Konsep Tower Tertinggi Jepang

Oleh: Dewanty Ajeng Wiradita

JEPANG, memiliki menara terkenal, yang letak­nya tepat di Taman Shiba Tokyo, yakni Tokyo To­wer. Ikon penting arsitektur di Jepang ini selesai dibangun pada tahun 1958 dengan ketinggian men­capai 332,6 meter. Dia menjadi bangunan menara baja tertinggi di dunia yang tegak sendiri di permu­kaan tanah.

Dengan warna oranye, menara ini sangat kontras dan mudah dikenal bila kita berada di Tokyo. Bangu­nan sekelilingnya lebih rendah, sehingga Menara Tokyo bisa dilihat dari berbagai lokasi di pusat kota. Warna oranye internasional ini, memang sengaja dilakukan berdasarkan peraturan keselamatan pener­bangan.

Pada dasarnya, Menara Tokyo berfungsi sebagai menara antena pemancar TV analog (UHF/VHF), TV lokal digital, dan radio FM. Selain itu, perusahaan kereta api setempat juga menggunakan menara ini untuk meletakkan antena radio sistem darurat kereta api dan sejumlah instrumen pengukuran dipasang Kantor Lingkungan Hidup Metropolitan Tokyo. Namun, fungsi lain muncul yakni menjadi pusat kun­jungan terkenal sebagai simbol Kota Tokyo dan obyek wisata .

Desain menara ini, dibuat mengikuti Menara Eif­fel di Paris, Perancis. Walaupun lebih tinggi 8,6 m dari Menara Eiffel. Menara Tokyo beratnya hanya 4.200 ton dibandingkan Menara Eiffel yang beratnya 7.300 ton. Bagian atas menara dirancang untuk tahan terhadap hembusan angin kencang hingga kecepatan angin 100 m per detik, sedangkan bagian bawah menara tahan terhadap angin berkecepatan 80m per detik.

Sementara, Tokyo Skytree mulai dibangun pada tahun dengan ketinggian 643 meter. Bangunan yang dibuat dengan jerih payah 500000 pekerja ini selesai dalam empat tahun, dan kini telah menjadi tower tertinggi di Jepang sekaligus dua tertinggi di dunia setelah Tokyo Tower.

Meskipun sama-sama sebagai tower pemancar, dua bangunan ini memiliki perbedaan dari segi bentuk. Tokyo Tower memiliki bentuk segitiga (triangular) sementara Tokyo Skytree lebih bersilin­der.

Kedua bangunan ini, dikenal memiliki ketahanan yang cukup baik jika terkena goncangan atau bahkan gempa. Tercatat, pada gempa bumi Jepang di 11 Ma­ret 2011 lalu, Tokyo Skytree ini masih berdiri seperti sedia kala. Tokyo Skytree juga meniru konsep pengendalian getara gempa yang disebut 'Shinbas­hira Seishin'. Terinspirasi juga dari bangunan tradi­sional Jepang, Pagoda setinggi 5 lantai.

Konsep ketahanan (resistensi) dua bangunan ini, secara struktural sering disebut dengan dilatasi. Ini jenis bangunan yang resisten terhadap gempa bumi bisa dibangun di manapun yang dihendaki. Ma­kanya, langkah yang bisa diambil oleh seorang arsi­tek yakni dilatasi.

Ini yang menurut akademisi arsitektur, Basariah Palarosha, ST, MT sebagai proses sambungan atau garis pada sebuah bangunan arena sesuatu hal, baik untuk menghindari kerusakan ataupun retak pada bangunan.

Dosen Program Studi Teknik Arsitektur Univer­sitas Sumatera Utara ini mengungkapkan, dilatasi biasanya menjadi prinsip untuk jenis bangunan yang tahan terhadap guncangan rentang skala terten­tu.

“Begitupun, pembangunan sepatutnya juga diu­kur berdasarkan prediksi ketahanan bangunan terhadap intensitas guncangan pada rentang skala tertentu, dalam hal ini Skala Richter. Demikian juga dengan frekuensi terjadinya,” ungkapnya.

Dilatasi, dikenal sebagai sebuah sambungan atau garis pada sebuah bangunan yang karena sesuatu hal, memiliki sistem struktur berbeda. Langkah ini berguna untuk menghindari kerusakan atau retak pada bangunan yag ditimbulkan gaya vertikal mau­pun horizontal, seperti pergeseran tanah, gempa bumi, dan lain-lain.

Jepang, salah satu negara yang sering diguncang gempa. Intensitasnya bisa berkali-kali dalam seta­hun.  “Perlu diperhatikan, untuk daerah tertentu, bi­sa terjadi gempa satu kali setahun. Daerah lain bisa dilanda satu kali dalam lima tahun. Demikian dengan intensitas. Bangunan tertentu bisa tahan terhadap guncangan dari angka berapa sampai berapa Skala Richter,” ujarnya.

Makanya, pada dilatasi ini, prinsipnya dalam satu bangunan, pada bagian yang berbeda, akan ber­beda pula tekanan antar bagian. Hal ini yang coba diatasi dengan jalan dilatasi tersebut. Misal, ge­dung bertingkat. Tingkatan yang lebih rendah memiliki struktur yang lebih kuat. Oleh karena itu, diperlukan pemisah struktur, untuk tingkatan ber­beda dengan struktur berbeda, yang walaupun ter­lihat menyatu sebenarnya terpisah.

Efeknya, jika bangunan tersebut rubuh, akan rubuh perlahan sesuai tahapan struktur tersebut, bu­kan sekaligus. Bisa ditempuh dengan memotong ukuran bangunan yang terlalu panjang (biasa dite­rapkan pada bangunan memanjang atau linier), dengan balok kantilever, dengan balok gerber, atau dengan konsol.

Selain untuk anti gempa, dilatasi juga diambil untuk pemisah bangunan induk dengan bangunan ‘sayap’, bangunan yang memiliki kelemahan geo­metris, bangunan dengan panjang lebih dari 30 meter, berdiri di atas tanah yang relatif tidak rata, serta bangunan yang mempunyai bentuk denak ba­ngunan ‘L, T,Z, O, H, dan U’.

Namun, dosen yang telah mengajar sejak tahun 1996 ini menyatakan, sejatinya pengukuran ini meru­pakan tanggung jawab tenaga keahlian Teknik Sipil. Kerja sama kedua bidang keahlian ini dalam bidang ketahanan gempa bisa terwujud dalam penggunaan alat digital untuk simulasi gempa.

Meski demikian, menurutnya, teknologi yang kian maju sudah mampu mencegah terjadinya efek yang terlalu besar. “Sekarang teknologi sudah ber­kem­bang. Ada alat simulasi gempa digunakan,” ung­kapnya.

Alat simulasi, yang memungkinkan tenaga peran­cang bangunan menghitung ketahanan bangunan. Bahkan dari simulasi, bisa memprediksi, jika kese­luruhan bangunan terkena gempa, bagian mana saja yang hancur, dimana titik lemahnya bangunan, dan seberapa besar efeknya. Setelah memeroleh gam­baran tersebut, bagian itu yang akan dirombak di sketsa rancangan sebelum dibangun dirangkaian nyata.

()

Baca Juga

Rekomendasi