Oleh: dr. Rudi Candra, Sp.A
Konstipasi pada anak sering menimbulkan masalah yang cukup serius. Konstipasi terdiagnosis pada 3% anak yang berobat pada dokter spesialis anak. Keluhan yang berhubungan dengan buang air besar (defekasi) ditemukan pada 25% anak yang berobat jalan pada dokter spesialis saluran pencernaan anak. Diperkirakan prevalensi konstipasi pada populasi anak secara umum bervariasi antara 0.3-10.1% dengan 90% diantaranya merupakan konstipasi fungsional.
Dalam kepustakaan belum ada kesepakatan mengenai batasan konstipasi. Menurut kriteria klasik, secara umum konstipasi ditegakkan bila terdapat minimal dua kondisi berikut:
1. Frekuensi defekasi dua kali atau kurang dalam seminggu tanpa pemberian obat pencahar.
2. Terdapat dua kali atau lebih episode soiling/enkopresis setiap minggunya.
3. Terdapat periode pengeluaran tinja dalam jumlah besar setiap 7-30 hari.
4. Teraba benjolan diperut atau direktal (dekat anus) pada saat pemeriksaan.
Di dalam istilah konstipasi juga dikenal soiling dan enkopresis. Soiling mempunyai arti sebagai pengeluaran tinja secara tidak disadari dalam jumlah sedikit sehingga sering mengotori pakaian dalam. Sedangkan enkopresis diartikan sebagai pengeluaran feses dalam jumlah besar secara tidak disadari.
Secara umum keluhan anak dengan konstipasi berupa kesulitan buang air besar (BAB) kurang dari 3 kali dalam satu minggu, nyeri dan perut membesar menyertai tertahannya tinja dan menghilang sesudah BAB. Riwayat tinja yang keras atau tinja yang besar yang mungkin menyumbat saluran toilet, kecipirit di antara tinja yang keras (sering dianggap sebagai diare), anoreksia dan berat badan sulit naik. Terkadang anak sering berupaya menahan defekasi (BAB) yang sering di salah tafsir sebagai upaya mengejan untuk BAB yaitu dengan menyilangkan kedua kaki, menarik kaki kanan dan kiri bergantian ke depan dan ke belakang (seperti berdansa). Terkadang inkontinensia dan infeksi saluran kemih pada anak seringkali berkaitan dengan konstipasi.
Beberapa kebiasaan dan keadaan dapat juga berpengaruh dalam penyebab konstipasi seperti pola diet yang berubah (kurang sayur dan buah, banyak minum susu), masalah dalam keluarga seperti pindah rumah, perubahan aktifitas rutin sehari-hari, ketersediaan toilet dan kemungkinan adanya child abuse.
Umur pada saat awal kejadian atau gejala timbul juga dapat memperkirakan kearah mana kelainan tersebut, jika gejala timbul sejak lahir kemungkinan besar penyebabnya adalah kelainan anatomi seperti penyakit Hirschprung harus dipikirkan.
Bila gejala awal timbul saat usia toilet training (> 2 tahun) kemungkinan besar penyebabnya adalah fungsional. Adanya demam, perut kembung, anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan atau berat badan sulit naik mungkin merupakan gejala gangguan organik. Diare berdarah pada bayi dengan riwayat konstipasi dapat merupakan indikasi dari penyakit enterokolitis yang merupakan komplikasi dari penyakit Hirschprungs.
Pada umumnya keadaan klinis pasien dengan konstipasi adalah perut membesar dan jika dilakukan pemeriksaan oleh dokter terdengar suara usus yang meningkat atau berkurang atau normal, terabanya massa (benjolan) didaerah perut kiri dan kanan bawah dan dibawah pusat, sedangkan pada konstipasi berat massa tinja dapat teraba hingga daerah diatas pusat. Pada pemeriksaan daerah anus terdapat luka lecet pada anus.
Oleh karena konstipasi yang paling banyak terjadi pada anak-anak adalah konstipasi fungsional, maka tata laksana lebih ditujukan untuk konstipasi fungsional, meliputi:
- Edukasi kepada orang tua mengenai pengertian konstipasi, meliputi penyebab, gejala maupun terapi yang diberikan
- Evakuasi atau pembersihan tinja yang keras (Skibala) adalah awal yang penting sebelum dilakukan terapi rumatan. Skibala dapat dikeluarkan dengan obat per oral atau per anus.
- Obat-obatan per oral yang biasa dipakai adalah mineral oil (parafin liquid), larutan polietilan glikol, laktulosa, sorbitol. Pada bayi digunakan supositoria/gliserin. Program evakuasi tinja dilakukan selama 3 hari berturut-turut agar evakuasi tinja sempurna.
- Setelah berhasil melakukan evakuasi tinja, dilanjutkan dengan terapi rumatan untuk mencegah kekambuhan, meliputi:
* Intervensi diet, anak dianjurkan banyak minum, mengkonsumsi karbohidrat serta serat
* Modifikasi perilaku dan Toilet training. Segera setelah makan, anak dianjurkan untuk buang air besar, berilah waktu sekitar 10-15 menit bagi anak untuk buang air besar. Bila dilakukan secara teratur akan mengembangkan refleks gastrokolik pada anak.
* Pemberian obat laksatif seperti Laktulosa, sorbitol, mineral oil, larutan magnesium hidroksida. Terapi rumatan mungkin diperlukan selama beberapa bulan. Ketika anak telah memiliki pola defekasi yang teratur tanpa ada kesulitan, maka terapi rumatan dapat dihentikan. Namun harus disadari bahwa sering terjadi kekambuhan dan kesulitan defekasi dapat berlanjut sampai dewasa.