Oleh: Suadi.
Keberadaan bahasa daerah sebagai salah satu identitas sekaligus kekayaan budaya negeri ini seakan memudar, bahkan beberapa terancam punah seperti 11 bahasa daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT). Bahasa daerah kian dilupakan seiring berkurangnya fungsi dan perannya dalam aktivitas pergaulan dan interaksi sosial. Ia hanya dibutuhkan ketika diselenggarakannya upacara tradisional, ritual adat, dan pameran budaya. Maka tidak heran banyak generasi muda yang samasekali tidak bisa bertutur bahasa daerahnya sendiri karena tidak terbiasa menggunakannya sejak dari kecil di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Banyak kalangan yang peduli akan hal itu merasa resah dan gelisah. Salah satunya adalah Indra Tranggono, yang menumpahkan kegalauannya dalam tulisannya yang dimuat di kolom opini Harian Kompas (10/08/16) berjudul: 'Bangsa Tanpa Bahasa Ibu' ia dengan tegas mencibir bahwa banyak warga Indonesia yang menjadi 'Malin Kundang' karena meninggalkan budaya dan hidup tanpa bahasa ibu.
Apa yang digelisahkan oleh Indra Tranggono mungkin juga dirasakan oleh banyak orang yang peduli akan kelestarian bahasa daerah. Bukan perkara menggeser posisi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dengan bahasa daerah, tetapi lebih kepada bagaimana mempertahankan eksistensi bahasa daerah sekaligus memperkaya Bahasa Indonesia dan tanpa menutup diri menguasai bahasa asing lainnya seperti Bahasa Inggris.
Jangan Malu
Banyak generasi muda yang cenderung merasa malu menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Memang dilihat dari segi fungsinya dalam pergaulan, bahasa daerah hanya dapat digunakan terbatas di kalangan sesama suku atau etnis yang saling tahu, paham dan mengerti bahasa tersebut. Namun, tidak salah jika penggunaan bahasa daerah juga digalakkan lebih meluas selain di kalangan sesama suku/etnis agar kelestariannya terjaga sembari tetap menggunakan Bahasa Indonesia dalam pergaulan antar etnis, di lingkungan formal dan acara resmi.
Beberapa provinsi malah menerapkan kewajiban penggunaan bahasa daerah di instansi resmi terutama sekolah-sekolah selama satu dua hari di tiap minggu. Ketika penulis melakukan penelitian terkait tugas akhir perkuliahan di UNNES di sekolah-sekolah di Kota Semarang, terdapat banyak sekolah tingkat pertama (SMP) di Kota Semarang, Jawa Tengah mewajibkan seluruh siswa, guru, staf administrasi untuk menggunakan Bahasa Jawa di tiap hari Kamis. Ada juga sekolah yang menerapkan di tiap hari Jum'at atau Sabtu bersamaan dengan kewajiban menggunakan baju tradisional batik. Di samping itu, koran lokal di sana seperti Suara Merdeka juga memberikan ruang khusus untuk melestarikan Bahasa Jawa tiap minggunya.
Langkah-langkah tersebut bisa ditiru di provinsi Sumatera Utara dan provinsi lain di seluruh Indonesia dengan mewajibkan siswa-siswa menggunakan Bahasa Batak, Melayu, Mandahiling ataupun Jawa di hari-hari tertentu tiap minggunya serta memasukkan bahasa daerah sebagai pelajaran muatan lokal yang wajib dipelajari.
Pelestarian bahasa daerah hanya akan berjalan di tempat tanpa realisasi berupa penggunaan dalam percakapan pergaulan sehari-hari. Anak yang menguasai bahasa daerah memiliki banyak kelebihan dibandingkan yang hanya menguasai satu bahasa. Kekhawatiran berlebihan dan memastikan anak menggunakan Bahasa Indonesia di rumah dan pergaulan lingkungan keluarga agar kelak ketika masuk TK, SD dan sekolah lanjutan bisa fasih berbahasa Indonesia adalah pemikiran salah. Seyogyanya anak dibiasakan berbicara dan bergaul dengan menggunakan bahasa daerah di lingkungan keluarga, sekitar rumah dan masyarakat. Nanti ketika si anak duduk di bangku TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi akhirnya juga akan mempelajari dan menguasai Bahasa Indonesia.
Karena penguasaan bahasa tidak sebatas dipengaruhi faktor mempelajari semata, tetapi lebih dipengaruhi oleh pemakaian, kebiasaan, penggunaan dalam percakapan sehari-hari (speaking habits). Bila di rumah, keluarga dan masyarakat sekitar fasih berbicara menggunakan bahasa daerah, maka ketika di sekolah, acara formal, pergaulan antar etnis yang berbeda bahasa daerah, maka fasih menggunakan Bahasa Indonesia. Kesimpulannya, dengan membiasakan penggunaan bahasa daerah dan Bahasa Indonesia pada tempat, konteks dan situasi yang sesuai, maka Indonesia menjelma menjadi negara dengan kemampuan penduduk dwibahasa: bahasa daerah dan Bahasa Indonesia. Bukan mustahil bila generasi muda aktif menggunakan bahasa asing ketika berinteraksi dengan teman-teman dari luar negeri meski hanya sebatas dunia maya, maka akan tercipta trilingual: menguasai tiga bahasa sekaligus!
Sudah banyak bahasa daerah di Indonesia yeng mengalami kepunahan akibat berkurangnya penutur asli. Satu-satunya cara paling efektif menjaga kelestarian sebuah bahasa adalah lewat penggunaan dalam percakapan oleh penutur aslinya. Jika menggunakan bahasa daerah merasa enggan, merasa malu, tidak keren, maka lambat laun sebuah bahasa daerah hilang dan hanya tersisa dalam bentuk literature tertulis, upacara adat, prasasti dan lain-lain. Kita berharap, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memaksimalkan kampanye penggunaan bahasa daerah di ruang publik.
Seperti, mengambil kosakata bahasa daerah menjadi kosakata Bahasa Indonesia seperti unggah, unduh, gawai, dan lain-lain dan meminimalisir penggunaan kosakata yang diambil dari bahasa asing seperti Bahasa Inggris yang kian lama semakin memenuhi mayoritas kosakata Bahasa Indonesia. Mewajibkan penggunaan bahasa daerah sesuai lokasi atau daerahnya di instansi resmi baik sekolah, kantor pemerintahan dan kantor layanan publik di hari-hari tertentu di tiap minggunya, menayangkan program yang khusus menyajikan bahasa daerah, dan perlombaan-perlombaan yang sifatnya menggunakan bahasa daerah seperti pidato, bercerita (storytelling), cerdas cermat dan lain-lain.
Penutup
Bahasa daerah merupakan salah satu bentuk kekayaan budaya Indonesia. Terdapat ratusan bahasa daerah di Indonesia dan beberapa dikategorikan terancam punah disebabkan berkurangnya jumlah penutur aslinya. Sebenarnya bahasa daerah dapat terus dilestarikan dengan cara menggunakannya dalam pergaulan sosial di samping Bahasa Indonesia dan tentunya bahasa asing seperti Bahasa Inggris dan lain-lain sesuai dengan konteks di mana bahasa itu digunakan, dengan siapa berbicara, dan dimana. Tentunya sebagai penutur asli kita tidak ingin bahasa daerah yang kita miliki itu tinggal berupa nama, atau tinggal coretan-coretan di prasasti, dinding bangunan bersejarah, buku kuno atau sekadar digunakan saat upacara adat. Bukan suatu hal mustahl karena menurut data UNESCO, 3000 bahasa daerah di dunia terancam punah.***
* Penulis alumnus UMSU Medan.