Siapa sangka? Minggu 15 Mei banjir, bandang melululantakkan kawasan wisata Air Terjun Dua Warna di desa Durin Sirugun, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang. Keindahan air terjun dua warna, telah memikat para wisatawan untuk berkunjung. Untuk mencapai ke lokasi Air Terjun Dua Warna, harus melalui hutan hujan tropis Gunung Sibayak I dan Gunung Sibayak II. Ketinggian air terjun mencapai 75 meter dan berada di ketinggian 1.475 meter di permukaan laut, berseberangan dengan kawasan hutan Kabupaten Karo. Ironisnya Air Terjun Dua Warna yang sudah menjadi ikon wisata di Kabupaten Deliserdang, ternyata tidak mendapat pengawasan keamanan dan keselamatan pengunjung.
Pengunjung yang datang ke lokasi Air Terjun Dua Warna tidak dibekali perlengkapan pengamanan. Padahal, untuk menuju ke lokasi Air Terjun Dua Warna tidaklah mudah. Pengunjung harus berjalan kaki menyusuri hutan selama 2-3 jam. Pintu masuknya terletak di ujung komplek bumi perkemahan Sibolangit. Untuk ke lokasi tersebut, harus didampingi pemandu. Akses menuju lokasi didominasi jalan setapak, berlumpur. Batu kerikil, akar pohon yang menjulang cukup tinggi, hingga melewati sungai. Dengan kontour perbukitan yang naik turun, akses menuju Air Terjun Dua Warna, perlu menuruni tebing curam. Pengunjung bisa berpegangan pada seutas tali menuju sungai berbatu-batu besar, hingga ke kawasan air terjun tersebut.
Tidak adanya pengamanan yang dilakukan kepada pengunjung, akan memberikan dampak resiko yang besar. Artinya suatu saat bencana pasti terjadi. Bila terjadi becana, dipastikan terjadi korban jiwa. Seperti banjir bandang yang terjadi di Air Terjun Dua Warna. Tidak adanya pengawasan yang dilakukan, ketika terjadi banjir bandang, pengunjung yang datang menjadi korban. Bila kawasan wisata Air Terjung Dua Warna mendapat mengawasan, banjir bandang yang terjadi tidak sampai ada korban jiwa.
“Setiap kawasan wisata, pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan. Apalagi kawasan wisata yang memiliki resiko terjadi bencana alam. Ini sangat penting mengingat kawasan wisata menjadi tujuan orang berlibur,” ungkap Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Pengda Sumatera Utara, Ir. Gagarin Sembiring.
Peristiwa bencana banjir bandang yang terjadi di Air Terjun Dua Warna seharusnya dapat dimitigasi, dicegah. Paling tidak mengurangi dampak resiko apabila terjadi bancana. Semua pihak melaksanakan perannya dengan baik. Pihak pengelola dibekali tentang pengetahuan potensi bahaya, utamanya banjir bandang dan melakukan upaya mitigasi. Di samping itu juga sebagai pemandu wisata alam harus memiliki pengetahuan tanda-tanda alam. Para pemandu di lokasi wisata harus menjelaskan kepada pengunjung. Umumnya sebelum bencana besar terjadi, ada tanda-tanda alam yang memberikan isyarat akan terjadi becana.
Secara teori jelas Gagarin, banjir bandang dikenal dua istilah. Pertama flash flood. Ini disebabkan volume air yang tiba-tiba meningkat dan mengalir dengan cepat. Biasanya dipicu oleh kerusakan lingkungan atau kurangnya tutupan di daerah tangkapan air. Curah hujan yang tinggi atau anomali di hulu. Itu yang menyebabkan run off yang tinggi dan cepat menuju lembah atau alur sungainya. Kedua adalah debris flood, lebih dikenal dengan banjir bandang. Ini disebabkan terjadinya longsoran longsoran pada lereng lembah di hulu (faktor geologi). Longsoran ini membentuk bendungan-bendungan alam. Suatu saat bisa jebol karena besarnya volume air di hulu. Bila ini terjadi bisa berdampak efek domino menjebol bendungan-bendungan alam terus ke hilir dengan cepat menggelontorkan apa saja disitu seperti kayu kayu, batu batu dan lumpur.
Kondisi ini bisa dipantau secara rutin dengan pengamatan ke arah hulu. Untuk keperluan mitigasi. Gagarin berpendapat sementara yang terjadi di Air Terjun Dua Warna, cenderung flash flood (faktor lingkungan). Ini dipicu oleh rusaknya lingkungan, kurangnya tutupan lahan di daerah tangkapan air di hulu dan menyebabkan run off air yang tinggi, khususnya saat curah hujan tinggi. Volume air meningkat drastis dan mengalir dgn cepat menuju ke lembah/alur sungai di hulu Air Terjun Dua Warna tersebut.
Harmonisasi
Adanya korban jiwa terjadinya bencana alam karena kurangnya kesadaran mentaati setiap peraturan yang sudah ditetapkan. Harusnya tidak ada korban jiwa bila terjadi bencana alam. Misalnya erupsi Gunung Sinabung yang mengeluarkan awan panas. Sayangnya korban jiwa masih saja terjadi.
“Kita perlu melakukan harmonisasi dengan alam. Jangan melawan alam. Bagaimana kita menyelaraskan dengan alam,” sebut Gagarin.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah mengeluarkan beberapa rekomendasi. Masyarakat dan pengunjung wisatawan tidak melakukan aktivitas di dalam radius 3 km dari puncak. Masyarakat dalam jarak 7 KM untuk sektor Selatan - Tenggara Gunung Sinabung yang berada di bukaan lembah berpotensi terlanda awan panas. Seperti di Pasarpinter Gurukinayan Simpang Sibintun/Perjumaan Batukejan, Jembatan Lau Benuken Tigapancur. Desa Tigapancur Pejumaan Tigabogor, Desa Pintumbesi dan Desa Jeraya agar dievakuasi ke lokasi yang aman.
Masyarakat di dalam jarak 4 KM sektor Utara - Timurlaut di dalam KRB III berpotensi terkena hujan debu lebat. Seperti desa Kutarayat dan Kutagugung agar dievakuasi ke lokasi yang aman. Masyarakat dihimbau memakai masker bila keluar rumah untuk mengurangi dampak kesehatan dan abu vulkanik. Mengamankan sarana air bersih serta membersihkan atap rumah dari abu vulkanik agar tidak roboh. Masyarakat yang berada dan bermukim di dekat sungai-sungai yang berhulu di Gunung Sinabung agar tetap waspada terhadap bahaya lahar.
“Bila masyarakat bisa taat atas rekomendasi yang dikeluarkan PVMBG erupsi Gunung Sinabung bukan menjadi ancaman. PVMBG sejak awal sampai sekarang terus melakukan pemantauan pergerakan Gunung Sinabung,” tegas Gagarin.