Oleh: Agung Suharyanto
JUM’AT, 04 Maret 2016, sekitar pukul 16.00. Di depan gedung Bank Mandiri/Lonsum Medan, ada sebuah peristiwa yang menarik perhatian. Adanya pertunjukan musik di jalanan, ditambahkan adanya pembagian makanan kecil yang terbungkus rapi kepada pengendara yang lewat. Peristiwa ini menambah macetnya lalu lintas di jam orang pulang kerja.
Spanduk terbentang dengan latar belakang putih bertuliskan BOEMIPOETERA dengan warna merah menyala. “Tak Rela Mati Karena Makanan Asing, Tak Sudi Terhina di Negeri Sendiri”. Demikian bunyi sepanduk itu.
Mereka menyuarakan kuliner tradisional Dodol Pulut Tanjung Pura, sebagai produk lokal yang perlu diperhatikan. Ini menjadi sebuah peristiwa budaya yang menarik untuk sebuah wacana tentang identitas lokal, kuliner, perlawanan dan kapitalisme global.
Identitas dan Kuliner
Identitas dapat diartikan dengan sesuatu hal. Ditandai dengan ciri-ciri yang sifatnya individual, personal dan bisa saja terkait dengan jati diri dari objek tertentu.
Objek tertentu ini kemudian diberi label atau nama, sehingga bisa membedakan serta sekaligus menyamakan satu dengan yang lainnya. Objek yang sama ciri-cirinya menjadi satu kelompok sama, sehingga sekaligus membedakan dengan kelompok lain.
Membicarakan identitas menjadi sangat jelas dan nyata ketika dikaitkan atau diidentifikasikan dengan satu objek yang unik. Objek unik yang dijadikan wakil bagi identitas untuk mampu memberikan kesan mendalam dalam proses imajinasi seseorang. Bisa saja sebuah peringatan akan peristiwa yang sudah terjadi, ataupun dari proses perjalanannya yang terdapat kesan atau citra yang terpancar, terkait erat dengan objeknya.
Apakah kaitannya antara identitas dengan kuliner yang hanya membicarakan sebuah masakan dan makanan? Kuliner bisa menjadi salah satu contoh dari keragaman, sehingga setiap daerah memiliki cita rasa tersendiri.
Keragaman khas dari satu daerah, bisa menjadikan kuliner sebagai sebuah identitas bagi lokalitas daerah sekaligus nasional.
Kuliner lokal bisa menjadi identitas yang membedakannya dengan kota lain. Hal ini sangat tergantung dengan keunikan yang melekat pada kuliner di kota tersebut. Tiap-tiap kota, mempunyai ciri kuliner tersendiri. Tentu saja dilihat dari kelanggengan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentuknya.
Pada tataran interaksi seseorang, kuliner bisa digunakan untuk mengkategorikan dirinya dengan orang lain. Jenis kuliner akan bisa membuat dirinya berbeda dan mampu memberikan kesan dalam sebuah proses imajinasi manusia. Imajinasi yang menciptakan kesan tersendiri dalam perjalanannya dan tidak sekedar wujud kulinernya semata.
Hal ini terkadang menjadi salah kaprah pada para penguasa. Penguasa berpikir praktis. Menciptakan identitas suatu kota cukup dengan membuat “landmark’ semata. Meninggalkan sebuah sense untuk menjadikannya berbeda bagi ikon identitas. Ini bisa diwujudkan, salah satunya dengan kuliner lokal yang khas.
Perlawanan dan Penyelamatan
Sebagai warga Medan Sumatera Utara, sangat bangga ketika berbicara dengan orang lain, bahwa kita punya bermacam kuliner yang khas. Misalnya Bika Ambon, Sirup Markisa, Bolu Gulung Meranti, bahkan Roti Ganda di Siantar. Inilah yang menyebabkan, orang yang berasal dari kota lain, belum tentu mempunyai keunikan atas kuliner di kotanya.
Menjadi perhatian utama dalam pembicaraan ini, kuliner itu sendirilah yang membutuhkan perhatian sama untuk dijaga dan dilindungi.
Dia perlu diselamatkan dari ancaman kepunahan, baik karena masuknya masakan dan makanan dari luar yang secara global. Di sisi lain, hadirnya makanan asing sedemikian menjadi momok yang sangat menakutkan sebagai pembunuh makanan tradisional.
Demikian juga dengan Dodol Pulut Tanjung Pura. Sudah mulai meredup eksistensinya, dengan masuknya makanan siap saji dari produk kapitalisme global. Padahal jika diperhatikan, dari sisi higienis pembuatan, Dodol Pulut Tanjung Pura tidak bisa dibandingkan dengan makanan asing.
Di Negaranya sendiri makanan asing tersebut hanya menjadi sampah (junk food) dan instan dalam pembuatannya. Berbeda dengan dodol yang melalui proses bertahap dengan bahan alami yang sudah turun temurun diwariskan oleh pendahulunya.
Melihat kondisi ini, beberapa komunitas di Medan menjadi prihatin. Boemipoetera bersama beberapa komunitas lain seperti Kenduri Kopi, Orang Indonesia, Pariwisata Sumut, Komunitas Sendal Jepit dan lain-lain, tidak tinggal diam. Mereka menggelar kampanye dengan pertunjukan musik jalanan dan pembagian dodol untuk bisa langsung disantap kepada pengendara yang lewat.
Hal ini mereka lakukan untuk mengajak masyarakat untuk menjaga, mengkonsumsi, mencintai dan melindungi serta melestarikan kuliner lokal. Dengan melakukan hal tersebut, secara otomatis mendukung industri kecil, khususnya pembuat kuliner tradisional. Kampanye ini menjadi sebuah penguatan bagi kearifan lokal bagi masyarakat untuk tetap memilikinya.
Dodol Pulut Tanjung Pura mempunyai berbagai kelebihan, mulai dari sisi rasa, kenikmatan, higienis dan alamiah.
Dia tidak kalah dengan makanan asing dari produk kapitalis global, karena memiliki gizi yang cukup dan kalori yang seimbang. Dodol bukanlah makanan dibuat secara instan, dan bukan sesuatu yang “ndeso dan kampungan”, tidak ngetrend, dan enggak lifestyle.
Alasan persoalan kemacetan dan menjaga ketertiban lalu lintas, pihak berwajib menyarankan untuk menggeser lokasi dan hanya sampai pukul 17.00. Lokasi bergeser ke depan Rumah Sakit Tembakau Deli di Jalan Puteri Hijau dan tetap berjalan dengan tertib dan lancar.
Pergeseran ini tidak berlaku pada Dodol Pulut Tanjung Pura yang menjadi icon bagi peristiwa budaya ini. Dodol menjadi symbol perlawanan terhadap makanan produk kapitalisme global.
Salam #boemipoetera ‘ikuti zamanmu, jangan tinggalkan budayamu’.
Penulis; Staf Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIPOL Universitas Medan Area Dan Pemerhati Seni Budaya