Oleh: T Agus Khaidir
MINGGU pagi dan Zainuddin Malik bin Haji Zulkifli alias Udin Porkas, Bapakku, meninggal dunia, dan kampung kami dilanda geger. Desis bisik sejumlah orang di majelis taklim menjalar cepat. Kematian Bapak disebut su’ul khotimah -mati dengan akhir yang buruk. Kupingku panas. Terlebih-lebih hatiku. Apa pulak mau dikata? Orang sekampung sudah lama paham perangai Bapak. Faktanya, dia memang dijemput maut di lapo Mak Len, lepas tengah malam tadi.
Kematian sangat tiba-tiba. Menurut para parlapo, pengunjung tetap kedai minum Mak Len, saat itu kemeriahan baru dimulai. Racikan cocktail kelas jelata (Topi Miring+Extra Joss+Sprite+susu putih+es batu). Mengiringi pedendang-pedendang pilihan menyuarakan lagu, belum sampai susut setengah teko. Tukang gitar masih segar-bugar. Masih semangat merambas senar. Bahkan sebenarnya, Sapu Tangan na Maraek, lagu wajib Bapak di manapun dia berdendang, belum tuntas benar dilantunkan.
Para parlapo bersaksi, saat menggeber nada tinggi dengan lagak Jack Marpaung, Bapak tiba-tiba tercekik. Terbatuk-batuk sebelum tersungkur tak bangun lagi. Menumpang becak Wak Yanis, suami Mak Len, mereka sempat melarikannya ke rumah sakit. Tiga jam lebih dirawat di ruang gawat darurat, dokter menyerah.
Bukan ini perkara utama yang mencuatkan kegegeran. Mati di kedai minum saat sedang tenggen, mabuk berat, bukanlah peristiwa pertama yang dialami warga kampung kami. Banyak kematian lain yang lebih ganjil dan memalukan. Kematian Bapak memang jadi cerita yang lebih seru, karena banyak bumbu bisa ditambahkan kepadanya.
Geger diawali teriakan dari dalam tenda yang diberdirikan di samping rumah. Mbah Partono, 80 tahun, satu-satunya bilal mayit di kampung kami, terbirit-birit keluar tenda. Dia tadinya sedang mempersiapkan keperluan-keperluan untuk memandikan jenazah. Wajahnya yang penuh kerut ketuaan, memucat, putih menyerupa kapas.
“Matanya..., matanya...,” kata Mbah Partono dengan nada bicara terbata-bata. Dadanya yang tipis naik turun cepat. Seorang tetangga datang membawa segelas air putih.
“Tenang dulu, Mbah. Minumlah dulu,” katanya. Para takziah lain dalam sekejap telah mengerumuni Mbah Partono. Lelaki yang juga nazir di masjid kampung kami ini cepat menyambar gelas yang disodorkan padanya. Lantas mereguk dan menandaskan isinya dalam sekedipan mata. Saat menyodorkan kembali gelas itu kepada si empunya, tampak betapa tangan Mbah Partono masih gemetaran.
“Apa yang terjadi, Mbah?” tanya seseorang.
“Matanya.”
“Iya, Mbah. Mata siapa?”
“Mendiang.”
“Kenapa matanya?”
“Hilang!”
Orang-orang langsung berhamburan ke dalam tenda. Berselang detik, jerit-pekik terdengar bersahutan. Saudara-saudaraku -akak, adik, sepupu, makcik, uwak, dan kerabat lain- segera bertangisan-tangisan. Heran, terpukul, barangkali bercampur takut juga. Sebagian dari mereka kemudian ikut histeris melihat Mamak, Ibuku, mendadak semaput.
* * *
Aku tahu, atas kabar kematian Bapak, banyak yang diam-diam tersenyum. Mengucap syukur lantaran merasa doanya terkabul. Pernah kudengar sendiri seorang perempuan tetangga kami menyumpah-serapahi Bapak. Waktu itu Bapak sedang jadi buah bibir setelah tersiar kabar. Dia kawin lagi dengan seorang gadis kencur, masih 18 tahun, belum lama tamat sekolah.
“Apalah yang dilihat perempuan-perempuan itu dari dia. Ganteng tidak. Tegap tidak. Dibilang kaya pun tidak. Keretanya Honda buruk-buruk, kap benjol 70.
Kalau pun naik yang agak cantik sikit, pastilah itu kereta pinjaman. Sudah begitu suka mabuk dan main judi pulak. Masih agak patenlah kalau sering menang. Ini tidak. Sepengetahuanku, pasang togel pun jarang tembus. Heran kali aku, bah!” katanya.
Gadis kencur itu istri kesembilan Bapak.
“Kasihan aku lihat Kak Lena. Bolak-balik dimadu. Kalau aku nggak tahanlah, Jang. Minta cerai aku. Pasti! Atau sekalian kusembelih barangnya, supaya mampus dia,” ujar perempuan yang lain.
Aku ingat, perempuan ini, kemudian datang langsung pada Mamak, mengusulkan beberapa cara untuk membalaskan sakit hati. Meski khasiat-khasiatnya berbeda, ada yang sekadar bikin kepala tengleng sampai yang terkapar mampus. Cara-cara ini punya satu kesamaan tabiat: tak kasat mata. Polisi dijamin tidak akan bisa berbuat apa-apa.
“Kakak pasti puas kalau lihat Abang itu mati dan barangnya hilang.”
“Hilang bagaimana?”
“Iya, hilang.”
“Kayak di-sunglap?”
“Alah, kakak ini. Kampungan kali kulihat. Bukan sulap bukan sihir, Kakakku. Ini ilmu bukan sembarang ilmu. Macam mana? Pokoknya tanggung beres. Dia ini dukun langgananku. Belum pernah gagal. Maharnya pun tak mahal. Kalau Kakak mau, kita mainkan.”
Mamak hanya menggeleng. Kemudian, bukan hanya perempuan itu, juga hampir seluruh perempuan di kampung kami, menyebutnya goblok. Mau saja ditipu-tipu bapak.
“Kalau dengar lakiknya yang kurang ajar itu kawin lagi, Kak Lena merepet-repet, menangis, menyumpah-nyumpahi. Sama kita dibilangnya mau menggugat cerai. Tengoklah, sampai sekarang tak ada. Cuma cakap-cakap.
Kalau Abang itu pulang, diterimanya juga. Hilang merepetnya. Hilang nangisnya. Bingung aku. Dibilang goblok, tidak. Sekolahnya lebih tinggi dari awak. Kalau disebut pandai pun kayak begitulah, lebih-lebih orang paling bengak,” kata perempuan tetangga kami yang lain.
Sebagian kecil yang memilih tidak mengata-ngatai, tidak mencibir atau melontar ejek. Malah menunjukkan sikap yang kerap membuat Mamak menangis. Empati berlebihan. Mereka, rata-rata menunjukkan sorot mata iba tiap kali bercakap-cakap atau bahkan saat sekadar melihat Mamak melintas.
Sebenarnya bukan hanya para tetangga. Kami pun berulangkali dibikin heran. Pernikahan terakhir bapak, ke 14, sebelas bulan lalu, sudah membuat kami sampai di depan meja Pak Gelowo. Pengacara yang masih terhitung paman ini, bersedia mengurus perceraian Mamak dan Bapak. Cuma-cuma.
Seperti sebagian besar anggota keluarga kami, ketidaksukaan Pak Gelowo pada Bapak juga sudah tak tertanggungkan. Sebelumnya, atas pengaduan Mamak yang disampaikan dengan gestur sangat memilukan dan membuat semua orang yang mendengarnya menangis. Rapat keluarga memutuskan pernikahan yang centang-prenang ini mesti disudahi.
Heboh kembali berakhir dengan cara paling hambar. Hanya pengulangan 13 rencana cerai sebelumnya. Bapak pulang, bersimpuh memeluk erat kedua lutut mamak, lantas menangis meraung-raung mengaku salah dan menyesal dan persoalan selesai.
“Kalian tidak akan pernah mengerti. Aku yang menjalani pernikahan ini selama berpuluh tahun. Aku yang merasakan senang dan sakitnya. Benar, aku sudah berkali-kali tersakiti. Dalam pernikahan, kadang-kadang cinta dan benci bisa saling bertukar tempat.
Semuanya kemudian jadi sulit dijelaskan. Begitu juga hubungan Mamak dan Bapak kalian,” kata Mamak saat suara-suara kekecewaan keluarga, juga tetangga, sampai ke telinganya.
Pada dasarnya aku percaya Mamak berkata jujur. Aku juga yakin kejujuran ini tidak sepenuhnya terbit dari hatinya. Aku menduga ada dorongan lain yang membuatnya selalu menerima dan memaafkan kesalahan Bapak.
Sekali dua kali, barangkali, masih bisa dimaklumi. Masih masuk akal. 13 kali? Ah! Kelewatan! Kukira Tuhan tidak menciptakan manusia seperti ini. Para sutradara dan penulis skenario sinetron paling konyol sekali pun tidak.
Dugaanku menguat setelah pada satu malam, kira-kira tiga bulan lalu, Tok Awang datang bertamu. Dia saudara jauh kami. Bersepupuan dengan nenekku. Secara resmi profesinya peternak unggas dan agen tanah. Dia juga tak kalah banyak mendapatkan uang dari nasihat-nasihat yang diberikannya pada orang-orang bermasalah. Tok Awang konon punya kepandaian menerawang dan menyembuhkan penyakit yang tak terdeteksi pengetahuan medis.
Dari ngalor-ngidul yang kemudian sampai pada tujuan. Sepetak tanah warisan keluarga yang ditawar cukong dari Singapura, percakapan Tok Awang dengan Mamak dan para uwak, bermuara ke Bapak. Menurut Tok Awang, Bapak bermulut manis. Adalah matanya yang lebih membuat dia disegani.
“Mata yang kejora. Cemerlang bersinar laksana purnama pada 15 hari bulan. Nian indah tiada berperi. Siapapun yang menatap matanya akan tunduklah pada tiap kata-katanya. Tidak pernahkah kalian menyadarinya?”
Jadi, semacam ilmu pengasih? Tok Awang menggeleng.
“Lebih daripada itu, sebenarnya. Dia terikat perjanjian.”
“Perjanjian? Perjanjian bagaimana, Pak? Dengan siapa?” tanya Mamak.
“Wah, bagaimana, ya. Saya belum menerawang sampai sejauh itu. Jika ingin, nantilah, bisa kita atur waktu. Pastinya, sepanjang pengetahuan saya, tiap-tiap perjanjian pasti menuntut tumbal. Entah diri bersangkutan atau keturunannya.”
Tok Awang menghentikan informasinya sampai di sini.
* * *
Seperti kusampaikan di depan, bukan kematian Bapak di lapo Mak Len yang mencuatkan geger. Pula bukan persaksian Mbah Partono. Itu hanya awal.
Geger melanda kampung setelah dua biji mata Bapak ditemukan Mamak dalam rebusan air yang baru matang dijerang untuk membikin kopi.
Mamak pingsan lagi. Bisik-bisik mendesis lagi. Dugaan-dugaan mengemuka. Sejumlah orang dicurigai dengan beragam teori dan alasan. Tentu saja, tidak ada satu kecurigaan pun yang mengarah padaku.
Iya, aku, satu-satunya anak laki-laki yang lahir dari seluruh pernikahan Bapak. Anak laki-laki yang tidak kunjung dewasa. Anak laki-laki yang mesti mengenakan celemek sepanjang hari. Liurku yang tak berhenti menetes, hingga menginjak usia 30 bahkan tidak pernah bisa fasih untuk sekadar memanggilnya Bapak.
Medan, Agustus 2014-Januari 2016