Oleh: Lea Willsen. Sebagai negara dengan tingkat konsumsi perangkat seluler yang cukup tinggi, tak terpungkiri Indonesia menjadi pasar yang diperhitungkan oleh sejumlah vendor perangkat seluler negara lain. Pun bukan Indonesia sendiri tidak memproduksi perangkat seluler, hanya saja dari sejumlah pengalaman berbelanja produk perangkat seluler produksi lokal, kelihatannya masyarakat masih tetap dihantui dari segi kualitas ketahanan produk itu sendiri. Tak heran, Indonesia tetap menjadi negara yang memanjakan vendor luar negeri. Masyarakat tetap lebih berkenan mengeluarkan biaya mahal, untuk memperoleh sejumlah perangkat seluler produksi luar negeri yang terjamin.
Tetapi, dalam kurun satu tahun terakhir, kelihatannya masyarakat mau tak mau sedikit syok mendapati kenyataan kalau sejumlah perangkat seluler bermerek luar negeri kini pun ditempelkan stiker bertuliskan “dibuat di Indonesia”. Lebih kaget lagi, stiker tersebut justru hanya ditempelkan pada sejumlah perangkat yang masuk golongan high-end, dibekali koneksi 4G LTE modern, dan justru tidak pada perangkat low-end yang umumnya berada di kisaran harga tidak melebihi satu setengah juta.
Tidak mengherankan. Memasuki era perponselan generasi keempat di tanah air, pemerintah Indonesia memang mengagendakan kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebesar 30% untuk sejumlah produk perangkat seluler 4G LTE merek luar negeri yang akan dipasarkan di Indonesia, dengan pertimbangan agar ke depannya Indonesia tidak semata menjadi konsumen lagi, tetapi juga berandil dalam sektor produksi. Meskipun kebijakan tersebut baru benar-benar diterapkan pada 1 Januari tahun depan, sejumlah vendor ternama mulai menyesuaikan diri, mencari pengalaman, mendirikan pabrik di Indonesia. Hal ini sekaligus berupa jawaban, mengapa kian mudah kita menjumpai perangkat seluler dengan stiker “dibuat di Indonesia”, dan tentu saja produk-produk tersebut tetap orisinal di bawah pengawasan perusahaan.
Tantangan dari Kebijakan TKDN
Masyarakat kita cenderung menyimpan persepsi negatif dengan produk lokal. Namun itu menjadi reaksi wajar yang tidak dapat disalahkan. Tidak sedikit konsumen dikecewakan oleh masalah kerusakan baterai, LCD, atau sejumlah komponen lain yang ujung-ujungnya terpaksa dilakukan klaim garansi, dan padahal baru tiga sampai enam bulan pemakaian. Dalam hal ini, jaminan garansi saja tentu tidak memuaskan konsumen.
Ada berapa persen kemungkinan, produk lokal lain akan mengikuti jejak keberhasilan produk komponen komputer merek Simbadda, atau produk celana merek Lea Jeans? Saking kuatnya persepsi negatif masyarakat terhadap produk lokal, bahkan banyak yang sulit percaya kalau Simbadda dan Lea Jeans adalah produk lokal.
Dari Samsung Indonesia - meskipun perusahaan asal Korea Selatan itu juga mulai menerapkan TKDN dalam kisaran 20 persen sejak tahun lalu, melalui pabrik mereka di Cikareng, Bekasi, Jawa Barat - Lee Kanghyun selaku Vice President Corporate Business and Corporate Affairs Samsung Indonesia juga mengungkapkan, “Orang Indonesia itu tidak begitu suka dengan buatan Indonesia, makanya saya khawatir”, dimuat pada salah satu postingan tekno.kompas.com, dengan judul “Buatan Indonesia, Samsung Khawatir Nasib Galaxy S6”, tanggal 29 April 2015.
Kendatipun demikian, satu tahun lebih berlalu, di sini kita tak melihat adanya perubahan opini masyarakat terhadap produk Samsung. Di mana-mana kita masih dapat menemukan pengguna perangkat Galaxy. Bahkan beberapa di antara kita mungkin sama sekali belum sadar bahwa produk perangkat seluler yang sehari-hari kita gunakan adalah hasil rakitan Indonesia. Dengan kata lain, sedikit banyak masyarakat kita bisa beradaptasi, belajar untuk mulai mencintai produk negara kita, serta menghapus persepsi negatif yang selama ini melekat kuat pada produk lokal. Kita bisa meneladani masyarakat Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan, di mana produk lokal tetap diprioritaskan terlebih dulu, dan praktis negara juga ikut mendapatkan keuntungan materi dari pembelanjaan masyarakatnya.
Menyikapi Perubahan
Prinsipnya ialah dunia selalu mengalami perubahan, dan tak terkecuali kebijakan untuk berjualan ponsel di negara kita. Cepat lambat tanggal 1 Januari akan tiba, dan sebelum heboh pada waktu yang bersamaan, adalah sangat tepat mengambil langkah seperti Samsung, tak ketinggalan sejumlah merek ternama lain, seperti Oppo, Axioo, maupun Lenovo dalam mengambil start di awal, sehingga ketika tiba TKDN diberlakukan, mereka telah memiliki pengalaman serta image di kalangan masyarakat sebagai perusahaan negara lain yang memproduksi perangkat seluler mereka di Indonesia.
Di satu sisi kebijakan TKDN sanggup membuka lapangan kerja, dan di sisi lain masyarakat diajak untuk lebih mencintai produk dalam negeri, menambah pemasukan negara, sekaligus meningkatkan derajat Indonesia di mata dunia.
Tetap Memprioritaskan Kualitas
Kalaupun tidak sedikit vendor mulai merakit perangkat seluler di Indonesia, kemudian sejauh ini bisa dikatakan dari segi kualitas masih tetap terkendali, namun perlu diingat juga kalau nilai TKDN yang diterapkan mereka (para vendor) masih tergolong rendah, di kisaran 20 persen. Ketika tidak memungkinkan bagi vendor untuk menyediakan komponen-komponen vital seperti processor, kamera, atau yang selevelnya, mereka masih memiliki opsi memenuhi nilai 20 persen tersebut melalui komponen yang lebih sederhana dan tidak berpengaruh terhadap kinerja, semisal port USB, LED, ataupun bahan dasar casing. Demikianpun, demi tetap mempertahankan kualitas produk yang dirakit di Indonesia, sebagian vendor kewalahan menanggung biaya yang lebih mahal karena sejumlah komponen penting masih tidak memungkinkan diproduksi di negara kita, harus diimpor, dan lebih hemat bila seperti sebelumnya, langsung mengimpor produk siap jadinya.
Di atas adalah sebentuk upaya dari vendor profesional. Kalau saja dalam posisi vendor abal-abal, kemudian juga nilai TKDN yang masih diagendakan dinaikan tahun depan, besar kemungkinan fenomena selanjutnya adalah pengorbanan kualitas yang dilakukan oleh vendor abal-abal, dan disusul keputusan vendor profesional untuk angkat kaki dari Indonesia, atau ujung-ujungnya harga produksi serta harga jual menjadi membengkak andaipun mereka tidak angkat kaki. Kalau sudah demikian, pada akhirnya kebijakan TKDN bukan mendatangkan manfaat positif, tetapi justru merusak pasar perponselan di negara kita yang selama ini sudah berkembang cukup baik.
Bagaimana malunya coba kalau produk perangkat seluler tanah air justru bereputasi buruk di mata dunia, lantas masyarakat kita justru mengincar produk-produk pasar gelap yang didatangkan diam-diam dari luar negeri?
Seberapa besar pun kita memproduksi perangkat seluler sendiri, kita masih prematur karena bergantung pada perusahaan serta merek dagang luar negeri, dan kita belum memiliki potensi maupun posisi seperti Tiongkok dengan merek-merek ternama mereka, semisal Xiaomi, Oppo, Meizu, yang tidak bergantung pada merek dagang luar negeri, meskipun tak dipungkiri bahwa sejumlah komponen semisal sensor kamera masih diambil dari perusahaan lain. Bila dikatakan TKDN sebagai awal dari semua itu, tentu masyarakat wajib turut mendukung hingga tercapai, namun dengan catatan jangan sampai mengorbankan kualitas. Kebijakan TKDN perlu diterapkan setahap demi setahap, dan sebaiknya hindari pemberlakuan nilai yang di awal-awal sudah demikian tinggi, 40%, 50%, atau bahkan harapan untuk 100%. Setidaknya kita harus sudah memiliki tangan-tangan pekerja profesional, dan juga sumber serta kualitas komponen yang sebanding dengan apa yang selama ini ada pada perangkat produksi luar negeri.
Tidak Hanya Hardware
Selain pemberlakuan TKDN terhadap hardware perangkat seluler 4G di pasar Indonesia, dari Kementerian Komunikasi dan Informasi juga mengupayakan pemberlakuan TKDN terhadap software. Dikutip dari kompas.com, terdapat lima opsi skema, yaitu: 25 persen software dengan 75 persen hardware; 50 persen software dengan 50 persen hardware; 75 persen software dengan 25 persen hardware; 0 persen software dengan 100 persen hardware; atau 100 persen software dengan 0 persen hardware.
Dari hemat penulis, dari kelima skema yang tersedia, sebagai pendatang baru, 75 persen software dengan 25persen hardware adalah pilihan terbaik untuk Indonesia, kemudian disusul 100 persen software dengan 0 persen hardware untuk vendor-vendor yang masih terbilang lemah dari segi jumlah peminat pasar. Kalau untuk 25 persen software dengan 75 persen hardware atau 0 persen software dengan 100 persen hardware, itu terlalu berisiko. Lain cerita untuk 50 persen software dengan 50 persen hardware, mungkin kita kita boleh mempertimbangkannya untuk lima tahun ke depan, atau sepuluh tahun ke depan, setelah kebijakan TKDN berjalan lebih stabil. Minimal kita perlu menghapus persepsi negatif masyarakat terlebih dulu.
Dengan lebih berfokus pada software di awal kebijakan TKDN, praktis negara kita juga turut mendukung para pengembang software dalam negeri yang selama ini mungkin lebih sering ditelantarkan. Misalkan saja setiap ponsel yang dijual di Indonesia dibenamkan aplikasi lokal, baik berupa pemutar audio/video, pengambil/pengedit foto, pembuka dokumen, penyimpanan awan (hosting), browser, mesin pencari, hingga video game atau aplikasi pembaca e-book yang dekat dengan kaum muda.
Jadi, selama ini kita bukan tidak memiliki para tangan kreatif pengembang software, tetapi mereka perlu lebih diberi kesempatan untuk menjadi besar. Dan kebijakan TKDN kelihatannya cukup sejalan dengan semua itu! ***
Penulis adalah Penulis Buku - buku Komputer/Internet