Membincang Fikih Adzan

Oleh: H. Rahmat Hidayat Nasution, Lc

Tak seorang pun di dunia ini yang tak mengenal azan. Mau muslim atau non muslim pasti kenal dengan istilah adzan. Bagi muslim sendiri, ketika ingin mengumandangkan azan harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Sebab, adzan dalam Islam tergolong ibadah. Punya nilai pahala bila mengerjakannya. Malah ulama fikih sepakat, jika dalam melagukan dan mengiramakan adzan kedapatan menambah atau mengurangi huruf, baris, tanda panjang dan pendek, hukumnya makruh. Namun jika sampai menyebabkan perubahan arti yang membuat keraguan, maka itu diharamkan. 

Khilafiyah Tata Cara Adzan

Mengenai tata cara adzan, Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjabarkan berdasarkan empat sifat yang masyhur, yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, antara lain: Pertama, adzan cara penduduk Madinah. Yaitu, membaca takbir 2 kali dan membaca syahadatain 4 kali (2x syahadat tauhid dan 2 kali syahadat Rasul). Sedangkankan yang lainnya dibaca 2 kali, 2 kali. Sementara, Imam Malik dan sahabat-sahabat yang lain memilih membaca syahadatain 2x: pertama dengan suara rendah, lalu membaca kembali dengan suara tinggi.

Kedua, adzan cara ulama Mekah, sebagaimana yang diikuti oleh Imam Syafi’i. Yaitu, dengan membaca takbir 4 kali, syadatain 4 kali. Sedangkan yang lainnya dibaca 2 kali-2 kali. Ketiga, adzan cara ulama Kuffah, sebagaimana yang diikuti oleh Imam Abu Hanifah. Yaitu dengan membaca takbir awal 4 kali. Sedangkan yang lainnya 2 kali-2 kali. 

Keempat, adzan cara ulama Basrkah, sebagaimana yang diamini oleh Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirrin. Yaitu, dengan membaca takbir awal 4 kali, syahadatain 3 kali, hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falah 3 kali. Dimulai dengan asyhadu anla ilaha illallah sampai dengan hayya ‘alal falah, kemudian mengulang kemblai empat kalimat (syahadat tauhid, syahadat rasul, hayya alash shalah dan hayya alal falah) secara berturut-turut. Selanjutnya mengulang kembali kalimat-kalimat tersebut untyk yang ketiga kalinya.

Menjadi pertanyaan sekarang, apa yang menyebabkan timbulnya perbedaan tata cara adzan tersebut? Sebabnya adalah, dikarenakan masing-masing memegang hadits yang dapat dijadikan alasan serta diperkuat dengan amalan tentang hal tersebut di kalangan mereka sendiri. Berbasarkan fenomena ini, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa cara-cara adzan yang bermacam-macam tersebut hanya untuk dipilih, bukan untuk diwajibkan salah satunya.

Mengenai bacaan ash-shalatu khairum minan naum yang diucapkan dalam adzan shalat shubuh, sebagian ulam membolehkan untuk diucapkan. Sedangkan sebagian ulama yang lain termasuk Imam Syafi’I berpendapat, bahwa kalimat itu tidak termasuk adzan yang disunnahkan, hanya saja kalimat tersebut diucapkan pada masa khalifah Umar bin Khaththab. 

Perihal Hukum Adzan

Bagaimana hukum adzan sebenarnya? Para ulama kembali berbeda pendapat dan pandangan mengenai apakah wajib atau sunnah muakkad? Hal ini karena diragukannya adzan, apakah sebagai salah satu bacaan sebelum shalat yang telah ditentukan atau sebagai sarana untuk berkumpul? 

Dalam hal ini, para ulama terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama melihat adzan sebagai suatu kewajiban secara mutlak didasari alasan bahwa adzan diwajibkan tidak hanya kepada individu, tetapi juga kepada jamaah. Kelompok kedua memahami adzan sebagai seruan berkumpul untuk mengerjakan shalat. Sehingga kelompok kedua berasumsi bahwa adzan disunnahkan di mesjid-mesjid dan diwajibkan di tempat berkumpulnya jamaah. 

Dari sinilah, jika kita mendengar adzan yang dikumandangkan sebanyak satu kali atau dua kali dari mesjid-mesjid saat shalat Jumat bukanlah suatu masalah karena masing-masing memiliki dasar dan alasan yang kuat. 

Lalu, bagaimana hukum adzan bagi wanita? Menurut riwayat Imam Baihaqi dengan sanad yang sah, berkata Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, ‘Tidak (boleh) mengadakan adzan bagi kaum wanita’. Pendapat ini diperpegangi oleh Anas, Hasan, Sirrin, Naskhi, Tsauri, Malik, Abu Tsur dan para ulama lainnya.

Sedangkan Imam Syafi’I dan Ishaq berpendapat bahwa adzan bagi perempuan tidak ada salah. Hal senada juga dicetuskan oleh Imam Ahmad dengan mengatakan, ‘Jika mereka (kaum perempuan) mengumandangkan adzan tidak apa-apa, dan jika tidak mereka lakukan juga boleh’.

Histori Munculnya Adzan

Kapan sebenarnya adzan disyariatkan? Bagaimana prosesnya? Adzan mulai ditetapkan di kota Madinah pada tahun kedua Hijriyah. Ketika itu, Rasulullah SAW sedang memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang-orang Islam untuk mengerjakan shalat berjamaah di Masjid Nabawi yang telah nama dipergunakan. Awalnya para sahabat menyarankan kepada Beliau untuk memancangkan bendera ketika waktu shalat telah tiba. Saran tersebut tidak diterima Rasulullah SAW. Sebab dinilainya kurang mengena dan kurang pas.

Lalu ada yang mengusulkan untuk menggunakan terompet. Rasulullah SAW juga menolaknya. Sebab hal ini lazim dipakai oleh orang-orang Yahudi. Ada juga yang menyarankan pakai lonceng. Ini juga tidak diamini Rasulullah SAW, karena itu perbuatan orang-orang nasrani. 

Salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang bernama Abdullah bin Zaid bin Abdi Robbin turut prihatin memikirkan seruan untuk shalat. Dalam suasana hatinya yang gundah tersebut, ia pulamng ke rumah dan tertidur. Di dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu seseorang yang mengajarkannya kalimat-kalimat adzan. Keesokan harinya, ia buru-buru menemui Rasulullah SAW dan menceritakan mimpinya. Mendengar mimpi sahabatnya tersebut, Rasulullah SAW segera menyuruh Bilal bin Rabbah untuk mengumandangkannya. 

Seruan adzan yang berasal dari mimpi sahabat Rasulullah SAW adalah rahmat dari Allah SWT kepada umat Islam sebagai tanda kesempurnaan dan keridhaan-Nya terhadap agama Islam. Sebab mengenai mimpi inilah Rasulullah SAW bersabda, “Mimpi yang baik datangnya dari Allah, sedangkan mimpi yang buruk datangnya dari setan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Penulis adalah penulis buku “70 Pesan Terakhir Rasulullah SAW untuk Muslimah” terbitan Citra Media Pustaka Yogyakarta

()

Baca Juga

Rekomendasi