Oleh: Saurma. Ada sebuah fenomena menarik yang terjadi saat ini. Di jaman orang mulai tertarik bahkan hari-harinya tergantung dengan sosial media, berbagai hal diinformasikan dengan begitu terbuka di sana. Tidak saja dalam bentuk teks, juga foto bahkan video. Semua ini seakan menjadi makanan lezat bagi setiap komentator yang bersikap siap untuk melahapnya dalam sekejab mata. Tak heran, mendadak ramai yang disebut sebagai si Tukang Komen. Merekalah yang membuat suasana di media sosial memjadi hidup dan berwarna serta menarik perhatian setiap orang yamg tergabung di dalam groupnya masing-masing.
Era internet dengan sosial medianya, memang menjadikan setiap orang menjadi seperti begitu dekat. Bahkan mereka yang tidak saling mengenal sebelumnya mendadak bisa menjadi seperti sepasang atau sekelompok sahabat akrab. Padahal, bisa saja mereka belum pernah bertemu, sekalipun. Suasana yang terbangun dalam pertemanan di dunia maya menimbulkan kebersamaan yang saling membutuhkan di antara mereka. Tetapi uniknya, kebersamaan itu dapat pula berubah seketika menjadi permusuhan yang begitu mendalam, akibat perbedaan persepsi dan pemikiran mereka tentang suatu hal. Kejadian begini dapat terjadi karena memang dalam dunia maya itu hampir tidak ada sedikitpun rasa sungkan dalam menyampaikan pendapat, pikiran dan perasaan. Sehingga, wajar saja rentan terhadap munculnya sikap menerima atau menolak atas suatu pendapat yang disampaikan.
Sehingga, media sosial ada yang kemudian menjadikan dua orang atau sekelompok orang menjadi rekan yang akrab penuh persahabatan, tetapi ada juga yang justru menjadikan mereka sepasang musuh atau sekelompok orang yang selalu berlawanan pendapat dan pikiran. Bagi yang bersikap terbuka biasanya mereka membiarkan warna-warni dari media sosial tersebut bersileweran di tempatnya. Namun bagi yang tidak terbuka maka dengan cepat ia akan “membuang” para “musuhnya” sehingga tidak akan pernah terlibat berkomunikasi lagi di antara mereka.. Apapun itu, semua menjadi keseruan tersendiri bagi mereka dan juga sekelompok orang lain dalam group sosial media tersebut. Termasuk bagi mereka yang hanya memposisikan dirinya sebagai penonton atau pengamat. Mereka ini biasanya muncul dengan sekadar menekan klik “suka” atau “like”. Atau bisa juga bertindak sebagai raja atau ratu yang bijaksana, yang akan mengeluarkan ucapan-ucapan penuh simpati yang akan membuatnya kemudian kebanjiran “suka” atau “like” tadi. Padahal, bisa saja itu cuma kutipan kalimat dari orang bijak di tempat lain namun ia yang mendapat simpati.
Selektif
Sesuatu yang menarik lagi dari segi manfaat berseluncur di dunia maya tadi adalah memudahkan kita untuk mengetahui, mengenali dan bahkan memiliki kesan terhadap seseorang yang mungkin baru kita ketahui sebatas namanya saja. Dari sana kita bisa membuat keputusan akan mengajak berteman, melanjutkan pertemanan atau bahkan menjauh darinya dengan cara mengeluarkannya dari daftar pertemanan kita lewat satu jari saja, dengan menekan tombol “remove”. Meski sebelumnya justru kita yang meminta pertemanan lebih dulu, semua sah-sah saja untuk kita tinggalkan dia, karena setiap orang diberi kebebasan untuk itu, tanpa batasan tertentu.
Semua ini juga memudahkan kita untuk dapat menjadi seperti detektif yang siap menelusuri sebanyak-banyaknya informasi tentang seseorang dengan hanya mengetikkan namanya atau data diri lainnya yang kita ketahui, di mesin pencari internet. Dalam seketika kita sudah disajikan berbagai data, yang tentu saja belum tentu seluruhnya menjawab informasi yang kita butuhkan, tetapi setidaknya ada gambaran yang bisa menjadi bahan pertimbangan kita untuk menampilkan kesan tertentu atas orang tersebut.
Kesempatan luas bagi kita untuk menjelajah informasi atas orang yang dimaksud lewat jalur internet juga menambah informasi lain yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh kita. Semisal, tentang hubungan orang dimaksud dengan orang lain yang mungkin saja orang yang sangat kita kenal atau dekat dengan kita. Seketika, mesin informasi itu, tanpa diminta sudah menunjukkan hubungannya dengan orang lain yang juga memiliki hubungan pertemanan dengan kita. Kemudahan-kemudahan ini membuat kita dapat lebih dulu mencari informasi lain dari temannya yang juga teman kita, misalnya. Hal inilah yang membuat setiap orang dapat lebih selektif dalam memilih pertemanan yang sesuai untuknya. Karena kepada kita telah ditampilkan informasi awal dari mulai hal-hal yang bersifat pribadi hingga hal-hal yang bersifat umum, bahkan sebelum kita menjadi temannya. Semua itu memberi informasi yang lebih banyak, meskipun tidak ada yang dapat menjamin apakah informasi itu akurat dan benar.
Tukang Komen
Begitu saling menerima pertemanan, seseorang akan langsung merasa benar-benar teman dengan orang tersebut dan merasa “in group” dengan orang-orang di dalam group pertemanan itu. Tindakan umum, biasanya diawali dengan hanya memberi sekadar tanda “like” atau suka atas status para teman baru itu di sana, hingga kemudian setelah demikian akrab dapat berlanjut dengan saling memberi komentar. Sikap sopan biasanya menyertai para pemain atau anggota baru. Maklum, mereka harus merasa benar-benar diterima dulu barulah mereka lebih berani menampilkan sikap tegasnya atas suatu hal. Jika ada yang kurang berkenan pada masa-masa awal ini, umumnya mereja hanya melihat dan tidak memberi tanda apapun, apalagi berkomentar. Selanjutnya, setelah menguasai situasi di sana, barulah beberapa waktu ke depan si anggota baru ini berani atau merasa sudah saatnya untuk berkomentar.
Suasana yang seru akan terasa jika anggota group cukup aktif. Entah itu sekadar ucapan selamat pagi atau saling menyapa, memberi informasi, menyampaikan cerita dan lain sebagainya. Suasana itu akan menampilkan para Tukang Komen yang senantiasa sigap memberi warna bagi group sosial media itu. Setiap informasi terbaru yang muncul akan menjadi sasaran tembak si Tukang Komen. Siapakah si Tukang Komen itu? Tidak lain adalah kita semua, yang kini terpapar dunia sosial media. Tidak peduli anak kecil, remaja hingga dewasa dan tidak peduli laki-laki atau perempuan, tua atau muda hingga mereka yang sehat ataupun sakit, semua mendapat menjadi Tukang Komen.
Yang serunya lagi, ada Tukang Komen yang benar-benar sekadar mau meramaikan suasana dengan menyampaikan pendapatnya secara pribadi, baik yang bersifat candaan ataupun yang serius. Ada pula Tukang Komen yang menyampaikan sesuatu yang ditumpangi oleh rekannya yang enggan atau tidak berani berkomentar secara langsung di sana. Ada lagi, Tukang Komen yang menjadi sponsor produk atau pendukung orang-orang tertentu, sehingga perbincangannya diatur mengarah ke aksi promosi yang sedang dilakoninya. Apakah sifatnya promosi profil atau sosok tertentu yang dianggap harus mendapat dukungan setiap orang menjadi calon pejabat tertentu. Atau sebaliknya, menampilkan sosok yang dianggap tidak patut mendapat dukungan karena jauh lebih baik kompetitornya, misalnya. Ada juga promosi barang atau program tertentu, dan sebagainya.
Dari mereka ada yang mendapatkan bayaran dalam menjalankan aksi komennya di berbagai group di sosial media itu. Bagi si Tukang Komen yang menerima bayaran ini, tidak sulit untuk melakukan tugas tersebut. Si Tukang Komen mendapat kesempatan sebesar-besarnya memberikan komentarnya atas semua hal. Kemudahan akses internet menjadikan setiap orang dapat melayangkan komentarnya tanpa harus pergi kemana-mana dan harus dalam tampilan bagaimana. Yang terpenting dia terakses ke internet, ada di berbagai group sosial media yang menjadi target mereka dan tinggal menayangkan komen yang sudah disesuaikan dengan “komen berisinya” tadi. Setelahnya, selain ia menjadi cukup populer karena cukup aktif berkomen-ria, ia juga mendapatkan penghasilan dari setiap komen yang ditayangkannya.
Demikianlah, si Tukang Komen yang ada di sekitar kita tidak selalu murni menyampaikan apa yang menjadi buah pikirannya. Termasuk informasi yang dibagikannya, tidak selalu seperti apa yang tampak. Ada juga yang memang diatur sedemikian rupa sehingga menaruh simpati dan membuat banyak orang yang spontan menyampaikan tanda “like” atau suka atas komennyatadi. Tanpa sengaja, hal tersebut ternyata memberi keuntungan bagi si Tukang Komen itu. Lalu, bagaimana dengan kita, apakah semata menyampaikan komen murni dan menganggap menghabiskan waktu berkomentar-ria di sosial media itu hanya sebagai iseng-iseng penghibur diri saja? Atau kita sudah menjadi bagian dari si Tukang Komen dengan iseng-iseng “berisi” tadi, di mana waktu kita berselancar di sana akan memberi dampak positif bagi penambahan pendapatan kita? Tidak salah juga, menjadi Tukang Komen untuk sekadar mengajak orang peduli sesama. Bukan demikian?!