Oleh: Edo Maranata Tambunan
Hukum di Indonesia semakin melebur disamping semua aturan hukum itu sudah berada di balik layar bukan lagi sebagai panglima atau barisan pertahanan dalam negara yang hanya disebabkan oleh 1 (satu) jurus jitu saja ‘’uang’’ diatas segalanya. Berdasarkan pasal 1 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 dikatakan bahwa ‘’Indonesia adalah negara hukum’’Hal ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya juga pemerintahan dan lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun, harus didasarkan oleh peraturan hukum atau harus dapat di pertanggung jawabkan secara hukum. Dalam memberlakukan hukum terdapat tiga tujuan utama meliputi: mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dengan demikian, hukum itu ibarat bola api yang dapat digiring ke gawang yang salah sasaran.
Penyimpangan
Penegakan hukum dilaksanakan dalam sidang peradilan untuk menghukum seseorang atas perbuatan yang melanggar aturan dan di jatuhi hukuman sebagaimana pertimbangan hukumnya. Penyimpangan hukum selalu bermuara pada pengadilan sebagai proses peradilan dalam menyelesaikan perkara baik secara pidana maupun perdata dimana setiap praktek mafia selalu ada dan sudah merupakan kebiasaan yang mendarah daging. Pengadilan memeriksa, mengadili dan memutus perkara oleh hakim tanpa suatu intervensi atau pengaruh terhadap hakim dari pihak mana pun untuk mengambil sebuah keputusan yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penyimpangan aturan hukum itu dilandaskan pada aturan transportasi uang. Ada beberapa alasan mengapa terjadi suap-menyuap dalam proses peradilan, meliputi: Pertama, untuk dapat memenangkan dirinya sendiri yang pada dasarnya sudah dapat diprediksikan melalui pengetahuan hakim akan kalah. Sebab, alasan dan dasar pembuktian daripada pihak tersebut nilai pembuktiannya kurang memadai. Kedua, tidak mau hidup dibilik penjara untuk menjalani hukuman atas perbuatannya sendiri sehingga dengan kekuatan uang ia dapat mengatasi segalanya. Ketiga, aturan hukum dan kesadaran hukum bagi seorang hakim sudah memudar sehingga tidak lagi menjadi hakim yang menjalankan mandat dari Tuhan.
Makna Jubah Hakim
Jubah yang digunakan oleh hakim memiliki ‘’Marwah’’ yang tinggi sebab ia sedang menjalankan tugas dan tanggung jawab dari Tuhan untuk mengadili dan memutuskan perkara di muka bumi ini. Atas dasar itu, keberadaan para hakim tidak lagi di pandang sebagai masyarakat biasa akan tetapi sebagai manusia yang diutus Tuhan untuk menjalankan tugas dan wewenang yang sangat berat. Sebab hakim di berikan kekuasaan untuk menjalankan hukum dimana hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Boleh dikatakan bahwa nyatalah keberadaan Tuhan itu sendiri bila dan dijalankan oleh hakim dengan menggunakan jubah keadilan. Dengan demikian, hakim harus bertindak sebagai hakim yang agung dan dimuliakan sebagai pemangku jabatan untuk membuat keputusan akhir yang bersifat final dan mengikat dengan mencerminkan putusan bersifat adil bagi semua pihak serta menghasilkan suatu kepastian hukum sebagaimana ditegaskan sebagai tujuan hukum itu sendiri.
Hukum Sudah Tereduksi
Banyak perkara yang selesai tanpa adanya suatu kemanfaatan bahkan ketiga tujuan hukum tersebut tidak tercapai, salah satunya adalah terkait suap terhadap hakim di pengadilan yang bukan hal yang lumrah untuk diketahui. Proses hukum sudah semakin kian tereduksi dengan adanya uang sebagai tolak ukur dalam penyelesaian perkara. Tidak hanya kepastian hukum yang hendak dicapai dalam dunia hukum itu sendiri namum perilaku yang paling utama baik itu perilaku hakimnya sendiri dalam memutus perkara maupun perilaku para pihak yang berperkara yang perlu dibenahi dan perlu di berikan pendidikan disiplin dalam berperkara. Sebab bagaimana pun segala putusan akhir ada pada hakim dan senantiasa harus berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bila kita mengamati tata hukum yang ada di Indonesia ini begitu rumit dan tidak terlaksananya. Sebagai contoh, banyak Peraturan Perundang Undangan yang di pangkas dan di hapuskan tujuannya adalah untuk mengefektifkan dan mengefisienkan tata kerja dari pada semua kegiatan terutama pada sektor perekonomian dan dunia bisnis. Akan tetapi yang terjadi dunia peradilan adalah tidaklah demikian, dimana terjadi pencideraan terhadap hukum dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Percideraan tersebut di karenakan adanya mafia peradilan dalam tubuh hukum itu sendiri. Tindakan dari seorang mafia itu sendiri dilakukan atas dasar kehendak dan dorongan uang semata, atau adanya hubungan kekerabatan yang terjadi dalam lingkungan peradilan. Dengan permasalahan tersebut, hakim tidak lagi mengadili perkara berdasarkan Pasal-Pasal yang terkandung dalam Undang-Undang dan tidak mengindahkan asas-asas yang terkandung didalamnya, namun mengadili berdasarkan bersarnya setoran uang. Keadaan seperti ini diharapkan tidak berlarut-larut dalam dunia hukum kita. Sebab bagaimana pun, untuk membentuk negara hukum harus melakukan pembenahan dan pembaharuan yang secara konsisten untuk maju menjadi negara yang daulat hukumnya.
Sehingga, dalam permasalahan tersebut di butuhkan gerakan sistemik untuk memberantas mafia peradilan baik yang terjadi di peradilan umum maupun khusus. Sejarah mengatakan bahwa keberhasilan beberapa negara memberantas korupsi ditentukan keberhasilan membersihkan korupsi di lembaga peradilan. Oleh karena itu, keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia akan ditentukan keberhasilan membersihkan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum dan peradilan. Mafia peradilan itu kejam, bahkan orang lupa bahwa tujuan hidup itu adalah menuju keseimbangan dan pintu masuknya adalah keadilan yang tempatnya di pengadilan. Karena pemberantasan mafia peradilan ini harus dilakukan secara serius dan terus-menerus untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian meliputi: Pertama, memperbaiki intitusi peradilan yang mencakup struktur organisasi badan peradilan. Kedua, melakukan pembenahan, pencegahan, dan pengendalian dalam etika beracara dengan kode etik kehakiman, watak yang jujur dan rasa pengabdian terhadap kepentingan masyarakat oleh hakim di pengadilan melului pengawasan lebih tinggi lagi dari KY. Ketiga, memberikan pemahaman hukum dalam beracara melalui asas-asas dalam peradilan itu terhadap para pihak. Sehingga nyatalah keberadaan hukum itu sendiri dan bukan sebagai hukum yang semata yang di kesampingkan demi kepentingan pribadi.
Untuk mencapai keadilan dibutuhkan akses yaitu ‘’uang pelicin’’. Bagaimana tidak hal itu terjadi..? itu adalah sebuah pil pahit yang sedang di hadapi oleh negara kita. Salah satu hal yang mendasar adalah menyangkut soal penjatuhan hukuman pidana bagi seorang terpidana senantiasa berkompromi dulu apakah kompromi hitam atau putih. Hemat penulis, banyak penafsiran hukum dan tawar-menawar dalam pasal-pasal di KUHP untuk menjatuhkan hukuman yang merupakan suatu dilematis dalam penerapan hukuman itu sendiri tidak dijalankan pada koridornya. Bila kita tidak mampu mengatasi dan memperbaiki kebocoran hukum yang ada maka akan menjadi belenggu dalam dunia hukum kita serta merupakan suatu dilematis bagi hukum itu sendiri sebab hukum itu juga hidup dan akan masih ada kebocoran-kebocoran hukum yang akan tibul. Hukum itu tidak lagi menunjukkan relevansinya dalam keadaan sebenarnya dimana para pihak yang sedang berperkara. Sebab bagi orang kaya hukuman itu bisa dibeli dan bagi orang yang lemah pasrah akan keadaan dikarenakan KUHP (Kasih Uang Habis Perkara).***
Penulis adalah Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.