Menyembunyikan Kebudayaan

Oleh: Suharyanto

PULAU Sumatera sudah lama dijuluki sebagai “Tanah Emas” atau Suwarnadwipa yang memiliki sumber daya melimpah dan kebudayaan heterogen. Dari ujung barat Aceh sampai ujung timur Lampung tersebar lebih dari 50 kebudayaan asli (native culture) yang mengelilingi sumatera. 

Wajar saja apabila Sumatera menjadi pusat kebudayaan (cultural centre) terbesar di luar Pulau Jawa. Namun, tidak semua kebudayaan yang ada saat ini bisa disaksikan secara langsung. Hal ini disebabkan karena hantaman budaya populer modernis yang terjadi di era sekarang ini. Bahkan nilai dari pertunjukan seni tersebut sudah tergantikan jika dilihat dari bahan baku dan tata kelola pertunjukannya. 

Ambil contoh kebudayaan suku Karo yang saat ini lebih menggunakan Keyboard sebagai media pengganti alat tradisional gendang lima sidalanen baik dalam kebutuhan tradisi, ritual dan hiburan pada masyarakat tersebut.

Selain faktor diatas, ruang ruang terbuka untuk menampilkan sebuah pertunjukan seni pada masa kini juga terbatas. Masyarakat modern bukan lagi menganggap kebudayaan tradisi sebagai sebuah kebutuhan. Hanya kantong akademisi dan seniman tradisi yang masih menjaga kualitas nilai pertunjukan kebudayaan tersebut. 

Seperti yang dilakukan oleh Mahasiswa Pascasarjana Pengkajian dan Penciptaan Seni Universitas Sumatera Utara bekerja sama dengan Jurusan Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara yang mengadakan sebuah acara bertema tradisi dan kreativitas dalam seni pertunjukan di pendopo fakultas Ilmu Budaya.

Acara yang diikuti oleh Universitas Sumatera Utara, Universitas Negeri Medan, Universitas Negeri Padang, Institut Seni Budaya Indonesia Aceh, Universitas Islam Riau dan Universitas Al Muslim Bireun sangat menyita perhatian para pemerhati kebudayaan di Sumatera. Ramainya tampilan yang disajikan dengan membawa kebudayaan serta kesenian masing masing daerah membuat lebih dari 300an penonton berdecak kagum dan bangga akan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat sumatera.

Acara yang dimulai dengan seminar dengan tajuk Tradisi dan kreativitas dalam seni pertunjukan menghadirkan narasumber Irwansyah Harahap (USU), Esy Maestro (UNP), Muslim (UIR) serta Sabri Gusmail (ISBI Aceh) yang membongkar tentang seni dan kebudayaan perspektif budaya lokal dan kekinian menjadikan acara ini semakin semarak. Peserta seminar yang dihadiri oleh para mahasiswa, guru dan pengamat seni menjadi lebih memahami makna dari sebuah kesenian dan kebudayaan yang terkandung dalam sebuah pertunjukan pada suatu masyarakat di sumatera yang heterogen.

Pertunjukan Kesenian

Suguhan yang menarik terjadi ketika para seniman tradisi berkumpul di pendopo Fakultas Ilmu Budaya. Diawali dengan penampilan kelompok Perkusi Komunal Primitif dari jurusan Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara yang tampil begitu heroik dengan pukulan yang atraktif serta diiringi dengan enam penari menjadikan pembuka pertunjukan yang menghibur serta mendapat standing applaus dari para penonton.

Penampilan yang tidak kalah unik berikutnya datang dari sudut barat sumatera yaitu dari Universitas al Muslim Bireun yang menampilkan tarian Rapa’i Geleng inong oleh kelompok sanggar mahasiswa Mirah Delima. Tarian ini sangat unik karena ditarikan oleh para perempuan yang sangat anggun.

Kelompok Gendang Kampung perkusi dari Universitas Negeri Medan tidak kalah mempesona penonton dengan penampilan perkusi berjudul Mantraguna yang menyajikan pertunjukan perkusi dengan syair mantra dari Tanah Toba serta mantra masyarakat Mandailing sebagai bekal pertunjukan musik grup tersebut. 

Tampilan komposisi eksperimental musikal dari Universitas Negeri Padang dengan judul Lobo dan Retak Asa juga sangat ditunggu penonton. Selain jumlah pemusik yang ramai, konsep musik yang menghadirkan cerita bagaimana masyarakat Minang juga sangat menarik. Komposisi yang dihasilkan menghalusinasikan penonton ke kampung halaman.

Penampilan pertunjukan ditutup oleh kelompok Rapai Geleng dari Institus Seni Budaya Indonesia Aceh yang menampilkan kelompok tari Rapai. Agak berbeda dengan kelompok Mirah Delima, kelompok ini seluruh penarinya adalah laki laki. Garapan musik yang ditampilkan pun sangat menarik dengan tiupan sarune kalee.

Renungan

Seluruh tampilan yang ditampilkan pada acara seni pada hari itu tertarik benang merah yakni meskipun hidup dizaman serba modern dan serba instant ternyata masyarakat masih merindukan kebudayaan dan kesenian yang betul betul tradisional. Irwansyah Harahap dalam kurator sambutanya menyebutkan bahwa orisinalitas pada seni pertunjukan saat ini pelan pelan mulai terabrasi oleh budaya asing. 

Autentitas sebuah kebudayaan juga mulai diragukan. Semangat dari seniman tradisi dan akademisi untuk menghidupkan kembali orisinalitas kebudayaan tersebut menjadi pondasi utama agar kebudayaan yang dimiliki tidak roboh oleh manuver budaya barat yang modernis.

Hal ini senada dengan akademisi Rithaony Hutajulu yang mengatakan bahwa kebudayaan harus dilestarikan oleh siapapun yang memahaminya. Karena hanya kebudayaan dan kesenian yang membuat harum sebuah peradababan manusia.

Semoga tampilan tampilan seni pertunjukan dan kebudayaan ini sering dilakukan agar penikmat serta masyarakat pada umumnya lebih mencitai, menghargai dan menghormati nilai nilai luhur dari kebudayaan yang kita miliki. Jangan sampai Tanah Emas berubah menjadi tempat yang tandus akan kebudayaan.***

Penulis adalah Guru Seni Budaya di SMP Harapan I Medan dan Pasc Sarjana Oengkajian dan Peniciptaan Seni USU.

()

Baca Juga

Rekomendasi