Membeli Buku Pelajaran dari Sekolah, Wajibkah?

Oleh: Liven R

MENYELESAIKAN ujian akhir semester, adalah masa-masa mengakhiri satu tahun ajaran lama, yang juga berarti apabila siswa lulus ujian, maka akan segera memasuki tahun ajaran baru—di mana tahun ajaran 2016/2017 ini akan dimulai pada bulan Juni atau Juli (tergantung pada kebijakan sekolah masing-masing).

Merupakan fenomena berulang pada setiap menjelang tahun ajaran baru, kita dapat mendengar suara jeritan para orangtua/ wali murid yang mengeluhkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan demi kelanjutan pendidikan anak ke jenjang yang lebih tinggi. Ya, dimulai dari biaya pendaftaran, seragam sekolah—beserta segala atributnya, buku-buku pelajaran, hingga kelengkapan alat-alat tulis yang wajib dimiliki per siswa. Pendek kata, segala yang menyangkut tahun ajaran baru bagi para orangtua yang masih memiliki anak usia sekolah, adalah tentang pengeluaran uang dan uang yang memusingkan kepala!

Menyikapi banyaknya pengeluaran menjelang tahun ajaran baru, pun diketahui banyak orangtua yang bijak mencari solusi dalam menekan/ mengirit biaya pengeluaran (apabila memungkinkan), dengan berbagai cara seperti meminta seragam layak pakai kepada teman/ kenalan, meminta maupun barter buku pelajaran kepada kakak kelas anak, hingga mencari dan membeli buku-buku pelajaran baru maupun bekas di toko-toko buku luar sekolah.

Khusus membahas tentang penyediaan buku-buku pelajaran bagi anak, ada hal yang menggelitik pikiran penulis semenjak akhir tahun ajaran pada tahun lalu, yang mana ternyata ketika orangtua/ wali murid menjerit tentang mahalnya biaya pembelian buku yang mencekik leher, dengar-dengar ada oknum kepala sekolah yang justru mencoba meraup banyak keuntungan dari penjualan buku-buku pelajaran di setiap tahun ajaran baru. Apa pasal?

Di zaman penulis masih duduk di bangku sekolah, penulis ingat bahwa pada setiap permulaan tahun ajaran baru, sekolah (melalui wali kelas) akan mencatatkan/ membagikan daftar nama buku-buku pelajaran (disertai nama pengarang, penerbit, dan tahun terbit buku) yang akan digunakan seluruh siswa pada satu tahun ajaran ke depan. Pemberian daftar nama buku-buku pelajaran kepada siswa disertai adanya batas waktu pembelian, dimaksudkan agar orangtua/ wali murid yang apabila keberatan membeli buku dari pihak sekolah (yang notabene memang lebih mahal) dapat segera mencari buku yang sama di luar sekolah, pun di pasar-pasar loak buku. Dan, tentu saja apabila tidak ditemukan di luar sekolah, tetap dapat dibeli dari sekolah, asal tidak melampaui batas waktu yang telah ditentukan.

Meski diakui lebih merepotkan karena harus mencari dan mencocokkan, tetapi adalah fakta bahwa membeli buku pelajaran yang sama dari luar sekolah, terdapat perbedaan harga yang fantastis, yakni dalam satu paket buku dapat menghemat duaratus hingga tigaratus ribu rupiah perorangnya. Dapat dibayangkan, sebuah keluarga yang memiliki empat anak bersekolah, dapat mengirit berapa rupiah dengan pembelian buku dari luar sekolah?

Akan tetapi, terdapat dilema lain berkaitan dengan pembelian buku dari luar sekolah, yakni adanya oknum kepala sekolah yang dirasakan kurang (jika tak ingin dikatakan tidak ada sama sekali) rasa empati terhadap kondisi keuangan orangtua/ wali murid, yang mana tak segan memarahi/ mengancam, dan menunjukkan sikap tak layak kepada orangtua/ wali murid yang diketahui memakai buku-buku bekas, pun membeli buku-buku pelajaran dari luar sekolah. Lantas bagaimana hubungan anak didik dengan kepala sekolah jika orangtuanya tidak membeli—atau secara to the point katakan saja: tidak memberi keuntungan dari bisnis penjualan bukunya—selama setahun ajaran? Silakan dibayangkan!

Menjadi rahasia umum, pembelian buku langsung dari pihak penerbit dalam partai besar, umumnya mendapat rabat yang tak sedikit. Namun juga tak dapat dipungkiri, sekolah-sekolah swasta yang berdiri megah-megah saat ini, selain mengusung tema kemuliaan pendidikan pada wajah luarnya, juga merupakan industri penyedia jasa pendidikan yang mengejar profit dalam hal ekonomi. Tidak salah, asal masih dalam taraf wajar!

Yang lebih parah, sebelum tahun ajaran berakhir saja, ada guru yang telah melancarkan aksi ‘berpesan’ kepada anak didik: tahun depan tidak boleh memakai buku bekas, ya?! Lalu disertai ‘akal-akalan’ semua buku cetak diberi paraf sebesar mungkin agar tak lagi dapat dipergunakan. Okelah, jika dikatakan lembar kerja di buku memang harus diparaf di situ, lalu numpang tanya: buku cetak lainnya yang masih berguna dan layak, dan tentunya jika sesuai dengan kurikulum yang berjalan, mengapa tak boleh digunakan? Tak jelas ide siapa yang telah ‘memerintahkan’ hingga adanya guru-guru yang berpesan demikian.

Penulis tidak bermaksud menyamaratakan semua sekolah, dan semua guru juga kepala sekolah di negeri ini dengan sikap yang sama seperti diceritakan. Tetapi tentunya ada urusan yang lebih penting menyangkut hak pengelolaan keuangan masing-masing keluarga ketika ada ibu yang lebih memilih membeli sebuah (ataupun sepuluh) penghapus, dan rela melatih otot tangannya dengan menghapus seisi buku agar dapat kembali digunakan anaknya.

Sekolah dengan segala aspek kemuliaan yang digaungkan, bukankah seharusnya juga mengajarkan sikap irit kepada anak sejak dini? Siapa yang berani menjamin menggunakan buku bekas atau buku baru memengaruhi proses penyerapan pengetahuan bagi anak? Jika buku bekas tak bisa membuat anak pintar, jangan lupa Agus Misyadi berhasil memenangkan 500 juta rupiah dari Who Wants to be Millionaire karena pengetahuannya yang justru didapat dari membaca koran-koran bekas.

Yang terpenting dari sebuah proses belajar adalah bagaimana membuat kepala murid berisi hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupan, masyarakat, maupun masa depannya. Di sini, metode pengajaran dan kualitas guru dalam mengajar tentu lebih utama ditingkatkan ketimbang urusan kulit baru/ bekas dari buku-buku penunjang yang dipergunakan. Jika sekolah dan petingginya boleh mengeluarkan kebijakan yang dirasa memberatkan, orangtua/ wali murid tentu juga berhak memilih akan menempatkan anak pada sekolah yang bagaimana. ***

Penulis adalah tenaga pendidik; ghostwriter/co-writer

()

Baca Juga

Rekomendasi