Atap Limas dan Ventilasi Lebar

Jejak Arsitektur Rumah Belanda di PTPN2

Oleh: Rhinto Sustono

LAHAN subur di Tanjung Morawa pernah menjadi bagian dari area perkebunan Belanda. Untuk mengelola perkebunan, sudah pasti ada ‘Toean Londo’ yang mengurus dan bertempat tinggal di kebun. Karena itu, orang-orang Belanda pun mem­bangun rumah tinggal.

Keterbatasan data dan minimnya penelitian, membuat jejak peninggalan rumah Belanda di Tanjung Morawa jadi terabaikan. Padahal, di kawasan Puri Triadiguna PTPN2 ini masih menyisakan sejum­lah bangunan yang masih orisinal dan khas arsitektur Belanda.

Bangunan Kantor Koperasi Karyawan PTPN2 di dekat Simpang Kayu Besar, Tanjung Morawa bekas rumah ‘Toean Belanda’ tidak bernasib baik. Satu dekade silam, tulisan ‘Anno 1906’ yang menem­pel pada dinding atas depan gedung, dimusnahkan sejalan renovasi untuk kantor sebuah bank BUMN.

Tidak seperti gedung Tembakau Deli, Menara Air Tirtanadi, gedung Kantor Pos Besar dan sejumlah peninggalan Belanda lainnya di Medan yang dikenal secara luas. Sehingga sejumlah bangunan tua bersejarah itu terjaga kelestariannya.

Sulit menelisik tahun pembangunan Kantor Direksi PTPN2 Tanjung Morawa. Seperti kehilangan sejarah, kantor itu pun sudah beberapa kali mengalami renovasi. Menurut seorang staf  humas di BUMN itu, Rahmad Kurniawan, bangunan lama milik Belanda (dulu) yang kini dijadikan perkantoran, sejak tahun 1947 sudah hancur.

Pada tetengger di komplkes kantor itu tertulis kalimat, “Pada Bulan Februari 1947 di Tempat ini adalah Markas dan Asrama Batalyon Pertemputan Resimen II Divisi IV Gajah II, di Bawah Pimpinan Komandan Batalyon Kapten Trisno Mardjunet dan Kepala Staf  Letda Agus Salim Rangkuty. Tanggal 27 Juli 1947 Dibumihanguskan pada Saat Penyerbuan Belanda ke Front Medan Area Selatan dan Tanjung Morawa”.

Rumah Belanda

Hidup menjadi tuan di negeri jajahan, membuat orang-orang Belanda merasa nyaman dan makmur. Untuk memanjakan diri, mereka pun membangun rumah mewah yang besar. Padahal di negaranya, ka­rena keterbatasan lahan, mereka hanya bisa mem­bangun rumah menjulang ke atas.

Ada beberapa karakter khas dari bangunan rumah Belanda di tanah jajahannya yang kita kenal. Pada banyak literatur, karakter arsitektur Belanda dikategorikan pada dua bagian, era 1902-1920-an yang dipengaruhi para kaum liberal di negeri Belanda untuk menerapkan politik etis di tanah jajahan. Sejak itu, pertumbuhan pemukiman orang Belanda bergerak cepat dan mengalahkan “indische architectuur”.

Sebagai gantinya, muncul standar arsitektur moderen yang berorientasi ke negeri Belanda. Tidak ubahnya sebuah bangunan rumah yang kini masih utuh dan masih orisinal di kawasan Puri Triadiguna, sekira 300 meter ke belakang dari kantor PTPN2. Rumah yang dibangun tahun 1906 ini, dulunya berjajar dengan perumahan karyawan.

Kini rumah  di lokasi yang dulunya dikenal sebagai ‘Komplek Kampung Keramat’ itu, hanya berteman dengan dua bangunan rumah Belanda lainnya. Di sisi barat ada sebuah rumah memiliki bentuk bangunan sama dan di sisi utara yang becirikan rumah Belanda masa 1920 -1940-an.

Ditempati seorang karyawan pimpinan bersama keluarganya, bangunan rumah yang sudah berumur lebih seabad ini masih terawat. Hanya beberapa lembar atap ubinnya yang sudah rusak digantikan material kecil berbahan kaleng. Kekhasan rumah Belanda ini,  memiliki bangunan utama yang luas, tiga bagian atap berbentuk limas, banyak ventilasi, jendela yang lebar, dan tiga pilar bulat yang kokoh menyangga bagian beranda.

Mengarah ke utara berjarak 150-an meter, persis bersebelahan dengan penangkaran rusa, berdiri dua bangunan kokoh terpisahkan kolam Puri. Masing-masing rumah Belanda ini, kini menjadi rumah dinas dirut dan rumah direktur SDM.

Gaya Campuran

Kedua rumah yang dibangun pada 1939 itu, menjadi saksi jejak arsitektur rumah Belanda di era kedua (1920-1940-an). Kelak fase perkembangan arsitektur di tanah jajahan ini dikenal sebagai “ekletisisme” (gaya campuran).

Gaya campuran dalam perkembangan dunia arsitektur Belanda itu, muncul karena adanya gerakan pembaruan, baik nasional maupun internasional di Belanda. Belakangan, hal itu turut memengaruhi arsitektur kolonial di Indonesia. Menariknya lagi, arsitektur baru pada babakan 1920-1940-an ini kerap dikolaborasikan dengan kebudayaan arsitektur tradisional Indonesia.

Nuansa baru pada gaya campuran ini, juga berorientasi untuk memberi ciri khas pada arsitektur Hindia Belanda di tanah jajahan. Kondisi iklim tropis dan khasanah arsitektur tempatan dijadikan sumber untuk pengem­bangan model rumah Belanda di Indonesia.

Kokoh dan elegan, tentu saja. Rumah dinas Direktur SDM yang dibangun di atas bukit landai dan dikelilingi pepohonan di tepi kolam yang beriak tenang, seakan berdiri menggapai awan. Bangunan berlantai dua dengan level sudut-sudut presisi, men­jadi penanda batas antar ruang satu dengan lainnya.

Karakter khas rumah Belanda ini, memiliki pilar di beranda bagian depan dan belakang, atap limas yang diterakan menjadi ciri rumah tropis untuk memudahkan jatuhnya curahan hujan ke bawah. Bahkan sisi ujung atap seolah menjadi serambi menge­lilingi bangunan untuk mengantisipasi hujan dan sinar matahari. Begitu juga pada ‘nok acroterie’ (hia­san puncak atap), dominasi cat putih, serta ven­tilasi  dan jendela yang lebar.

Meski tampilannya terkadang menghindari kese­im­bangan simetri untuk tujuan keseimbangan estetis, namun konstruksi arsitektur ini juga memper­timbangkan kekuatan bangunan. Bermodalkan material bangunan pilihan, rumah Belanda jauh lebih kuat secara ketahanan, bahkan hingga berusia lebih 100-an tahun.

Karakteristik lain dari rumah itu, adanya koridor yang menghubungkan serambi belakang dengan dae­rah servis (dapur, ruang tidur pembantu, dll). Tidak hanya pada bangunan rumah, kekhasan arsitektur Belanda juga menjadi penanda pada bangunan RS GL Tobing di lokasi yang sama.

Bangunan berbentuk anak panah ini ditopang 8 pilar pada bagian depannya. Enam pilar lainnya juga menopang serambi sebagai ruang tunggu. Bagian bedor busur, pada bangunan itu menjadi ruang resepsionis. Kemudian barisan ruang rawat inap yang memanjang ke sisi kanan dan kiri pada bagian depan dan belakang dilengkapi koridor memanjang - layak­nya hiasan bulu pada anak panah. Sedangkan gandar (batang) busur, berupa koridor yang berhubungan langsung dengan ruang dapur dan kamar perawat pada ekor anak panah.

Sejatinya masih banyak peninggalan rumah Belanda yang dibangun sebelum era kemerdekaan di komplek kandir itu. Begitu halnya sejumlah bangunan lainnya yang tersebar di unit-unit kebun. Misalnya rumah manajer di Buluh Cina, Hamparan Perak, di Marindal, di Batangkuis, dan lainnya.

Ciri rumah Belanda yang cenderung substansial, aplikatif, namun tetap atraktif itu, semestinya menjadi bagian dari bahan pengembangan arsitektur di Tanah Air. Kajian dan penelitian lebih serius harus dilakukan. Bukan sekadar untuk tujuan pelestarian, namun juga untuk memperkaya khasanah arsitektur secara keilmuan.

()

Baca Juga

Rekomendasi