Kisah Yusuf, Lumbung dan Kita

Oleh: Hidayat Banjar

Surat Yusuf adalah surat ke-12 dalam Al-Quran. Surat ini terdiri atas 111 ayat dan termasuk golo­ngan surah Makkiyah. Surat ini dinamakan surat Yusuf karena titik berat dari isinya mengenai riwayat Nabi Yusuf. Dari cerita Yusuf ini, Nabi Muhammad mengambil pelajaran yang banyak dan meru­pakan penghibur terhadap dirinya dalam menjalankan tugas. Lalu bagaimana dengan pemimpin kita?

Nabi Yusuf Alaihisalam adalah salah seorang nabi Allah yang wajib kita imani. Beliau adalah keturunan Dari Nabi Ibrahim Alaihisalam. Nabi Yusuf adalah putera Nabi Yackub dan cucu dari Nabi Ishak. Nabi Ishak adalah putera Nabi Ibrahim dari Siti Sarah. Jadi Nabi Yusuf adalah cicit Nabi Ibrahim.

Pada kesempatan ini, kita tidak membahas ke-111 ayat, melainkan yang berkaitan dengan lumbung saja yakni Surat Yusuf: 47-49. Dewasa ini persoalan lumbung merupakan hal yang krusial bagi bangsa Indonesia.

Karena disangkakan meng­gangu istri raja (penguasa), Yusuf dijeblos­kan ke dalam penjara. Padahal Zulaikha – istri rajalah – yang sangat terpesona dengan ke­tampanan Yusuf. Di penjara Yusuf mempunyai dua orang teman, yaitu penyaji makanan dan penyaji minuman raja.

Suatu hari raja bermimpi meli­hat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus. Juga, tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh butir gandum yang kering. Raja meminta para nujum untuk menak­wilkan mimpi terse­but. Tapi tak satu pun yang berhasil. Saat itulah penyaji minuman bekas teman Yusuf dalam penjara meng­hadap raja. Penyaji minuman itu mengatakan pada raja bahwa sewaktu di penjara dia punya teman yang bisa menakwilkan mim­pi, yaitu Yusuf.

Masa Panen

Raja menyuruh penyaji minu­man bertanya pada Yusuf tentang takwil mimpinya. “Takwil mimpi raja adalah bangsa kita akan mengalami masa panen yang luar biasa selama 7 tahun berturut-turut. Ketika masa ini berlangsung, jangan habiskan apa yang dipanen akan tetapi simpan sebagian hasil panenan tersebut sebagai lumbung makanan,” tutur Yusuf.

“Akan datang setelahnya, tujuh tahun masa paceklik mengerikan menghabiskan lumbung makanan yang sudah kalian persiapkan sebelumnya. Sisihkan sedikit lumbung makanan tersebut sebagai benih yang akan kalian tanam”.

“Setelah masa paceklik ini, akan datang musim hujan menyapu segala kesengsaraan yang terjadi dan semua orang bisa memeras anggur”.

Dari rangkaian ucapan Nabi Yusuf Alaihissalam, setidaknya ada dua renungan yang dapat diambil. Pertama seorang mukmin harus memiliki rencana ke depan. Sebagai­mana Nabi Yusuf mem­bikin rencana untuk 14 tahun ke depan. Tapi perlu diingat bahwa dalam membikin rencana kita harus bertawakkal kepada-Nya. Man suppose God dispose (manusia merencanakan tetapi Allah-lah yang menentukan).

Yang kedua, bagaimana menge­lola makanan sehingga tidak kela­paran. Yusuf menganjurkan perlu adanya lumbung pangan. Di tengah anomali perdagangan komoditas pangan beberapa pekan ini, seyo­gianya pemegag kebijakan mem­buka kembali tradisi lumbung yang didedahkan dalam Al-Quran. De­ngan lumbung, rakyat tak perlu cemas terjadinya permainan para pemburu rente. Biarkan saja mere­ka menumpuk bahan pangan di gudang ataupun melakukan per­mai­nan kartel, rakyat punya lum­bung untuk makan. Siapa takut?

Untuk itu, desa wajib memiliki lumbung. Kehadirannya meru­pakan tanggapan atas ketidak­pastian pada keadaan: perang, peru­bahan cuaca (kekeringan), guncangan politik dan ekonomi, serta serangan hama. Lumbung adalah sebuah kearifan yang melin­tasi ruang dan waktu untuk selalu bertahan serta terus diperta­hankan.

Sebuah Harapan

Lumbung adalah sebuah hara­pan akan masa depan yang lebih baik. Ada semangat kemajuan, opti­­misme yang diusung. Ia meng­hadir­kan romantika masa keema­san di mana pesta selalu menjadi hal yang meriah dan agung bagi masyarakat pedesaan. Semua ber­mula dari lum­bung dan berakhir pada lum­bung. Lumbung tak boleh kosong karena benih harapan wajib disemai selalu.

Ragam rupa lumbung juga sejalan dengan ragamnya cerita rakyat. Cerita rakyat yang populer adalah Dewi Sri. Dalam cerita rakyat yang kebanyakan me­ngambil latar tempat di pedesaan, lumbung selalu hadir. Dari sana, kita pun tahu bahwa lumbung tidak semata diperuntukkan untuk padi, juga tanaman pangan sejenisnya.

Sejarah mencatat peranan lum­bung yang sangat penting. Tercatat bahwa serangan kedua yang dilan­carkan oleh Sultan Agung dari Ke­sul­tanan Mataram ke Batavia pada tahun 1629 mengalami kegagalan karena lumbung-lum­bung beras yang didirikan secara tersembunyi di Kerawang dan Cirebon berhasil dibakar oleh VOC berdasarkan infor­masi dari mata-mata mereka. Alhasil, 14.000 prajurit Kesultanan Mataram menderita kurang perbekalan.

Ketika bergulir dana desa, lumbung sudah sewajarnya diprio­ritaskan supaya tidak ada lagi berita tentang ancaman kelaparan yang diderita petani. Lumbung mesti menjadi garda depan melawan renterir karena merupakan bentuk paling tradisional lembaga keua­ngan masyarakat.

Yusuf dapat mengartikan mimpi Firaun yang berkaitan dengan ma­ka­nan. Ini bukan berkaitan dengan masakan apa, tetapi bagai­mana makanan itu diperoleh, apa yang akan dimasak, siapa yang akan makan, berapa banyak maka­nan yang akan dimakan. Penga­turan hal tersebut memer­lukan standar kepintaran dan kete­rampilan dalam mengolah segala sesuatu.

Mengatur secara Baik

Yusuf membuat lumbung dan menabung gandum sebagai perse­diaan makanan untuk digunakan pada tahun kurus. Yusuf mengatur secara baik hasil pada musim gemuk sebagai persediaan musim kurus. Ketika tiba musim kurus, Yusuf mengatur pengeluaran se­hingga cukup untuk tujuh tahun dimakan oleh satu negara. Ini meru­pakan gambaran manusia cerdas dan memiliki hikmah dari Allah.

Secara historis-empiris, pada masyarakat pedesaan tempo dulu gerakan menabung pangan teruji mampu mereduksi kesenjangan, mencegah rawan pangan, dan menihilkan angka kelaparan. Lang­kah yang perlu dilakukan peme­rintah adalah menumbuhkan kembali dan merevitalisasi peran lumbung pangan atau lumbung desa di setiap daerah. Lumbung desa sebenarnya juga sudah diamanatkan dalam UU No 18/2012 tentang Pangan. Menurut UU itu, pemerintah pusat dan daerah harus memfasilitasi pengem­bangan cadangan pangan masya­rakat sesuai kearifan lokal.

Sayangnya, budaya luhur ini sudah luntur tertelan zaman. Lum­bung desa kalah bersaing dengan budaya kredit bank yang semakin menguasai keadaan. Petani di saat paceklik akan meminjam uang dari bank, kemu­dian mengembalikan­nya pada waktu panen dengan tambahan bunga 12,5 persen.

Agar berfungsi maksimal, lum­bung desa perlu dikelola, baik dari sisi kelembagaan maupun dari ma­najemennya. Kelembagaan lum­bung desa diarahkan agar dalam masyarakat terjadi peruba­han peri­laku, pengetahuan, kete­ram­pilan, dan sikap yang muaranya pada tingkat partisipasi dalam pe­lak­sanaan pembangunan, khu­sus­nya ketahanan pangan pedesaan.

Dari sisi manajemen, bantuan dan dukungan pemerintah sangat diper­lukan. Pemerintah, tulis Pos­man Sibuea (2011), perlu membe­rikan pelatihan penguasaan tekno­logi pascapanen padi dan pelatihan manajemen usaha tani. Langkah ini tak hanya menjamin keberadaan lumbung desa, juga akan meng­gerakkan perkembangan ekonomi pedesaan. Jika manajemennya sudah berjalan efektif, ke depan peran lumbung pangan tidak hanya sebagai tempat penyimpanan saat over produksi, tetapi juga sebagai sarana penundaan penjualan untuk semen­tara waktu sampai harga ada pada tingkat yang memberi keun­tungan petani sekaligus mematikan mata rantai pengijon. Singkatnya, akan ada metamorfosis lumbung desa menjadi lumbung pangan modern yang langsung dikelola petani.

Agar tidak ditinggalkan seperti di masa lalu, lumbung desa, tulis Hadi Santoso (2011), harus dimo­dernisasi, baik dalam konsep maupun fasilitas terutama di desa-desa yang rawan pangan. Lumbung modern ini perlu dilengkapi alat pengering, lantai jemur, dan manajemen baru yang bisa disi­nergikan dengan koperasi unit desa (KUD). Semoga. ***

Penulis Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Agama

()

Baca Juga

Rekomendasi