Oleh: Syafitri Tambunan. Water Front City atau konsep pengembangan daerah tepian air biasanya terdapat di kawasan seperti tepi pantai, sungai ataupun danau, atau bagian kota yang berbatasan dengan air dan daerah pelabuhan.
Di berbagai negara, konsep ini biasa dibuat dengan melekatkan unsur budaya. Menurut analisis Akademisi Arsitektur, Sri Shindi Indira, S.T., M.Sc., sering melekat pada budaya penyelarasan bangunan. Praktisi yang juga Dekan Fakultas Teknik di UnPAB ini menyebutkan, konsep ini ada di negara yang menerapkan prinsip Confusius atau keselarasan dengan alam.
“Jepang bisa menerapkan konsep water front city karena konsep budaya di sana berasal dari sejarah Cina yaitu Confusius. Jadi, antara lingkungan terbangun dengan lingkungan alam dapat selaras,” ucapnya.
Jepang, dalam beberapa sudut, memang terlihat menciptakan keharmonisan antara keseimbangan alam dengan bangunan-bangunan tingginya. Meskipun bangunan moderennya cukup 'fantastis', dengan tinggi yang menjulang, namun di sisi lain masih membuat lokasi 'hijau' di sudut-sudut tertentu.
Ini, lanjutnya, juga terkait dengan budaya masyarakat sendiri. "Masyarakat Jepang, memiliki asal budaya yang disebut 'budaya malu'. Budaya ini masih berlaku diterapkan ke semua warga, mulai dari orang biasa-biasa saja sampai ke pejabat pemerintahan," ungkapnya.
Mungkin, ini yang menurut mereka sebagai keselarasan, yang kemudian mempengaruhi konsep penataan kotanya. Ada bangunan tinggi, tapi tetap berkomitmen menjaga keseimbangan alam.
Sementara, lanjutnya, konsep water front city ini belum tercipta di Kota Medan. Meskipun potensinya sangat besar, mengingat Medan punya lokasi yang mirip dengan water front city tersebut.
"Water Front City memang cocok diaplikasikan di Belawan. Karena potensi pesisirnya. Seharusnya, Medan yang lahir dari pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura, bisa menerapkan konsep ini," lanjutnya.
Sayang, kenyataannya, meski potensinya sangat besar, namun tidak juga dilakukan di kawasan ini. "Kenyataannya, sekarang, Sungai Deli menjadi pembuangan bagian belakang kota," ungkapnya.
Artinya, bukan hanya secara infrastruktur, Medan juga belum siap dalam hal mental. "Secara infrastruktur dan mental masyarakat kita belum siap menerima pembangunan itu," ujarnya Sri yang juga aktif di Pusat Studi Arsitektur dan Perkotaan Univ Pembangunan Pancabudi.