Oleh: Jones Gultom
SUDAH empat hari ini laki-laki itu selalu mampir ke warung kami. Memesan seteko tuak dan sebungkus rokok, lalu pergi. Tak seperti peminum lain yang biasa menghabiskan berteko-teko sambil ngalur-ngidul di warung. Jika pun terpaksa, paling dia menghabiskan segelas, lalu berlalu. Alasannya ada kawan yang menunggu di rumah. Orang-orang pun sepertinya sudah maklum dengan kebiasaannya. Seolah mereka mengerti apa yang sedang dia alami.
Konon, menurut cerita orang-orang, dulunya dia seorang preman besar. Di tahun 80-an, dia telah menguasai tempat-tempat strategis di Kota Medan. Keganasannya di pasar tak terceritakan. Dia tak segan-segan menghabisi lawannya bila sedang berkelahi. Termasuk pernah membunuh seorang polisi berpangkat sedang dengan tangan kosong. Meski begitu, dia tak pernah ditangkap, apalagi sampai masuk penjara.
Bersama kelompoknya mereka menguasai Olympia, Sambu, Sentral dan Pajak Lama. Tugas resminya adalah mengutip setoran dari para pedagang yang berjualan di situ. Termasuk retribusi parkir. Tak hanya sampai di situ, mereka juga merangkap sebagai tukang pukul atau bodyguard. Sesekali menjadi calo tiket bioskop. Jika tak ada uang, mereka tak segan-segan mencuri atau merampok. Dengan kata lain, semua hal yang berbau uang, halal atau haram akan mereka kerjakan.
“Kalau targetnya besar, kami berbagi tugas. Ada tukang gambar, ada yang ngerem, yang lain menjambret,” kisahnya suatu kali.
Kami tak punya organisasi, tapi tetap profesional. Jika seharian tak jelas, kami mengincar spion atau ban monil orang. Pokoknya apa yang bisa dijual. Barang-barang curian berupa spare part, kami jual ke Jalan Bintang, lanjutnya.
Mendengar ceritanya itu, aku sempat tak percaya. Apalagi melihat pembawaannya yang selama ini ramah dan suka membantu. Apalagi pada anak-anak. Dia tak segan-segan memberi uang jajan. Dia juga kerap dijadikan tempat bertukar pikiran. Tidak heran, beberapa kali dia diminta untuk maju menjadi Kepala Desa, tapi permintaan itu ditanggapi dengan senyum.
Meski demikian tidak ada yang tahu asal muasal laki-laki ini. Apalagi dia tidak punya keluarga dan juga tak pernah dikunjungi sanak familinya. Orang-orang hanya tahu dia adalah mantan seorang preman yang dulunya sangat disegani. Ada yang bilang dia punya ilmu menghilang. Sebagian lagi mengatakan dia adalah peliharaan tentara untuk beberapa bisnis mereka. Isu paling berkembang dia adalah seorang pembunuh bayaran.
Setahun terakhir, tepatnya sejak kematian istrinya, dia berubah total. Dia lebih sering mengurung diri. Bahkan selalu berusaha menghindar dari orang-orang. Itu sebabnya dia tak mau berlama-lama di warung bila ada pembeli yang lain.
Di rumah itu dia tinggal bersama Bulan, cucu perempuannya yang baru berumur 3 tahun. Sebenarnya Bulan bukan cucu kandungnya, karena mereka tak punya anak, meski sudah berpuluh tahun berkeluarga.
Informasi yang pernah kudengar, Bulan adalah anak salah seorang preman yang mati dia bunuh. Ibunya tidak jelas. Karena itu, dia lalu mengadopsi Bulan. Bulan diangkat menjadi cucu mereka. Tidak heran jika orang-orang memanggil mereka Opung Abraham, yang setelah senja baru memiliki momongan.
Begitulah pasangan suami istri itu menghabiskan waktunya bertiga di rumah itu. Layaknya pasangan muda yang baru mempunyai anak pertama, mereka begitu bahagia dan bahu membahu mengurus Bulan. Sampai kemudian takdir merenggut istrinya. Mengambil paksa kebahagiaan darinya. Dari sejak itulah, dia mengurung diri di rumah, bersama Bulan.
Dua teko tuak sudah dia habiskan. Juga tiga kepala kakap sebagai tambul. Selama dia di warung, tak putus-putus asap rokok mengepul dari bibirnya yang tebal menghitam.
“Apa yang tak kubuat dulu? Ngerem udah, membunuh, mencopet. Jual ganja atau pil anjing. Kalau 500 ribu itu belum seberapa. Paling sikit 1 juta satu hari. Belum lagi kalo mangsanya bule. Itu tahun 80-an waktu jaya-jayanya Olympia. Sampe cuci tanganku pun pake bir,” logatnya dalam bahasa Batak-Medan.
Dia mengambil sisa rokoknya yang tinggal sebatang. Kuhitung sudah 3 bungkus habis dihisapnya. Aku mulai khawatir. Bukan apa-apa, kalau dihitung sudah hampir 200 ribu belanjanya di warung kami.
Kulihat mamak sudah gelisah. Begitu juga aku. Sejak tiga jam lalu, aku sudah ingin beranjak saja dari warung ini. Rasa ngantuk sudah tak tertahan lagi. Apalagi sejak tadi sore cuma dia sendiri yang singgah di warung kami. Tak mungkin kutinggalkan mamak sendiri. Selain belanjanya belum dibayar, rasa segan sama laki-laki ini memaksa kami bertahan.
Sesekali mamak bertanya tentang Bulan. Dia menjawab sekenanya.” Lagi di rumah bapak tuanya dia, katanya”. Dia kembali melanjutkan ceritanya.
“Kalau kami dulu kompak. Punya persatuan. Enggak mau kami ngambil lahan orang. Masing-masing punya kavling. Simpang Limun, Olimpia, Sambu, Sentral, Thamrin, Pajak Ikan itulah dulu tempat kami cari makan. Kalau pun berantem, sportif. Ditikam ya ditikam, tapi bukan keroyokan. Kau tengoklah ini. Sama yang di punggungku ini. Bekas tikamanlah ini.” Dia memperlihatkan titik-titik hitam di lengan dan punggungnya yang juga dihiasi tato.
“Sekarang orang Medan ini dah beda. Kalau dulu preman sama pedagang itu kompak. Tak seperti sekarang. Dah tau sumber duitnya, pedagang dimaki-maki. Lagian preman sekarang pun dah tak kayak dulu lagi. Kalau kami dulu membantu pemerintah ngutip retribusi dari pedagang. Setorannya pun jelas. Semua ada catatannya. Berapa sama kami berapa yang mesti disetor. Kalau dulu kami harus ke lapangan. Berpanasan-panasan. Kalau sekarang taunya mintak-mintak sama China. Pake seragam kasih proposal. Kami mana ada dulu seragam-seragaman,” lanjutnya.
Malam makin larut. Kulihat mamak beberapa kali menguap. Dia tetap bertahan menunggui pembeli kami yang satu ini. Mau ditinggal tanggung. Tambah lagi belanjanya juga belum dibayar. Sebaliknya aku justru semakin tertarik mendengar cerita laki-laki ini.
“Kelas berapa kau, tiba-tiba dia bertanya kepadaku. Kelas 5 tulang, jawabku cepat. Itulah, bagus-baguslah kau sekolah. Tengok mamakmu ini capek kali yang nyari uang itu. Kalau sudah besar kau nanti masuk polisi, biar bisa kau tangkapi preman-preman itu.”
Aku tersentak mendengar perkataannya. Tak disangka-sangka dia berbicara seperti itu. Padahal sejak awal dia dengan bangga menceritkan kisahnya sebagai preman. Menangkap preman berarti menangkapnya juga, pikirku.
“Berapa semua inang,” tiba-tiba dia beranjak dari kursinya. Mengeluarkan beberapa lembar uang merah dan biru. Mamak langsung semangat karena berarti kami sudah bisa tutup.
Aku tidak demikian. Malah menyesali kenapa dia mau pergi ketika aku semakin tertarik dengan cerita-ceritanya. Ketika beberapa langkah meninggalkan warung, masih kudengar sayup-sayup omongannya.
“Simpanlah inang, biar ada menambahi uang sekolah anakmu,” begitu yang kudengar.
Begitulah, sejak malam itu, laki-laki itu tak pernah lagi singgah ke warung kami. Sudah lebih tiga bulan dia tak pernah nampak. Ada yang mengatakan dia sudah pergi merantau. Ada juga yang bilang dia ditangkap polisi. Tak ada informasi yang jelas. Apalagi keluarganya juga tak ada yang bisa ditanyai. Terus terang aku mulai merindukan cerita-ceritanya.
Hari ini aku begitu gembira. Rasanya tak sabar sampai ingin bertemu mamak. Dengan tergesa-gesa aku mempercepat langkah kakiku sambil benyanyi-nyanyi kecil. Maklum, hari ini pembagian rapor dan aku berhasil meraih juara tertinggi di kelas. Tak sabar rasanya menunjukkannya kepada mamak. Apalagi mamak pernah berjanji akan membelikan sepeda bila aku meraih juara di sekolah.
Aku langsung ke warung yang memang berada di depan rumah. Berteriak memanggil-manggil mamak. Tak ada jawaban kudengar. Perhatianku malah terusik dengan judul sebuah berita di koran yang terletak di meja warung. Isinya tentang seorang napi yang mati mengenaskan di dalam penjara. Tak hanya berita dengan judulnya yang bombastis, tapi juga dilengkapi dengan beberapa potongan foto yang vulgar.
Dijelaskan di koran itu, napiu itu adalah seorang bos preman yang sudah lama jadi target operasi polisi. Dia ditangkap karena merampok beberapa hari yang lalu.
Kematian preman itu diduga karena disiksa oleh oknum petugas penjara. Sekujur tubuhnya membiru. Di beberapa bagian juga terdapat bulir-bulir seperti bekas penyiksaan. Termasuk di punggung yang bertato itu. Wajar ada dugaan lain yang menyebut dia telah dihabisi sebelum dikirim ke penjara. Dugaan itu mengarah kepada keluarga korban yang dirampoknya. Kebetulan istri seorang perwira polisi. Hal itu dibantah yang bersangkutan.
Sesaat setelah membaca berita itu, rasa sedih bercampur marah menjadi satu di kepalaku. Aku tak tahu harus mau bilang apa. Hanya bisa mematung bisu. Sampai tiba-tiba ada suara yang mendesing di ujung telingaku.
“Bagus-baguslah kau sekolah ya amang, biar bisa nanti kau masuk polisi.”
Rupanya mamak telah berdiri di sampingku dengan menggenggam rapor di tangannya. Senyumnya tampak begitu bahagia.