Oleh: Hidayat Banjar
HUBUNGAN negeri China dengan Nusantara sudah ada sejak berabad lalu. Migrasi masif etnis Tionghoa ke Kota Medan dan sekitarnya dimulai dengan dibukanya perkebunan tembakau besar-besaran di Kesultanan Deli. Jejak itu masih tersisa di Paya Bakung yang terdiri dari rumah tandil dan Vihara Budi Kirti/Kuan Tie Bio.
Melihat dari data yang ada, pembangunan Vihara Budi Kirti ini lebih awal dari rumah tandil (mandor) yakni pada 1861. Rehab pertama dilakukan pada 1922 dan rehab kedua dananya dari masyarakat pada 2011. Ini artinya komunitas masyarakat Tionghua sudah ada di Paya Bakung jauh sebelum rumah tandil didirikan.
Tercatat pada tahun 1879, Belanda berhasil mendatangkan 4.000 kuli China. Semakin meningkat (tahun 1888) menjadi 18.352 kuli China. Kedatangan buruh China pada akhir abad ke-19 diawali oleh krisis tenaga kerja murah. Tuan-tuan kebun saat itu mendatangkan buruh China, Jawa, India, Boyan (Suku Bawean) dan Banjar. Pada tahun 1890, tenaga kerja asal China berjumlah 40.662 orang lebih jika dibandingkan dengan kuli asal Jawa, India, Boyan dan Banjar (www.kompas.com).
Kedatangan buruh China merupakan saingan baru bagi buruh berasal dari Jawa dan India. Tenaga kerja yang datang pun melonjak drastis dari tahun ke tahun. Keadaan China di Medan pada saat itu berbeda status sosialnya dan sangat marginal.
Mereka hanya bekerja sebagai kuli perkebunan tembakau, tebu dan karet. Hanya sebagian kecil mereka menjadi pedagang dan membuka kebun sayur. Pada akhirnya muncullah istilah “china kebun sayur”.
China kebun sayur ditujukan untuk menyebut mereka yang masih sangat rendah penghasilannya. Tidak kuatnya modal bila berhadapan dengan pedagang pribumi ketika itu.
Berubah
Sejarah berubah. Para china kebun sayur, menjadi pengusaha toko. Pemilik sejumlah industri, surat kabar, pabrik, eksportir. Bahkan pemilik perkebunan, pasar swalayan, bank, sekolah, sampai pemilik restoran. Ini menunjukkan sekitar 80% kegiatan bisnis di Indonesia telah dikuasai oleh keturunan China (Lubis, 1995: 36).
China kebun sayur adalah orang-orang China yang menjadi pedagang sayur atau berkebun sayuran. Istilah ini untuk menyebutkan mereka yang penghasilannya sangat rendah.
Pada awalnya, china kebun sayur menjadi kuli kontrak perkebunan dan mendapatkan lahan/tanah untuk berkebun. Menurut Luckman Sinar, Kuli China pertama kali datang ke Deli ini dengan nama Munawian Chetty.
Pelacakan jejak kuli kontrak di Paya Bakung dilakukan pada 25 Juni 2016. Tim KSI (Komunitas Sastra Indonesia) Medan mengunjungi Desa Paya Bakung, Dusun XV Pondok Seng Kecamatan Hamparan Perak Deli Serdang. Tim terdiri dari: Idris Pasaribu, Nasib Ts, Arbi Tanjung, Hidayat Banjar, Dina Tobing dan Jimie Siahaan. Tim disambut Lim Kim Lai alias Aduan, cucu dari Lim Cai Koa alias El Kasim. Sehari sebelumnya Nasib Ts dan Hidayat Banjar sudah mendatangi dan menginfokan kepada Aduan. Tim mau datang, melacak jejak kuli kontrak.
Dalam pertemuan itu, Aduan menunturkan kakeknya (Lim Cai Koa) punya anak 7 orang, tiga pria dan 4 wanita. Lim Kung Swang -ayah Aduan- adalah anak kakeknya yang kedua.
“Saya sendiri anak kedua dari lima bersaudara. Empat lelaki dan satu perempuan,” ungkapnya.
Menurut Aduan, kakeknya datang dari Tingkok dan ditempatkan di rumah tandil (mandor) kebon. Rumah tandil, tercatat berdiri pada 1925.
“Kakek saya dipanggil dengan sebutan Baba Tandil. Kakek meninggal pada usia 64 tahun, tapi tahunnya saya tak ingat,” jelas Aduan yang lahir pada 1974.
Suburnya lahan di Sumatera Timur-lah yang menarik perhatian seorang warga Belanda, Jacob Nienhuys. Dia mulai mengusahakan perkebunan tembakau di wilayah Kesultanan Deli setelah kedatangannya pada pertengahan 1863.
Saat Nienhuys pertama kali tiba di Kesultanan Deli, sudah ada etnis Tionghoa yang tinggal di daerah ini. Ini dapat dibuktikan dari keberadaan Vihara Budi Kirti (1861). Dipertegas pula dalam jurnal ‘Masuknya Bangsa China ke Pantai Timur Sumatera’ yang ditulis Jufrida dan diterbitkan Universitas Sumatera utara (USU). Saat itu di kampung Labuhan Deli tempat Nienhuys menetap terdapat sekitar 20 orang Tionghoa dan 100 India dari sekitar 1.000 penduduk yang tinggal di sana. Selebihnya merupakan penduduk lokal Melayu.
Dipercaya Belanda
“Ya, kakek juga berceirta, sebelum dirinya tiba di Paya Bakung, sudah terdapat masyarakat Tionghua lainnya. Kakek dipercaya Belanda menempati rumah tandil karena jabatannya,” tambah Aduan.
Menurut Aduan -yang disampaikan oleh kakeknya- Belanda lebih senang menempatkan orang China sebagai mandor dan kuli yang membuat pengairan. Jabatan centeng biasanya dipercayakan kepada orang Batak atau Jawa.
“Sekarang di Paya Bakung, hanya tersisa empat keluarga Tionghua,” jelas Aduan.
Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij pada 1869, setelah mendapat hak konsesi dari Sultan Deli. Perusahaan ini terus berkembang pesat. Untuk itu Deli Maatschappij pun mendatangkan kuli kontrak dari China, Pulau Jawa dan India. Para kuli didapat dari agen di Penang dan Singapura. Di awalnya, ratusan kuli kontrak yang didatangkan dari China meninggal karena penyakit.
“Pada 1869-1870, terdapat 217 kuli China yang baru didatangkan meninggal,” kata sejarawan Belanda, Dirk A Buiskool beberapa waktu lalu.
Meninggal atau sakitnya kuli kontrak memberi kerugian besar bagi Deli Maatschapij. Mereka pun membangun Hospital van de Deli Maatschappij. Belakangan dikenal dengan nama RS Tembakau Deli di Jalan Putri Hijau.
“Rumah sakit itu dibangun sebagai tempat pemeriksaan kesehatan para kuli China yang didatangkan sebagai pekerja di perkebunan,” jelas Briskool.
Kesimpulannya, setelah melewati sejumlah fase sejarah, mulai dari zaman Belanda, pendudukan Jepang. Kemerdekaan, Orde Lama, pergolakan 1965, Orde Baru, reformasi dan pascareformasi, etnis Tionghoa sudah membuktikan mereka bisa membalikkan keadaan. Dari kaum kuli menjadi kelompok eksklusif.
Pada 1965 keluarga Aduan tidak terimbas dengan isu Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Menurut orangtua saya, suasana memang mencekam dan mengerikan. Hampir setiap hari ada iring-iringan mobil yang membawa orang-orang untuk dihabisi. Keluarga kami aman-aman saja. Sejak kakek, orangtua, hingga kami tidak pernah menyakiti masyarakat. Yang menakutkan justru pemberontakan Simbolon,” jelas Aduan.
Pada aksi 1998 pun keluarga Aduan aman-aman saja. “Kami di Paya Bakung ini hidup seperti satu keluarga,” lanjut Aduan yang dikarunia tiga anak, satu lelaki dan dua perempuan.











