Pelanggaran “Hak Moral” dalam Hak Cipta Tidak Dapat Dipidanakan?

Oleh: Dr. Iman Sjahputra, S.H., LL.M., SpN., SH.

Sudah lama kita ber­teriak penegakan hu­kum Hak Cipta di In­donesia memble. Apa sebab?  Salah satu se­bab adalah karena ku­rang dihargainya hak kreasi dari pen­cipta.

Selaku pencipta,  baik dia seniman, sas­tra­­wan dan ilmuan telah berulang kali ber­juang untuk mem­per­tahankan haknya. Na­mun, usahanya pun berujung pada ke­kecewaan. Apa yang salah dengan pe­negakan hukum hak cipta kita? Be­gitulah selalu komentar yang dilon­tarkan oleh para kreator di Indonesia.

Memang. selama ini tidak dapat dimungkiri adanya pembajakan yang merajalela. Di sana sini terdapat peredaran DVD; VCD; Disk; soft ware palsu. Pemasarannya pun begitu bebas dan lepas. Suatu tindakan hukum pun jarang diambil bilamana tidak ada laporan dari pihak yang dirugikan. Apalagi Undang-Undang No. 24 Tahun 2014 tentang Hak Cipta hanya ber­pedoman kepada azas delik aduan, yang intinya suatu perkara baru dapat di­ajukan apabila ada pihak yang di­rugikan melaporkan. Sehingga, per­kara pembajakan hak ciptapun jarang bergulir ke pengadilan.

Selama ini kebanyakan perkara yang muncul di pengadilan hanya seng­keta “hak ekonomi” dari pe­nya­nyi; artis; pemain film; pemain si­ne­tron dan penulis buku. Perma­sa­lahan tentu saja menyangkut honor yang diterima dalam perjanjian, yang lebih bersifat dalam keperdataan. Artinya, hanya tuntutan perdata dalam penye­le­saian suatu masalah perdata yang menjadi inti persoalan. Sedangkan hal yang menyangkut pidana, soal honor tidak dapat dipermasalahkan. Karena ini menyangkut perjanjian antara 2 (dua) pihak dan arah hukumnya lebih tertuju pada wanprestasi, bukan unsur tipu menipu ataupun penipuan.

Sejatinya seorang pencipta dalam hukum hak cipta tidak hanya semata-mata dapat dirugikan dalam “hak ekonominya”, akan tetapi “hak moral” dalam suatu ciptaan juga tidak jarang diubah atau dimutilasi untuk kepeti­ngan dan oleh pihak ketiga. Salah satu contoh dalam masya­rakat yang se­ring terjadi yaitu adanya penam­ba­han atau pengurangan kata; kalimat; bait dalam suatu rekaman CD dan film di VCD; DVD atau penambahan teks dalam copy rekaman untuk tujuan ko­mersil.

Pertanyaan pun timbul apakah per­buatan demikian itu dianggap melang­gar hak cipta seorang pencipta atau tidak? Apakah mengu­bah atau me­nambah kata-kata dan teks dari versi ori­ginal suatu ka­rya cipta ini perlu men­dapat izin dari seorang krea­tor? Ke­mu­dian se­jauh ma­na­kah suatu teks/tu­li­san dapat di­tam­­­bahkan atau diku­rang­­kan da­lam suatu re­­kaman mi­lik seorang pencipta?

Tidak jarang pula per­tanyaan timbul, apa men­jadi kriteria “pe­ru­bahan” dan “penam­ba­han” kata; teks mau­pun logo atau pun gambar pada suatu karya cipta yang dilanggar? Apakah ada ukuran jumlah “mini­mum” dan “mak­simun” suatu kata/teks/logo yang diubah sehingga baru di­kua­li­fi­kasikan sebagai perlang­garan hak cipta?

Pertanyaan-pertanyaan ini diaju­kan dikarenakan pelanggaran suatu hak cipta tidak hanya semata-mata karena  “econo­mic right” dari seorang pen­cipta yang  dilanggar, tapi “moral right” juga harus diperhatikan.

Selama ini dalam praktik banyak artis; produser;  penulis karya ciptanya dipleset­kan bahasa dan tulisannya.  Lagu; film; lukisan; dan tulisan di­potong; ditambah; dimanipulasi ben­tuknya untuk memenuhi pasaran ko­mersil. Sudah seyogiyanya perbuatan dan tindakan demikian perlu izin dari pen­cipta, karena menyangkut hak moral dari pencipta.

Dalam Undang-Undang Hak Cipta Pasal 5 mengatur bahwa hak moral  adalah hak dari pencipta untuk mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaaan, modifikasi ciptaan atau hal yang bersifat merugikan kehormatan atau reputasinya.

Namun, perbuatan dari pelang­ga­ran tersebut patut disayangkan hanya di­kena­kan sanksi perdata. Artinya, pi­hak yang dirugikan hanya dapat meng­gugat secara perdata terhadap per­buatan distorsi hak cipta tersebut. Se­bab, perbuatan tersebut tidak me­menuhi ketentuan pidana dari Un­dang-Undang Hak Cipta yang baru di­lak­sanakan pada tahun 2014. De­ngan demikian tidak dianggap me­lang­gar ketentuan pidana dalam hu­kum hak cipta.

Berbeda dengan ketentuan se­be­lumnya yakni Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Di un­dang-undang ini diatur ketentuan pi­dana.  Pasal 72 ayat (6) mengatur, pe­langgaran hak moral dapat dipidana penjara selama 2 (dua) tahun.

Penulis adalah seorang Advokat dan pakar HKI dan banyak tangani kasus HKI (Hak KekayaanIntelektual) di Jakarta.

()

Baca Juga

Rekomendasi