Novel yang Sarat Budaya Batak

Oleh: Meyarni.

Menarik sekali membaca novel Mangalua karya Idris Pasaribu. Novel dibedah di Unimed, 20 Februari lalu ini, sarat dengan nilai-nilai budaya Batak Toba.

Tidak heran jika novel ini mendapat apresiasi dari sejumlah budayawan dan sastrawan. Antara lain Dr. Asmyta Surbakti, MSi, Drs. Yulhasni dan Jones Gultom.

Ketiganya menuliskan pendapat mereka dari berbagai perspektif dan dimuat di rubrik ini. Sebagai pembaca novel sekaligus yang tertarik dengan budaya Batak Toba, saya turut bangga dengan kehadiran novel ini. Apalagi ditulis oleh Idris Pasaribu yang sudah dikenal kiprahnya dalam dunia seni dan budaya khususnya Batak Toba. Novel Mangalua melengkapi novel-novelnya yang lain, yang rata-rata mengangkat lokalitas Sumatera Utara.

Membaca Mangalua seperti autokritik bagi masyarakat Batak Toba yang kini seakan menghalalkan Mangalua. Memang dalam budaya Batak Toba, Mangalua diakui keberadaannya, tetapi sesuatu yang tidak disarankan.

Pada dasarnya pasangan yang memilih Mangalua atau kawin lari adalah mereka yang terganjal halangan. Akan lebih baik jika halangan-halangan itu diselesaikan terlebih dulu. Apalagi budaya Batak Toba, sifatnya terbuka dan mengakomodir pendapat.

Dengan kata lain, yang penting ada kesepakatan kedua belah pihak yang akan menikah. Jadi jika halangan itu tidak bersifat prinsipil, biasanya dapat diselesaikan.

Selain itu proses perkawinan dalam budaya Batak Toba memiliki tahapan-tahapan. Antara lain marhusip yang dilanjutkan dengan marhata sinamot. Marhusip sendiri adalah kunjungan awal pihak laki-laki ke keluarga pihak perempuan. Tujuannya adalah selain beramah-tamah juga mencari mufakat tentang hari dan besarnya sinamot (mahar) akan diberikan pihak laki-laki.

Dengan adanya kesepakatan itu akan meminimalisir perbedaan pendapat pada saat marhata sinamot. Kesepakatan-kesepakatan itulah yang ditekankan kembali ketika marhata sinamot. Meski di marhata sinamot terjadi tawar menawar sinamot (mahar) namun lebih kepada formalitas. Karena angkanya sudah disepakati lebih dulu saat marhusip.

Pada tahap marhata sinamot hal-hal yang belum dibahas dalam marhusip akan dibahas dan dipertajam. Tahapan-tahapan ini bertujuan untuk mencapai mufakat di antara kedua belah pihak. Dengan adanya tahapan-tahapan ini akan meminimalisir terjadinya Mangalua. Meski begitu, tetap saja ada pasangan yang memilih untuk Mangalua. Pasangan yang memilih Mangalua. Biasanya karena ada halangan yang tak bisa diambil kesepakatan. Biasanya karena hal-hal prinsip, seperti terhalang marga atau padan dan sebagainya.

Novel Mangalua dikisahkan bahwa perempuan yang akan dikawini oleh Jogal tokoh utama dalam novel ini adalah Si Boru Anting na Rumondang. Putri Raja Tumpak so Haribuan. Tak lain adalah musuh bebuyutan ayahnya, Mangaraja Parhujinjang.

Sudah pasti jika dia melamar baik-baik akan ditolak. Baik oleh keluarga Raja Tumpak so Haribuan maupun Mangaraja Parhujinjang sendiri. Karena itu Jogal memutuskan membawa lari kekasihnya. Dengan keyakinan setelah dia membawanya lari, pasti ayahnya akan bertanggungjawab dengan membayar adat dan denda.

Maklum Mangaraja Parhujinjang adalah sosok raja yang disegani karena sikap dan pribadinya. Demikian juga Raja Tumpak so Haribuan pasti akan menerima permintaan maaf Jogal dan keluarganya. Karena biasanya masyarakat Batak Toba begitu. Keras, tetapi hatinya lunak. Apalagi jika anak perempuannya yang mangelek  (membujuk).

Sarat Nilai

Keistimewaan dalam novel ini, selain konfliknya juga karena sarat dengan nilai-nilai budaya Batak Toba. Lewat novel ini kita dapat mengetahui bagaimana budaya Batak Toba dengan segala kearifannya itu.

Misalnya seperti apa cara pihak laki-laki membayar adat dan denda ketika seseorang mangaluahon atau membawa kawin lari seorang perempuan. Selain itu umpasa dan umpama juga menghiasi novel ini.

Selain itu di novel ini kita juga dapat mengetahui hal-hal yang mungkin tidak lagi diketahui para generasi muda Batak Toba. Misalnya bagaimana cara membuat solu (perahu kayu). Yakni dengan dibakar. Bagian tengah kayu dibakar sampai menjadi arang, sehingga mempermudah untuk mengeruknya.

Termasuk ritus berikut kearifan lokal msyarakat Batak Toba dalam memilih dan menebang kayu di hutan. Banyak hal lain yang sifatnya informatif yang terselip di novel ini. Sejumlah pengetahuan itu memperkaya keutuhan novel ini.

Saya sepakat dengan pendapat Asmyta Surbakti dalam makalahnya ketika membedah novel ini. Bahwa novel yang ditulis Idris Pasaribu ini bagian dari upaya untuk mengangkat kembali nilai-nilai budaya Batak Toba sebagai bagian dari gerakan postmodrenisme. Karena itu novel ini menjadi dokumen penting dalam rangka merevitalisasi nilai-nilai budaya Batak Toba yang kini semakin terkikis itu.

Harus diakui adalah fakta bagaimana generasi muda Batak Toba tak mengenal lagi warisan yang ditinggalkan nenek moyangnya. Misalnya pengetahuan dan penggunaan ulos. Sebagian besar generasi muda tidak lagi paham jenis, makna serta tujuan sebuah ulos.

Mereka menganggapnya hanya sekedar kain tenun yang dipakai untuk saat-saat tertentu. Padahal ulos juga sumber pengetahuan. Setiap ulos mengandung nilai-nilai tertentu. Melalui ulos itu kita dapat mengenal lebih jauh tentang budaya dan adat masyarakat Batak Toba dalam kehidupannya sehari-hari.

Tak hanya ulos, alat musik Batak Toba juga mulai ditinggalkan generasi muda. Pada pesta-pesta, baik pernikahan, sulang-sulang pahompu maupun pesta kematian, orang tak lagi menggunakan seperangkat alat musik tradisi. Melainkan sudah diganti dengan keyboard yang multifungsi dan digital. Peran pargonci atau pemusik gondang perlahan-lahan mulai hilang dari pesta adat.

Hal lain yang paling sederhana adalah soal bahasa. Bukan rahasia umum jika generasi muda Batak Toba, banyak yang tak tahu lagi dengan bahasa ibunya sendiri. Jangankan mahir dan terampil, lengkap dengan umpama dan umpasa, sekedar bahasa sehari-hari pun belum tentu fasih. Inilah sebagian kecil yang menjadi ketakutan kita sebagai orang Batak Toba khususnya. Peradaban dengan modrenitasnya telah menjadikan orang Batak Toba kehilangan jati dirinya sendiri.

Bagian lain dari budaya Batak Toba yang kini semakin dilupakan masyarakat adalah ritus-ritusnya. Misalnya ritus membersihkan kampung dan sebagainya. Ritus-ritus inilah sedikit banyak dapat kita baca di novel Mangalua. Karenanya novel ini bukan sekedar karya sastra belaka, tetapi juga bacaan yang sarat dengan nilai-nilai budaya.

Kekayaan novel ini semakin lengkap dengan latarbelakang sejarah masyarakat Batak Toba di akhir abad 18. Terlepas apakah hal itu merupakan fakta sejarah seperti yang terungkap dalam bedah novel ini, tetapi situasi antropologi itu memperkaya wawasan kita terhadap sejarah Batak Toba.

Hal inilah yang membuat novel ini menarik. Terkaitnya Belanda dan misioner Jerman dalam novel ini menjadikan Mangalua tidak sekedar karya sastra. Malah pada bagian ini Mangalua jadi semakin menarik. Cerita dan konflik saling terkait dan membuat pembaca penasaran.

Penulis; adalah penyuka novel dan budaya.

()

Baca Juga

Rekomendasi