Eksplorasi “Tubuh” dalam Karya Sastra

Oleh: Sisi Rosida

PEMBICARAAN ten­tang tubuh, menyeret tubuh individual sebagai keragawian atau tubuh sosial. Tubuh sering dibentuk sedemikian rupa me­wa­kili gambaran kecantikan. Ba­gian-bagian tubuh sebagai ba­han empuk (objek), untuk di­jadikan sebagai penggambaran, dianggap mampu mewakili es­tetika.

Di era postmodern, ba­nyak pe­nulis yang mengeks­plo­rasi “tubuh” dalam karya sastra­nya. Tu­buh memang memegang pe­ranan penting, bernilai seni da­lam dunia postmodern.

Bagaimana jika karya sastra menyangkut dengan organ intim, seperti alat kelamin? Semio­ti­sa­si tubuh dalam sastra menyeret gaya bahasa yang  vulgar. Meru­juk pada seks, bersifat impulsif, irasional dan penuh gairah. Ini­lah yang selalu dinilai melam­paui batas norma dan budaya. Se­bab, hal ini masih dianggap tabu dalam lingkaran masya­rakat, penyandang budaya timur.

Sebagian kritikus sastra  me­nge­sahkan adanya karya-karya yang mengangkat tubuh, berte­makan seks. Bahkan menges­plorasi “alat kelamin”, dinilai se­bagai karya sastra tingkat eks­presifitas tinggi, indah, berani dan mengusung ide feminis. Banyak pembaca yang malah me­minggirkan karya sastra ter­sebut dari bacaannya.

Terlepas dari itu, diksi yang di­sajikan belum dapat diterima oleh masyarakat umum. Gaya ba­hasa  menjurus kearah yang vul­gar, erotis. Seperti pada “Wa­jah Sebuah Vagina” karya Naning Pranoto, tentang ketidak adilan dan kekerasan terhadap perempuan, “Saman” karya Ayu Utami menggambarkan ten­tang cinta dan seks, namun tidak melepaskan diri dari peng­gambaran politik dan agama yang dilakoni oleh setiap tokoh­nya. “Jangan Main-Main de­ngan Kelaminmu”  karya Dje­nar Maesa Ayu, dengan jelas dan lugas memaparkan kebe­basan tubuh dan diri perempuan.

Dalam karya sastra me­ng­eksplorasi tubuh (kelamin dan seks), sering ditulis oleh ka­um perempuan (baca: sastra wa­ngi). Dinilai vulgar, erotis dan tak berestetika. Padahal, mungkin niat para penulis ingin meng­ang­kat derajat kaum perempuan. Me­nunjukkan, perempuan bisa menuangkan ekspresi dan inisia­tif melalui sastra kreatif. Itu dari fenomena umum.

Dari sosiologis penulis, bisa saja penulis merasa kelamin bukanlah hal yang tabu untuk di­perbincangkan. Diangkat dalam karya sastra, serta merasa hal itu biasa-biasa saja.

Secara umum, ”kelamin” se­lalu identik dengan hal yang tabu. Terjadi penjerumusan ka­rya sastra berbau vulgar, yang ber­muara pada pendangkalan ni­lai-nilai estetik karya sastra. Teks sastra kreatif malah ter­ping­­girkan, dan di-cap tidak men­didik (sastra sampah). Pa­da­hal, jika ditelaah dari kaca­mata sastra, tidak ada batasan ter­tentu terhadap suatu karya sastra. Penulis berhak mengem­bangkan pikiran kreatifnya da­lam memproduksi karya sastra. Sastra wangi mungkin mena­war­kan nilai tertentu dalam ma­syarakat dengan cara yang lain.

Sastra wangi (penulis perem­puan) menggambarkan perem­pu­an sebagai kaum yang juga memiliki kebebasan. Tidak ter­pa­sung aturan rumah tangga se­ba­gai seorang yang harus selalu berada di bawah laki-laki. Dici­trakan sebagai orang-orang ke­dua setelah laki-laki.

Kolonialisme tidak hanya ter­jadi pada bentuk fisik yang ter­lihat secara nyata. Juga pada pen­jajahan mental dan pikiran yang diwujudkan pada peguasa­an identitas dan penamaan. Ter­ikat sisi-sisi budaya sosial yang dibentuk sesuai dengan kepen­tingan kolonialisme. Secara sis­tematis diselipkan melalui pen­didikan, sistem sosial, agama, ke­senian, bahkan sampai pada gender, tradisi, seksualitas dan lainnya.

Revolusi tubuh merupakan pem­bebasan dari ketertindasan atas dominasi kekuasaan dan norma-norma, tabu, dan pelepa­sannya. Kapitalisme dengan bu­daya komoditi, sebagai mara ba­gi pelepasan hasrat dan pengga­lian potensi. Adanya penciptaan ruang bagi pelepasan hasrat, se­hingga setiap orang dapat meng­ekplorasi libido dan kreatifi­tas­nya.

Dalam wacana postmodern­isme, salah satu bentuk vulgari­tas dan pendangkalan nilai-nilai estetik adalah Kitsch. Semacam peristilahan untuk karya kepe­nulisan kreatif yang dianggap se­bagai bentuk bad taste (selera rendah) atau sampah artistik. Hal ini disebabkan oleh rendah­nya standar estetik yang diguna­kan. Sehingga, nilai estetik tidak menonjol, melainkan dibalut oleh nilai provokasi, yakni ero­tisme, sensualitas, seksualitas. (Damhuri Muhammad, Suara karya, 2009).

Memang, nilai estetik dalam karya sastra seolah ditopengi oleh vulgaritas dan erotisme. Inilah yang berdampak pada pe­marginalan karya sastra itu sen­diri. Justru, karya sastra yang kre­atiflah yang mampu melam­bung, bahkan mendobrak angka penjualan yang tinggi.

 Foucault dalam The History of Sexuality (1978), menggung­kapkan ada dua jenis kekuasaan yang sangat penting dalam wa­cana tubuh. Pertama, kekuasaan atas tubuh. Kekuasaan eks­ternal yang mengatur tindak-tanduk, mengadakan pembatasan, pela­rangan dan pengendalian ter­hadap tubuh (hukum, tabu dan UU). Kedua, kekuasaan yang memancar dari dalam tubuh. Me­lalui ”revolusi tubuh” tercipta ruang bagi perkem­bangbiakan dan pelipat gandaan dikursus seksual yang terbebas dari dominasi kekuasaan.

Tubuh memang selalu terikat oleh norma-norma, didominasi oleh hukum dan undang-undang. Begitupula dengan sastra yang sa­ngat erat kaitannya dengan ke­budayaan. Suatu inspirasi yang terkekang itu justru mem­ba­ngun hasrat setiap orang untuk mengembangkan ide kreatif de­ngan meraih keuntungan.

Sejatinya, tidak ada dinding yang membatasi sastra dengan kreativitas penulis. Selama ka­rya sastra tetap menjadi pembe­lajaran dan memegang ideolo­ginya. Hanya saja penilaian itu sebagai bentuk penerimaan dalam masyarakat. Pusar yang ditonjolkan, perut yang terbuka, bibir yang dikulum, daging, betis dan puting, bukan lagi hal yang tabu bagi sikap positivisme yang menerima nilai estetika dalam karya sastra.

Dari pemahaman di atas, mungkin sastra sensual tidak ter­batas dalam aspek pragmatik (pembacanya). Dibutuhkan pe­ran pendidik sebagai ”obat” bagi bangsa kita yang masih rabun sastra.

UMSU, 2016

()

Baca Juga

Rekomendasi