Oleh: Karahayon Suminar. Bagaimana aku enggak stres! SMS mamaku terlalu mengancam. Aku jadi panik. Mana proposalku belum kunjung disetujui. Pembuatan laporan penelitianku juga belum kelar. Di atas minibus yang membawaku pulang kampung kubaca lagi SMS Mama:
Kalau kau sayang Biring sama Mama cepatlah pulang. Biring sakit keras. Jangan sampai menyesal seumur hidup. Biring memanggilmu terus.
Biring, dalam adat kami berarti nenek. Karena bermarga Sembiring, kami cucu-cucunya cukup memanggilnya dengan Biring. Nenek dari Ayah yang bermarga Ginting kami panggil cukup dengan Iting.
Tiga tahun belakangan ini, semenjak aku menuntut ilmu di Medan, Biring tampaknya pelan-pelan berubah jadi infantil. Kekanak-kanakan. Kata orang, memang begitu siklus perjalanan hidup ini. Waktu kecil kekanak-kanakan, jika sudah tua pasti mengarah kembali seperti waktu kecil. Manja. Mudah cengeng. Gigi tanggal satu persatu akhirnya habis. Kembali seperti bayi. Waktu kecil jalan tertatih-tatih setelah tua begitu juga.
Kata Mama, jika Biring ke rumah selalu memaksa mama untuk menelpunku. Alasannya klise. Itu-itu saja. Rindu.
“Biring rindu kam kempu. Kapan kam pulang? Kerasan kali kam di Medan... “. (Kam -Karo = kamu, kempu = cucu.)
Seperti biasanya, Biring lalu curhat panjang lebar. Tentang ladang kemirinya yang susut drastis hasil panennya. Maklum sudah tua umurnya. Konon pohon-pohon kemirinya ditanam ayah Biring sewaktu beliau masih muda. Bisa dibayangkan betapa tuanya pohon-pohon itu sekarang. Biring aku anggap pandai pula mengajuk hati. Sukanya memuji, akulah kempunya paling pintar, katanya. Pandai menyenangkan hati orang tua dan bermata teduh.
Suhu udara Medan katanya mendekati 36 derajat. Rupanya tak menghalangiku untuk bisa lelap di atas minibus yang penuh sesak. Aku terbangun nyaris ketika minibus memasuki kampung kami. Laubaleng.
Begitu sampai rumah, setelah cipika-cipiki dengan Mama, aku bergegas ke rumah Biringku yang tak begitu jauh. Di sepanjang jalan, aku tak melihat perubahan yang berarti atas kampung halaman tercinta ini. Tiga tahun lebih aku di Medan, cuma tambah satu kedai dan satu bengkel kreta. Yang menohok kesadaranku justru Rajua. Teman sebangku SMP-ku.
“ There...” pekiknya renyah.
“ Hai... Ini anakmu Jua?“ Rajua mengangguk dengan sedikit tersipu. Selanjutnya kami saling berbicara dengan mata dan senyum. Kulihat Rajua mengantar anak laki-lakinya ke TK sementara anak keduanya di gendongan.
Begitulah. Kebiasaan umum di kampung kami. Mungkin juga di kampung-kampung lainnya di Nusantara ini. Perempuan muda, jika tak sekolah lagi atau tak kuliah, sepertinya memang harus cepat menikah. Pernah aku dengar di sebuah percakapan orang tua-tua. Katanya perempuan muda itu mahluk paling rentan atas gangguan nafsunya sendiri. Pendapat umum yang diperkuat fakta dan pengalaman-pengalaman terdahulu, tidaklah bagus membiarkan anak gadis terlalu lama menganggur. Segera dikawinkan itu lebih baik daripada dikerumuni buaya buntung yang selalu menganga siap menampung.
Sungguh tak pernah aku duga, Biringku begitu kurusnya. Aku trenyuh. Aku pandangi Biringku yang sakit. Tidur sendirian.
“Biring...” Bisikku halus membangunkannya. Mata Biring sayu. Badannya juga sangat layu. Mendengar panggilanku, Biring membuka mata. Tahu aku yang datang, meledaklah sedannya.
“There-ku...” Kubiarkan Biring menumpahkan rindunya di sela isaknya dia menciumiku. Aku yakin. Pasti ada sesuatu yang berat menimpa Biring. Aku hafal dengan perilaku Biring. Sudah aku tandai sejak aku masih SMA. Setelah melepaskan pelukannya, aku segera mengambilkan segelas air termos yang kucampur sedikit air putih. Biring tersenyum girang menerimanya.
“Biringku... minumah ini dulu. Ini namanya terapi air hangat. Kata dokter, sangat bagus bagi orang tua 60 tahun lebih... Dengar Biringku, air hangat itu sangat membantu kelancaran kinerja tubuh kita, terasa menghangatkan juga menyegarkan. Terutama pada bagian perut. Pencernaan. Di Jepang Biring, ini kebiasaan turun-temurun. Kalau rajin minum air hangat setelah bangun tidur, konstipasi, buang air besar pun jadi lancar. Pening pagi hilang. Semua penyakit minggir teratur.“
Biring tampak sumringah. Wajahnya mulai memerah. Terapi air hangatku sudah bekerja. Senyumnya pun mengembang. Dipandanginya aku, seperti ada yang beda. Aku berharap, itu karena Biring tersugesti. Telah merasa sehat.
Dugaanku benar. Biring memang punya beban pikiran yang berat. Dia bercerita, kadang-kadang hidup ini capeklah sudah. Mana pohon kemiri sudah pada tua, hasilnya tak memadai lagi? Mana dipotong ongkos mengutipinya. Mana pengepul wajahnya jadi kurang enak dipandang? Karena buahnya kecil-kecil. Kilahnya.
“Kemarin dulu aku sedih sangat There. Memikirkan ladang warisan Bolang. Hasilnya sedikit. Tak patut diceritakan. Tiap malam aku sulit tidur. Ketika Bolangmu datang dan berpesan dalam mimpi, barulah aku bisa lelap tidur. Sambil menangis, aku rombak ladang kemiri itu. Kusulap jadi ladang jagung,“ katanya sedikit semangat.
“Sejak jadi ladang jagung itulah, baru ada pemasukan yang terasa. Walau dipotong upah petik, pupuk dan lain sebagainya. Umur jagung singkat, setahun bisa panen tiga kali. Masih ada sisa lebih. Puji Tuhan, panen kemarin banyak lebihnya. Hampir 20 juta kudapat. Itulah lalu kusuruh mamandu SMS, agar kam cepat pulang. Lama kali kam tak pulang There...”
“Ma’af kan There, Biring. Satu setengan tahun aku tak pulang karena aku sibuk. Selain kuliah, aku juga belajar bagaimana caranya menjadi orang yang punya nasib selangkah di depan. Lebih maju dari orang lainnya. Di Medan aku juga jualan Biring...”
“Ha? Jualan?” Biring heran dan membelalak. Aku pun kaget melihat ekspresinya yang sarat kecemasan. Aku sadar dengan ucapan terakhirku.
“Jualan apa kam kempu? Jangan bikin Biring malu sama orang sekampung kempu!” pekiknya dalam Karo. Kalau sudah begini, aku tahu cara mengelus hati Biring.
“Aku kan juga menjalankan pesan Biring. Dulu, waktu aku pamit kuliah ke Medan, Biring bilang... Mela mulih adi la rulih... Ula lebe kam merawa Biring. Begiken lebe kempundu enda ngerana.
Aku kuliah sungguh-sungguh Biring. Tahun depan aku tamat. Tentang jualan, aku bukan jual diri Biring. Aku jualan on-line. Jamannya sudah maju Biring. Walau tak punya toko aku bisa jualan pakai HP. Pakai Internet. Aku tawarkan uis nipes Karo ke seluruh orang Karo di Indonesia. Siapa yang minat, untuk pesta atau untuk koleksi, merasa bangga jadi orang Karo, lalu mereka pesan sama kempundu enda. Kalau enggo kirim uangnya lewat ATM, baru aku kirim barangnya Biring.
“Untuk cepat meluluhkan emosi Biring terpaksa aku bicara dalam Karo juga. (uis nipes = ulos dalam Batak)
Ya Tuhaaaaan. Mudah-mudahan Biring paham atas semua penjelasanku. Untuk lebih meyakinkannya, aku buka HP-ku. Kutunjukkan gambar beraneka ragam uis nipes beserta harganya. Alamat pembuatnya. Nama-nama pemesannya. Bahkan foto-foto keluarga Karo yang pesan uis nipes. Dari Papua, Surabaya, Cirebon, Kalimantan bahkan Singapura dan Jepang serta lainnya.
Legalah hatiku melihat Biring menghembuskan nafas panjangnya. Aku berharap itu pertanda Biring tak gundah lagi. Mau percaya padaku.
“ Lihat Biring, inilah hasilku jualan selama satu setengah tahun. Mama belum tahu. Kumohon Biring jangan bocorkan rahasia ini pada Mama. Makanya aku jarang minta uang. Berapapun dikirim aku diam.” Kutunjukkan buku tabunganku. Aku peluk Biring penuh kasih. Biring menepuki punggungku.
“Biring bangga sama kam kempu... Banyak juga senndu. “ Tiba-tiba Biring menciumiku penuh semangat. (sen = uang, senndu = uangmu)
“Biring mau aku ajak senang-senang ? Ayolah. Sekali-sekali kita dua senang-senang...” Sambil senyum semanis mungkin aku telengkan kepalaku. Menanti jawabannya.
“ Ha..ha...ha...ha. “.
Aku terkejut melihat Biring terbahak panjang dengan lepasnya. Tawanya 100 persen merdeka. Jujur. Ada bahagia dan haru menyaksikan Biring begitu. Bahagia, aku telah berhasil membuat Biring sehat luar dalam.
“Betul-betullah hidup ini seperti mimpi There. Sebetulnya Biring menyuruhmu pulang ... he..he.. Biring juga mau mengajakmu bersenang-senang. Rupanya pucuk dicinta ulam tiba...”
“Itulah Biring. Kuatnya hubungan batin kita ini. Kita sama-sama punya niat serupa.“ Sambarku sambil menunjuki dadanya dan dadaku.
Tak ayal, kami dua langsung berunding. Kemana dan bagaimana rencananya. Puji Tuhan, kami bersepakat. Biring menerima ide spontanku. Sama-sama ingin bersenang-senang di hidup yang sekali ini.
Dalam hati, aku senandungkan lagu kenangan sekolah mingguku. Dulu. Waktu kecil. Di sana. Di gereja mungil dan tua depan rumah Biring itu. Lagu yang selalu kudendangkan manakala hati ini merasa waktunya harus bernyanyi.
Ada pertemuan di udara. Pertemuan yang manis. Aku rindu bertemu di sana. Jauh di udara. Nyanyian yang terdengar, belum pernah didengar. Adalah kegirangan. Aku ingin bertemu di sana. Pertemuan di udara.
Ah. Kenangan.
* * *
“Inilah Biring, yang disebut TMII. Taman Mini Indonesia Indah. Di sini ada contoh rumah adat dari segala suku bangsa yang ada di Nusantara. Tuh rumah adat Aceh. Tuh Minangkabau. Di sana tuh rumah adat Batak. Nias. There kenal sama ketua anjungan Sumut itu. Namanya Om Tatan Daniel. Orang Kisaran. Nanti kita ke sana. Aku sendiri juga belum kenal orangnya. Cuma kenal lewat internet. Mudah-mudahan kita jumpa.“
“There, hidup ini ya, kadang seperti mimpi. Kemarin kita masih di Medan. Kini di Taman Mini Jakarta,“ gumam Biring sambil senyum. Kulirik ada sesuatu yang bening berkilau mengalir di kedua pipi Biring. Puji Tuhan. Mudah-mudahan. Itulah yang disebut air mata kebahagiaan.
Mengitari anjungan-anjungan di TMII itu, tangan Biring tak pernah lepaskan tanganku. Sesekali dipererat. Aku tahu. Itu pertanda hati Biring yang happy. Seminggu di ibukota kami berpindah-pindah. Semalam menginap di rumah sahabat face book-an yang tentu saja kalak Karo. Kak Elly Bangun di Jalan Pala, belakang TMII itu. Malam berikutnya, di Bekasi, berikutnya di rumah kakak kelasku yang kini bekerja di Bojong. Kak Ani beru Pinem. Anggota komunitas PPKK - Persatuan Perantauan Kalak Karo (kalak = orang). Kakak kelas satu ini tetap rajin memotivasi kami, adik-adik kelasnya yang masih berkutat di kampus.
Biring tak bosan-bosannya mengatakan: Hidup ini kadang seperti mimpi ya There? Ternyata dunia ini luas sekali ya There. Bla bla bla.......
Aku bisa memaklumi perasaan Biring. Karena aku juga pernah mengalami perasaan seperti itu. Tiga setengah tahun lalu. Ketika aku baru keluar dari tempurung kehidupan sebelumnya. Tuhan menuntun kesadaranku. Membuka mata dan telingaku, juga hatiku untuk menerima pelajaran hidup di dunia kampus sekaligus kehidupan kota besar. Hidup di kota bukan sekedar perjuangan semata. Sekaligus juga persaingan. Pertarungan. Di kota sulit jika hanya mengandalkan otot. Lebih dominan otak. Otot hanya sebagai pendukung. Tanpa keahlian, beratlah hidup di kota sebesar Medan ini.
* * *
Aku heran. Hari ketujuh meninggalkan kampung, Biring berubah jadi sedikit bicara. Pandang matanya sering jauh. Menerawang. Sejak duduk di pesawat dari bandara Soekarno Hatta, Biring selalu menutup matanya. Aku coba mengusiknya dengan menawarkan minuman kesukaannya. Setelah minum, kembali dia menutup matanya. Berlagak seperti ingin tidur.
“Biringku,.. Biring sehat?” Dia hanya mengangguk.
“Biring kenapa?“
Kembali dia mengangguk. Ya ampun.
“Biring rindu ya...” Dia buka mata. Dipandanginya aku. Aku lebih meneduhkan mataku. Biring tersenyum manis.
“Betul kempu. Aku rindu. Rindu ladangku. Kalau buka mata, terdengar di telingaku. Angin mendesau di pucuk-pucuk jagungku. Kalau aku tutup mata, terbayang bunga-bunga jagungku menari-nari, melambai-lambai padaku.”
Oh Biringku. Sungguh. Aku tak menyangka, Biring telah begitu jauh melampaui dirinya. Ada sense puitis di dalam dirinya. Padahal aku tahu. Seumur-umur baru sekali inilah dia pergi sejauh ini.
Catatan: Mela mulih adi la rulih= malu pulang jika nggak bawa apa-apa. Biasanya pesan orang tua pada anaknya ketika pamit merantau.
Ula lebe kam merawa Biring, begiken lebe kempundu enda ngerana= jangan marah dululah Biring, dengar dulu cucumu ini ngomong.
Enggo= sudah.
Bolang= kakek
Cipika cipiki – akronim cium pipi kanan cium pipi kiri.
Deli Tua, akhir Desember 2015