Oleh: Nevatuhella
PUISI adalah sarana pengejewantahan jiwa. Baik pikiran maupun perasaan. Dia memberikan rasa puas kepada penulisnya, juga pembacanya.
Puisi ibarat lendir pada lokan. Antara ada atau tidak, dia tetap mempunyai kekhasan pada kerang-kerangan yang bernama lokan. Pada manusia, karena berpuisi dia menjadi khas sebagai manusia. Hewan dan tumbuhan tak bisa menulis puisi. Mereka hanya sebatas melambai-lambai dan berisik-risik kala angin meniup mereka. Hewan akan berkoak-koak atau mengaum kala bahagia atau terluka.
Begitu manusia lahir di atas bumi, akalnya mencari tahu. Bagaimana dia dapat melepaskan lapar, dahaga dan keinginan syahwatnya. Untuk gizi jiwanya dia mencipta laku-laku alam kembali di hadapannya. Dia melukis gunung, sungai, hutan dan laut. Dia melukis jiwa atau perasaannya lewat kata-kata.
Sekitar tiga ribu tahun lalu, seorang wanita Jepang, Murasaki Shikibu menulis novel dan puisi. Dia menulis dalam bahasa dan tulisan Jepang kuno. Di negara-negara Arab, jauh sebelum kelahiran nabi Muhammad SAW. Di tempat-tempat keramaian para penyair sudah mebacakan puisi-puisinya. Tema yang mereka dedahkan dalam puisinya pada umumnya cinta dan kekuatan laki-laki.
Di negara kita, puisi awal-awalnya dalam bahasa Melayu dikenal sebagai syair dan pantun. Manusia ingin selalu meniru alam. Selalu ingin harmoni, sepadan. Lahirlah syair dengan rima atau irama yang sepadan.
Di sekolah kita diajarkan mendefinisikan syair sebagai satu bentuk puisi lama yang berakhiran sama. Berawal dari keinginan manusia untuk berada dalam lekat harmoni dengan alam.
Puisi-puisi modern sudah lepas dari induknya. Pengucapan yang spontan. Gejolak jiwa manusia yang tujuannya bukan harmonisasi semata. Lebih kepada pemberontakan. Seperti ketika Amir Hamzah atau Chairil Anwar, mengungkap jiwanya. Mereka memberontak karena ingin mencapai sesuatu yang harmonis.
Dari satu keadaan yang timpang. Afrizal Malna mengembara dengan kata-kata dan corak yang hampir-hampir (sulit) dimengerti. Dia mengelanakan jiwanya di dunia yang sudah berteknologi tinggi. Tak lagi tanah menjadi pijakan. Lebih pada atasan bumi atau udara, langit. Jiwanya tak bisa lepas dari resonansi (getar) keilahian.
Tergantung pada kata?
Bagaimana kata menjadi bernyawa atau berjiwa. Lepas dari kesehariannya diucapkan atau dituliskan untuk berbagai kepentingan.
Kata bumi misalnya, kata yang biasa didapati dalam pelajaran ilmu geografi dan ilmu lingkungan. Ketika kata bumi terkelupas dari makna denotatifnya, diperuntukkan dalam bait-bait puisi. Diberi nyawa atau ruh, begitulah tugas para penyair. Seperti apa yang di goreskan Afrizal Malna. Penyair kontemporer itu untuk kata bulan dan tembok dalam puisinya frankfurt main 2015 dan happy birthday tembok.
Kata menghablur, mengkristal, membeku dan mencair. Menguapkan bau. Seperti yang dikatakan Yudhistira ANM Massardi: negeri para bedebah. Larik menguapkan bau kemana-mana. Mengablur seperti yang ditulis Sitor Malam Lebaran: “bulan di atas kuburan”. Mengkristal, “kami cuma tulang-tulang berserakan”, tulis Chairil. Mencair, “semangkok abstraksi”, tulis Damiri Mahmud. Semangkok gabung dengan abtraksi, frasa yang mencairkan keaslian dua kata ini. Yang nisbi (abstraksi) dipadukan dengan realitas (mangkok).
Einstein menulis gerak nisbi menjadi satu rumus energi yang sangat begantung pada kecepatan. Apakah abtraksi mempunyai bobot? Einstein baru akan lahir lagi untuk memecahkannya. Akal bersamaan dengan rasa melahirkan keseimbangan.
Dalam hitungan, akal terus menerus mencari harga x sebagai lambang. Ketika Newton (1641-1727) menemukan hukum gravitasi bumi, dia meneriakkan, “Eureka! Eureka!”. Artinya aku menemukannya, aku menemukannya. Akalnya mendapat kepuasaan. Begitu juga setiap penciptaan puisi, penemuan penemuan baru akan terjadi. Perasaan menemukan getaran kepuasan.
Berhasil atau Gagal?
Makin banyak pembaca sebuah puisi, makin berkesempatan puisi itu dikatakan berhasil. Apalagi dibicarakan para kritikus sastra sampai presiden dan menteri-menterinya. Apalagi puisi tersebut melanglangbuana pula ke seluruh pelosok dunia.
Haiku Basho, menjelajahi dunia dengan kekhasan renteng jumlah kata dan baitnya. Puisi-puisi Charil sudah termasuk melanglangbuana juga. Puisi-puisi sang resi sastra kita Taufiq Ismail. Sekarang dahsyat adalah puisi-puisinya yang termaktub dalam buku puisi Debu di Atas Debu. Diterjemahkan sebagai Dust on Dust (Bahasa Inggris), Staub aut Staub (Bahasa Jerman). Cendres sur Cenders (Bahasa Prancis), Stof op Stof ( Bahasa Belanda), Prah na Zrnu Praha ( Bahasa Bosnia). Khak rong-e Khak (Bahasa Farsi). Ini aku, Indonesia yang dikatakan penyair pada dunia.
Puisi gagal bukan berarti puisi tidak dibaca orang. Paling merosot dibaca diri sendiri. Dibuat sebagaimana maksudnya sebagai pengejewantahan jiwa. Jiwa yang tetap berfluktuasi seperti nilai mata uang di bursa. Ragu, resah, gelisah, adalah pintu menemukan kebahagiaan sejati.
Tersesat lebih baik daripada tak pernah tahu. Tak mencoba sama dengan si bodoh yang tidak tahu kebodohannya. Orang-orang seperti ini banyak kita temukan dalam tokoh-tokoh di sinetron Indonesia saat ini.
Ada puisi hasil renungan-renungan (kontemplatif). Biasanya renungan cenderung bersifat filosofi. Tentang kehidupan. Contoh puisi Tuhan Kita Begitu Dekat karya Abdul Hadi WM berikut.
Tuhan, kita begitu dekat Sebagai api denga panas
Aku panas dalam apimu//
Tuhan, kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan, kita begitu dekat
Seperti angin dengan arahnya Kita begitu dekat// Dalam gelap kini aku nyala/ dalam lampu padammu.
Berlawanan dengan Chairil yang memberontak. Tak cukup punya kekuatan menahan penderitaan, Chairil menulis, Aku mau hidup seribu tahun lagi. Ini orang sudah terlalu getir dalam hidupnya. Sungguh sangat mencintai kehidupan itu sendiri. Termasuk sangat mencintai bangsanya.
Chairil seseorang yang berhasil dengan sempurna mengejewantahkan jiwanya dalam puisi. Dia bahkan tak peduli pada apa pun yang menghalanginya dalam mencipta. Tidak juga kau/ tak perlu sedu sedan itu. Tolaknya pada orang-orang dekatnya.
Totalitas Chairil memang belum ada duanya seperti yang diakui Eka Kurniawan. Dalam suatu kesempatan wawancara dengan Majalah Tempo (edisi 20 Maret 2016). “Pram di novel, Chairil di puisi, sudah lewat 70 tahun, belum ada yang menandinginya.” ujar nominator Man Booker International Prize 2016 ini.
Kembali ke Khittah
Bangsa kita harus mengejar berbagai ketertinggalannya dengan bangsa-bangsa lain. Kita harus banyak membaca dan menulis jalan menuju kecerdasan. Kita lihat, Singapura, negara kecil yang tidak punya sumber daya alam.
Rakyatnya harus cerdas untuk dapat bertahan dan mengembangkan kehidupan yang sejahtera. Negara tergantung pada kecerdasan bangsanya. Kita masih sangat tergantung pada sumber daya alam. Minim kecerdasan mengelolanya.
Membaca dan menulis dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan. Termasuk membaca puisi dan menulis puisi. Puisi pengejewantahan jiwa orang-orang yang ingin membebaskan diri. Dari rasa sakit dan bingung oleh ke-nahimungkar-an di sekitarnya.
Siapapun bisa menulis puisi. Hanya saja karakter seribu mau, seribu kilah belum merasuk ke kalbu kita. Man jadda wajadda, yang bersungguh-sungguh pasti mendapat. Kita semua adalah penyair. Salahnya, karena jiwa kita telah mati atau dimatikan dengan sengaja. Apa yang mau dijewantahkan, kalau sudah demikian adanya.
Penulis; adalah esais