu itu para pengusaha sawit yang modalnya besar,” jelasnya.

Oleh karena itu, Dinsyah mengatakan untuk tahun ini pihaknya berupaya mencapai target agar di tahun 2018 fungsi irigasi di Sumut itu sudah mencapai 90 persen dalam kondisi baik. 

Sehingga dalam pra musrenbang Sumut tahun 2016 ini, pihaknya berupaya mendapatkan masukan dan mencari solusi dari 10 unit pelayanan teknis PSDA ke masing-masing daerah terkait untuk pengembangan rawa dan pemeliharaan irigasi.

Selama ini kata Dinsyah, pihaknya sudah berupaya memelihara irigasi di daerah seperti di Tapanuli Tengah di tahun 2015 awalnya irigasi di daerah Mambang Boru sudah beralih fungsi, karena masalah air yang tidak sampai ke sawah, namun pihaknya berupaya untuk mengembalikan mengatasinya dan sekarang fungsi irigasi di sana sudah kembali baik.

Selain itu pihaknya juga melakukan pengamanan dan perbaikan sungai di Aek Siali Tukkah dengan melakukan perkuatan tebing dan perbaikan saluran irigasi sepanjang 200 meter. Termasuk pihaknya melakukan normalisasi dan penanganan muara Aek Sirahar sepanjang 6 Km. Begitu juga penanggulangan pengamanan muara sungai Aek Doras dan muara sungai Sibuluan karena kondisinya kritis sebab banyak bantaran sungai yang beralih fungsi menjadi permukiman.

‘Kami berupaya kembali memelihara lahan irigasi di Tapteng, karena masyarakat di sana 80 persen merupakan petani, kalau hal ini tidak dilakukan bisa jadi ke depannya beralih fungsi juga sama halnya seperti daerah lain,” terang Dinsyah.

Menanggapi hal ini, Direktur Walhi Sumut, Kusnadi banyaknya lahan rawa yang beralih fungsi menjadi kebun sawit ataupun permukiman akan berdampak terhadap lingkungan, di mana dengan keberadaan lahan rawa dapat menjadi penahan air sehingga menjaga siklus air di daerah tersebut. 

Tapi kalau sudah terjadi alih fungsi maka akan menimbulkan potensi kebakaran yang tinggi dan sulit untuk mengatasinya.

“Sedangkan untuk lahan irigasi harusnya meski lahan merupakan milik masyarakat, tapi sudah ada aturan dalam UU Perlindungan Lahan Pertanian dan Berkelanjutan bahwa lahan yang dialiri sistim irigasi itu tidak boleh dialihfungsikan, di beberapa provinsi hal ini juga sudah ada perdanya,” terang Kusnadi.

Oleh karena itu lanjut Kusnadi untuk mengatasi hal ini, maka ada beberapa insutrumen yang bisa dilakukan, selain menjalankan aturan UU, pemerintah daerah juga dapat memikirkan fungsi ketahanan pangan, jangan sampai dengan tidak adanya lahan rawa dan irigasi Sumut menjadi pengimpor beras. “Instrumen kebijakannya bisa saja pemerintah mengambil alih lahan tersebut dengan membelinya dari warga sebagai fungsi menjaga ketahanan pangan. Instrument lainnya pemerintah bisa menerapkan pengawasan dan aturan bahwa lahan bisa saja dijual oleh masyarakat tapi tetap diawasi agar tidak dialihfungsikan, tentunya peran pemerintah kabupaten/kota sangat diperlukan dalam hal ini,” paparnya. (nai)

()

Baca Juga

Rekomendasi